Suatu hari teman sekampus bercerita kepada saya. “Gue kena pentungan ama petugas gara-gara ngerekam penggusuran para pedagang di stasiun kereta!” keluhnya. Di lain kesempatan, teman saya yang lain, Ageung, juga pernah bercerita kepada saya bahwa dia sempat ditegur oleh petugas keamanan di dalam kereta gara-gara dia merekam suasana penumpang di dalam KRL (kereta rel listrik). Hal yang sama juga pernah terjadi pada saya sendiri, ketika mencoba mengambil gambar di Stasiun Universitas Indonesia. Sepertinya, ada semacam ketakutan bagi para petugas keamanan, atau mungkin juga pihak PT KAI, jika hal-hal yang berhubungan dengannya ditangkap oleh kamera. Dan sialnya, hal itu kembali terulang pada tanggal 10 Juni 2013, meskipun rekaman yang rencananya akan saya ambil hanyalah sebuah foto.
Pagi, Hari Senin, adalah waktu yang benar-benar sibuk di Stasiun Bogor. Kerumunan massa berpacu dengan waktu agar tak ketinggalan kereta pertama. Sebelum memasuki Bulan Juni 2013, kesibukan ini sudah menjadi rutinitas yang dianggap wajar. Namun, ketika spanduk-spanduk yang mengumumkan tentang penggunaan tiket elektronik mulai dipajang di pagar-pagar stasiun kereta, Bulan Juni menjadi awal perubahan irama dan pola mobilisasi para pengguna jasa KRL.
Fenomena e-ticketing KRL Commuter Jabodetabek bagi saya sudah menjadi sebuah masalah. Saya menangkap adanya ‘ketidaksiapan’ masyarakat, khususnya pengguna jasa KRL, terhadap kebijakan baru dari PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ). Buktinya, pada tanggal 1 Juni 2013, hari e-ticketing diberlakukan, ketika saya ingin keluar dari Stasiun Bogor—hari itu, pintu keluar-masuk utama Stasiun Bogor sudah dirombak dan dipindahkan ke tempat yang baru, yakni bukan lagi keluar menuju Pasar Anyar dan Taman Ade Irma Suryani (Taman Topi), tetapi langsung di pinggir Jalan Kapten Muslihat—terjadi sedikit kerusuhan di pintu masuk stasiun. Para penumpang yang hendak keluar stasiun secara serentak bersorak “Huuu!” karena para petugas menahan dan menyuruh mereka berbaris antri agar bisa menempelkan kartu e-ticketing di mesin-mesin yang sudah ditempatkan di pintu keluar-masuk itu. Seruan yang menyalahkan itu wajar terjadi karena memperlambat gerak para penumpang yang, mungkin saja, sedang buru-buru agar tiba di tempat tujuan tepat waktu. Puluhan penumpang akhirnya menerobos palang yang ada di mesin pembaca kartu e-ticketing tersebut, ada yang melewatinya dengan melompati palang, ada juga yang merunduk lewat di bawah palang. Intinya, kehadiran mesin dan kartu e-ticketing itu menjadi percuma.
Tak jauh beda dengan hari itu, sekitar seminggu setelahnya, saya melihat hal yang sama. Kerumunan mengantri di depan tempat pemesanan tiket, lalu harus mengantri lagi di depan mesin, bersabar menunggu giliran menempel kartu. Keluhan-keluhan serupa masih terdengar meskipun tidak bersifat kolektif. Karena terusik dengan peristiwa massa itu, tangan saya terasa gatal lantas mengambil kamera untuk mengabadikan adegan para pengguna jasa KRL yang masih harus diajarkan oleh para petugas bagaimana menempatkan kartu e-ticketing dengan benar agar palangnya bisa terbuka.
Namun, saya ingat dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya: PT KAI takut dengan kamera dan dokumentasi yang ‘disalahgunakan’. Atas dasar niat yang baik, saya pun menghampiri salah seorang petugas untuk meminta izin ingin mengambil gambar barang sejepret dua jepret dengan dalih tugas kuliah. Kira-kira begini percakapan saya dengan salah seorang petugas:
“Dosen saya ngasih tugas suruh menulis esai tentang e-ticketing, Pak. Ambil gambar, boleh, ya?!” kata saya dengan polosnya. Jawabannya, seperti yang sudah saya tebak sebelumnya, “Surat izinnya mana?”
