Artikel ini diambil dari Harian Kompas, Rabu, 27 Januari 2010
Polemik dan konflik antarkepala daerah sering menghantui sepanjang sembilan tahun perjalanan Banten menjadi provinsi. Pemerintah Provinsi Banten belum bisa menemukan formulasi yang tepat untuk membina hubungan baik dengan kabupaten/kota.
Ketidakselarasan hubungan dengan pemerintah kabupaten/pemerintah kota bisa dilihat dari frekuensi ketidakhadiran bupati/wali kota dalam kegiatan yang dilaksanakan Pemprov Banten. Sulit ditemukan saat semua bupati/wali kota berkumpul bersama Gubernur dalam suatu acara, sekalipun dalam rapat koordinasi.
Sebut saja Rapat Paripurna Istimewa Hari Ulang Tahun Ke-9 Provinsi Banten, 4 Oktober 2009. Tak semua bupati/wali kota hadir dalam acara di Gedung DPRD Banten di Kecamatan Curug, Kota Serang, itu. Hanya Bupati Serang Taufik Nuriman, Penjabat Walikota Tangerang Selatan M. Shaleh, dan Wakil Bupati Lebak Amir Hamzah yang hadir. Adapun Wali Kota Serang Bunyamin, Pelaksana Tugas Bupati Pandeglang Erwan Kurtubi, Wali Kota Cilegon Tubagus Aat Syafaat, Bupati Tangerang Ismet Iskandar, dan Wali Kota Tangerang Wahidin Halim tidak terlihat hadir.
Ketidakhadiran itu menjadi biasa apabila hubungan antara Gubernur dan bupati/wali kota benar-benar harmonis. Namun, sering kali bupati/wali kota tak hadir dalam acara Pemprov karena mereka sedang berpolemik.
Salah satu contoh saat Menteri Dalam Negeri (saat itu) Mardiyanto melantik M Shaleh menjadi Penjabat Wali Kota Tangerang Selatan, Januari 2010, Bupati Tangerang tak hadir. Padahal, Tangerang Selatan adalah daerah pemekaran dari Kabupaten Tangerang.
Bahkan, tujuh camat yang wilayahnya masuk Kota Tangerang Selatan pun tidak mengikuti pelantikan itu. Bupati dan camat tidak hadir lantaran kecewa karena usulan mereka agar Penjabat Wali Kota Tangerang Selatan berasal dari Kabupaten Tangerang tidak diindahkan. Mereka menganggap Gubernur Ratu Atut Chosiyah memaksakan kehendak menempatkan ”orang dekat” untuk memimpin Tangerang Selatan.
Polemik antara Gubernur dan bupati/wali kota selalu terjadi sepanjang tahun sejak Provinsi Banten terbentuk. Hampir setiap tahun, saat penyusunan Rancangan APBD Banten, polemik antarakepala daerah terjadi. Bupati/wali kota kerap mengancam akan menolak program Pemprov karena usulan mereka tentang besaran dana bantuan tunai atau block grant tidak terpenuhi.
Pertikaian itu terakhir kali terjadi pada September 2009 saat Pemprov Banten menyusun Rancangan APBD tahun 2010. Bupati dan wali kota mengancam memboikot semua kebijakan yang dikeluarkan Gubernur, lantaran Pemprov merencanakan menurunkan nilai bantuan keuangan menjadi Rp 5 miliar per kabupaten/kota.
Bupati/wali kota kesal karena besaran bantuan keuangan terus turun setiap tahun. Sebelumnya selama 2003-2008, setiap kabupaten/kota menerima bantuan keuangan Rp 20 miliar. Jumlah itu turun menjadi Rp 15 miliar pada 2009.
Semua kepala daerah yang tergabung dalam Forum Komunikasi Bupati/Wali Kota Se-Banten itu bersepakat menolak bekerja sama dan memilih memboikot program pembangunan yang menjadi kebijakan Pemprov. Kesepakatan pemboikotan itu diserahkan secara resmi dalam bentuk surat kepada Gubernur.
Selain itu, bupati/wali kota pun terkadang tidak segan menunjukkan perlawanan di depan publik. Bupati Serang Taufik Nuriman, misalnya, beberapa kali menolak kebijakan Gubernur. Pertengahan tahun lalu, dia menolak bantuan keuangan Rp 5 miliar dari Pemprov karena takut terjerat hukum. Pasalnya, dana itu diberikan untuk pembangunan jalan lingkar Pasar Induk Rau yang pekerjaannya dilakukan tanpa tender.