“Gak ada surat izin, Pak!” terang saya. “Soalnya, ini tugas kuliah biasa, bukan penelitian. Lagian juga ambil gambar dikit, Pak. Di sini doang, mau foto para penumpang make mesin e-ticketing-nya itu. Untuk bukti dokumentasi saja, Pak!” saya mencoba merayu.
“Ya, gak bisa. Harus ada izin dulu!”
“Emangnya ada larangan, ya, Pak kalau mau ambil gambar di stasiun?”
“Bukan begitu, Mas. Kita bukannya ngelarang!” jelas si petugas. “Tapi ini sudah prosedural, biar jelas. Kalau misalnya terjadi apa-apa, gimana? Kalau yang di atas marah, nantinya saya juga yang kena.”
“Ya, kan gak bakal diapa-apain juga, Pak. Buat tugas kuliah ini, kok!” saya masih mencoba merayu.
“Nanti kalau atasan saya tahu, terus kitanya dimarahin atau dipecat, situ mau tanggung jawab?”
“Kalau begitu, cara ngurus izinnya gimana, Pak?”
“Silahkan datang ke bagian informasi, tanya di sana. Atau langsung temui Kepala Stasiun saja!”
Akhirnya saya mengikuti saran si petugas. Saya mendatangi kantor bagian informasi untuk meminta izin. Hal ini saya lakukan agar saya bisa benar-benar leluasa mengambil gambar tanpa ditegur.
“Wah, itu harus ada surat izinnyaa dulu! Urusnya ke (Stasiun) Kota!” kata petugas yang ada di kantor bagian informasi.
Mendengar syarat itu, saya langsung hilang harap. Hanya untuk mengambil gambar sepintas saja, saya harus ke Stasiun Kota untuk meminta izin, tentu itu bukan langkah yang efisien. Akhirnya, saya mendatangi lagi petugas keamanan yang saya mintai izin lebih dulu, dan mengatakan bahwa saya tidak mendapat izin dari kantor bagian informasi. Saya mencoba merayu sekali lagi si petugas keamanan, agar saya bisa mengambil, paling tidak, satu foto saja.
“Gak bisa, Mas! Ini udah aturannya,” katanya.
“Emang ada aturannya, gitu, Pak?” saya bertanya dengan penuh keraguan. Lagi-lagi, jawabannya hanya: “Ya, prosedur-nya memang begitu, Mas! Kemarin juga ada mahasiswa, tapi pake surat, kita kasih izin.”
“Tapi maksud saya, ini kan ruang untuk publik, Pak!” saya mencoba melawan argumentasinya dengan sedikit emosi. “Dimana-mana, yang namanya stasiun itu adalah fasilitas untuk publik. Tapi kenapa orang dilarang foto-foto. Lagian, saya juga minta izin dulu, kan Pak? Tapi, kok harus pake surat dan harus ke Kota dulu? Ribet, Pak!”
“Ya, kalau Mas bersikeras, langsung ke Kepala Stasiun saja, biar percaya!” katanya. Dan saya tahu, mengikuti saran itu pun akan sia-sia saja. Ujung-ujungnya pasti minta surat izin lagi.
Apakah saya yang terlalu naïf karena meminta izin dulu sebelum mengambil gambar, padahal sebenarnya bisa saja mengambil gambar sembari membeli tiket dan berjalan menuju kereta (sebagaimana kata salah seorang petugas muda yang berbisik kepada saya: “Kenapa gak ngambil seperti biasa saja sambil beli tiket, sih?” katanya ketika mengantarkan saya menuju kantor bagian informasi)? Apa jangan-jangan saya kualat karena mengatakan tugas kuliah sebagai dalih untuk mengambil gambar?