Sejak awal menjabat sebagai bupati pada 2005, Taufik dikenal sebagai salah satu kepala daerah yang keras melawan Gubernur. Sikap itu baru melunak beberapa bulan terakhir setelah ia dipasangkan dengan Ratu Tatu Chasanah, adik kandung Atut, dalam pencalonan sebagai Bupati Serang periode 2010-2015.
Begitu pula Bupati Tangerang dan Wali Kota Tangerang. Wacana membentuk Provinsi Tangerang pun sering kali muncul saat mereka berpolemik dengan Pemprov Banten.
Proyek Terbengkalai
Lemahnya koordinasi itu juga terlihat dari banyaknya proyek pembangunan pemerintah pusat ataupun Pemprov di kabupaten/kota yang terbengkalai. Selain tidak tepat sasaran, proyek Pemprov juga sering kali tidak dibutuhkan kabupaten/kota sehingga lebih terkesan memaksakan kehendak.
Salah satu contohnya adalah pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Balaraja, Kabupaten Tangerang. RSUD di Desa Tobat, Kecamatan Balaraja, itu dibangun Pemprov Banten melalui dana dekonsentrasi dari pemerintah pusat. Pada 2005-2007, pemerintah pusat mengucurkan dana hingga Rp 22,7 miliar untuk membangun rumah sakit itu. Namun, hingga 2008, pembangunan belum selesai dilakukan. Proyek itu sempat terbengkalai dan pembangunannya dihentikan.
Pembangunan RSUD sempat menimbulkan polemik. Saat itu, Bupati Tangerang Ismet Iskandar melontarkan kritik lantaran Pemprov lebih mendahulukan pembangunan gedung perkantoran, bukan ruang pelayanan. Pemkab Tangerang mendesak untuk mengambil alih penanganan RSUD Balaraja.
Proyek yang juga terbengkalai adalah pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes). Pemprov membangun lebih dari 50 poskesdes di kabupaten/kota dengan dana APBD Banten tahun 2007 sebesar Rp 14,9 miliar. Tak sedikit bangunan poskesdes yang sampai saat ini terbengkalai, tidak dimanfaatkan.
Contoh lain adalah pembangunan RSUD Malingping, Kabupaten Lebak, dengan dana APBD Banten tahun 2004. RSUD itu sudah beroperasi, tetapi masih mengalami keterbatasan tenaga dan peralatan medis. Akibatnya, kini rumah sakit itu lebih mirip puskesmas plus yang dilengkapi fasilitas rawat inap.
Beberapa proyek Pemprov di Pandeglang pun terbengkalai karena tak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Salah satunya bantuan pompa air tanpa motor yang dialokasikan dari APBD Banten tahun 2003 sebesar Rp 3,5 miliar. Pembangunan Terminal Agro di Kecamatan Menes dan Cikedal pada 2002 terbengkalai pula. Meski pembangunannya menghabiskan dana lebih dari Rp 2 miliar, pasar agro itu tak pernah terealisasi.
Mantan anggota DPRD Banten asal Tangerang, Ansor, membenarkan, banyaknya proyek yang terbengkalai disebabkan kurangnya koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota. Ia mencontohkan pembangunan RSUD Balaraja yang terbengkalai akibat tarik-menarik kepentingan antara Pemprov dan Pemkab Tangerang.
”Sebenarnya proyek itu didanai pusat. Namun, ada tarik-menarik antara provinsi dan kabupaten terkait siapa yang berhak mengerjakan. Tahun 2005 Pemprov memutuskan membangun sendiri, tetapi akhirnya terbengkalai. Sekarang permasalahan itu selesai, Pemkab mengambil alih pengerjaannya,” tuturnya.
Konflik Elite Pendiri
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, Gandung Ismanto, berpendapat, penyebab lemahnya koordinasi di Banten itu cenderung lebih kompleks dibandingkan daerah lain. Selain faktor yuridis dan legitimasi yang umumnya terjadi di daerah lain, karakteristik politik lokal juga lebih mendominasi penyebab ketidakharmonisan provinsi dengan kabupaten/kota di Banten.
Dia menjabarkan, lemahnya koordinasi disebabkan kegagalan pelembagaan konflik antarelite menjelang hingga saat terbentuknya Provinsi Banten pada 2000.