Aksi itu saya lakukan bukan tanpa motif. Selain untuk tak mengulang pengalaman ditegur oleh petugas karena mengambil gambar sembarangan, saya juga ingin memastikan apakah memang ada aturan tegas tertulis dari PT KAI tentang penggunaan kamera bagi masyarakat umum yang ingin mengambil foto atau video di dalam kawasan stasiun kereta. Jika memang ada, saya ingin menerimanya langsung dari pihak PT KAI. Sebab, sejauh pengamatan saya, tidak ada rambu-rambu larangan memotret seperti rambu-rambu dilarang merokok.
Namun, ternyata hari itu pejabat yang berwenang tidak berada di tempat sehingga saya tak memiliki kesempatan bertanya lebih jauh. Selain itu, karena sudah terlanjur menjadi perhatian petugas, saya tak sempat membuka kamera dan mengambil gambar. Saya baru bisa leluasa mengambil gambar ketika berada di dalam kereta di tengah-tengah kepadatan penumpang, di mana kecil kemungkinan bagi petugas untuk menghampiri saya. Itu pun bukan foto perisitiwa penumpang yang menggunakan mesin e-ticketing, tetapi hanya suasana ramainya pengguna kereta menunggu Commuter Line menuju Jakarta.
***
Kembali ke masalah e-ticketing, masalah ini ternyata bukan saya saja yang merasakannya. Beberapa teman saya di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universita Indonesia, juga berpendapat yang hampir serupa. Berikut saya cantumkan tanggapan beberapa teman mahasiswa yang sehari-harinya menggunakan KRL tentang program e-ticketing:
Bagaiamana tanggapan Anda tentang e-ticketing?
Olla, pengguna KRL dari Stasiun Tebet ke Stasiun UI.
Menurut gue, e-ticketing ngerepotin. Apalagi kalau di Stasiun Tebet, ngerubah sistem banget. Bikin tambah ribet karena dibuat satu jalur semua, jalur masuk dan jalur keluar, bikin tambah penuh…Nggak terlalu efisien, karena bisa juga banyak penyimpangan juga. Orang bisa bawa kartunya pulang tanpa ketahuan. Terus, orang gak bisa nuker kartu secara mudah, karena, taunya, (KRL) Ekonomi duluan yang dateng…segala macem, ribet, udah gak bisa dituker. Malah nyusahin.
Irfan, pengguna KRL dari Stasiun Tebet ke Stasiun UI
E-ticketing itu sama aja, sih kayak karcis. Cuman bedanya, kita diperiksa dari awal, dan pas masuk ke dalam keretanya sendiri, gak diperiksa lagi. Diperiksnya lagi setelah kita keluar. Dan itu cuma masukin…Kalau karcis, pemeriksaannya di tengah.
Ayu, pengguna KRL dari Stasiun Bekasi ke Stasiun Manggarai, dan ke Stasiun Depok
Nggak efisien menurut gue. Karena, dari pengalaman gue itu, gue bisa beli tiket hanya ke (Stasiun) Jakarta Kota, tapi gue bisa langsung ke (Stasiun) Depok tanpa harus beli tiket terusan, karena pas di pintu keluar Stasiun UI itu gak diperiksa lagi. Kalau karcis, kan ketahuan, tiket terusan itu dari (Stasiun) Bekasi ke (Stasiun) Depok itu ada tulisannya, Bekasi-Depok, sedangkan kartu yang e-ticketing itu sama semua. Kita gak bisa bedain itu tiket ke Depok atau ke Jakarta Kota.
Ridha, pengguna KRL dari Stasiun Tangerang ke Stasiun Pasar Minggu Baru, dan ke Stasiun UI
Sebenarnya, pertama mungkin bingung. Cuman karena pernah gunain waktu di Singapur, ada tiket kayak gitu juga, itu berjalan mungkin karena di sana udah teratur. Kalau di sini, mah agak susah karena gak terlalu ngaruh juga. Soalnya, jalur masuknya bisa mana aja, gak harus e-ticketing, bisa dari samping.
Taufan, pengguna KRL dari Stasiun Bogor ke Stasiun Jakarta
Belum efisien. Pertama, di alat cek-nya. Teknologi untuk ngecek tiketnya tujuan kemananya, gak jelas. Kedua, cara pembayarannya. Cara pembayaran itu sangat lama. Pas lu bayar, ada struk dulu, itu memakan waktu. Karena orang naik kereta buru-buru. Jadi orang ujung-ujungnya gak beli tiket. Jadinya kejahatan.
Akbar, pengguna KRL dari Stasiun Bogor ke Stasiun Depok
E-ticketing menurut gue penerapannya masih dini, ya…banyak masyarakat yang belum siap. Jadi, bukannya efisien malah gak efisien sama sekali. Gak efisiennya, ya itu, pertama masyarakat masih belum ngerti banget gimana cara makenya. Pas dia mau masuk, nih bingung gimana cara tapping, terus antriannya jadi panjang. Terutama lagi, pas keluar. Misalkan, kita udah bener masukinnya, tapi ternyata, kayak macet, gitu. Terus, ada juga beberapa kayak, ‘Loh, ini masukinnya ke arah mana, sih?’ Karena di kartunya sendiri gak dijelasin cara masukinnya ke arahnya gimana.
Fiana, pengguna KRL dari Stasiun Cikini ke Stasiun UI
Bermanfaat, sih! Soalnya kalau yang kertas itu kadang-kadang suka hilang. Kalau e-ticketing, karena bentuknya keras, orang lebih ngeh dan aware bahwa dia megang tiket untuk naik kereta. Secara pribadi, manfaatnya, lebih rapi aja, sih. Lebih berasa berteknologi lah, gak primitif pake kertas gitu di cekrek-cekrek.
Endah, pengguna KRL dari Stasiun Manggarai ke Stasiun UI
E-ticketing… ngerepotin, bikin macet pas belinya, bikin macet pas get in-nya, terus pas get out-nya pun macet. Karena cuma ada dua mesin gitu…mesinnya terbatas. Kadang-kadang ada kartunya gak kebaca gitu.
Adit, pengguna KRL dari Stasiun Manggarai ke Stasiun UI
Gue pernah pake, jadi yang di-tap, dia gak berfungsi dengan baik. Malah gue jadi di suruh lewat yang pinggir, lewat di jalan yang biasa lagi. Kalau menurut gue, e-ticketing itu cuma kayak buat formalitas pengen kayak di … ya begitu lah, kayak mengikuti kemajuan jaman. Tapi sebenarnya gak terlalu itu, sih… sama aja.
Rahis, pengguna KRL dari Stasiun Cawang ke Stasiun UI
E-ticketing jadi lebih mudah, sih, tinggal dipencet doang, udah, selesai. Tapi, sama aja, sih sebenarnya, cuma beda itunya doang. Waktunya, sama aja kayak cekrek. Soalnya, pas ituin kartunya juga lama juga nungguinnya.
Ayas, pengguna KRL dari Stasiun Tanah Abang ke Stasiun Depok
Sebenarnya memang Indonesia penting banget punya e-ticketing. Maksudnya, kalau melihat negara-negara lain yang sudah maju, seharusnya kita mengikuti prosedur di sana, gitu. Tapi, kendalanya di sini adalah kita belum siap, belum semuanya menggunakan. Dan ternyata, itu juga menggunakan…ada struknya, dan itu harus diberikan. kebanyakan, stasiung-stasiun yang saya datangi, mereka hanya ngasih kartunya aja, tapi gak kasih struknya.
Dara, pengguna KRL dari Stasiun Bogor ke Stasiun Jakarta Kota
E-ticketing, bagus, cuma ribet. Maksudnya, kayak misalnya gue dikasih e-ticketing dari (Stasiun) Tebet, tapi karena gue ke (Stasiun) UI, gue cuma ngasih ke abangnya. Jadi belum ada alatnya gitu. Menurut gue, ngapain harus pake kartu kalau misalnya gak dimasukin… itu ribet menurut gue, mendingan karcis.
Apa kesan yang Anda rasakan terkait perbedaan mendasar dan esensial antara e-ticketing dan karcis biasa?
Olla, pengguna KRL dari Stasiun Tebet ke Stasiun UI.
Cuman mudah geseknya doang. Tapi ujung-ujungnya karena di (Stasiun) UI belum ada, sama aja, ngasih kartu juga. Dan sama aja bikin lebih repot, sebenarnya.
Irfan, pengguna KRL dari Stasiun Tebet ke Stasiun UI
Kalau dari segi manfaat, sih… segi efektivitas… ya manfaatan e-ticketing. Namun, kalau efektivitas itu, lebih ke karcis, sih. Kalau karcis, kan kita megang itu dari awal… pokoknya dari siklus awal itu, kan kita bisa… ‘Mana karcisnya?’ dan di dalam kereta itu kan juga diperiksa karcisnya, dan sampai keluar diperiksa karcisnya. Dan menurut saya itu efektif dari orang-orang yang tidak diinginkan.
Ridha, pengguna KRL dari Stasiun Tangerang ke Stasiun Pasar Minggu Baru, dan ke Stasiun UI
Bedanya, cuman lebih keren doang…Kalau di Singapur mungkin kayak e-toll. Jadinya, setiap orang, pengguna langganan, tuh bisa pake, udah ada saldonya., dan itu emang dipake terus-terusan. Kalau sekarang, dia make sekali, udah balikin, sama kayak karcis aja.
Izma, pengguna KRL dari Stasiun Kota ke Stasiun Depok
E-ticketing, sebenarnya bagus, ya. Bikin lebih murah dan lebih adil, dalam hal penilaian harga tiket, kan itu dihitungnya per stasiun lagi. Jadi, gak membebanin orang lah, tergantung trek yang mereka tempuh. Tapi kekurangannya, sosialisasinya memang harus terus berlanjut, sih. Biar masyarakat lebih terbiasa gunain e-ticketing.
Rasyel, pengguna KRL dari Stasiun Bogor ke Stasiun UI
Kesan gue, gue bingung pertama kali. Soalnya, pas gue mau masuk pintu masuk itu, kata mbaknya, disuruh taruh e-ticketing di bawahnya. Pas gue taruh, ternyata (palangnya) gak bisa keputer gitu, gue belum bisa masuk. Kata mbaknya, ‘Lamaan dikit, Mbak!’ Nah, itu gue hampir ketinggalan kereta gara-gara itu doang.
Yuriko, pengguna KRL dari Stasiun Bogor ke Stasiun UI
E-ticketing itu hanya memperlambat aja. Soalnya, waktu gue pake karcis itu lebih cepet dari pada pake e-ticketing. Terus, antrian, tuh panjang banget cuma gara-gara buat ngantri itu doang. Kalau pake karcis, cepet.
Endah, pengguna KRL dari Stasiun Manggarai ke Stasiun UI
Gak begitu kentara sih perbedaannya, cuman pas get-in get-out aja. Karena tadinya, kan itu buat tarif progresif yang per stasiun itu, kan? Tapi karena belum diberlakukan, jadi sampai sekarang ya sama aja kayak tiket kertas kayaknya.
Ayas, pengguna KRL dari Stasiun Tanah Abang ke Stasiun Depok
Bedanya ya cuman gak ada sampah aja. Kalau pake yang seperti biasa, kan mesti dibolongin, kan? Bakalan ada sampah. Tapi yang ini gak. Cuman itu doang, sih.
Bagaimana pendapat Anda tentang efek dari e-ticketing terhadap suasana di stasiun kereta?
Taufan, pengguna KRL dari Stasiun Bogor ke Stasiun Jakarta
Ganggu. Ibaratnya, (di Stasiun Bogor) kan ada dua, ya, pintu utama dan pintu belakang. Kalau lu naik di sini (pintu utama) itu angkot harus muter dulu. Sementara di sini (pintu belakang) itu ada pos polisi, ada juga tempat perbelanjaan. Artinya, macet. Ibaratnya, kalau lu mau masuk, tuh, susah banget.
Rasyel, pengguna KRL dari Stasiun Bogor ke Stasiun UI
Sebenarnya, untuk bentuk stasiunnya jadi terlihat lebih agak sedikit rapi dan lebih terkontrol. Tapi, ya, e-ticketingnya itu, sih yang agak ganggu. Soalnya, jadi bikin rame, jatuhnya jadi ngedesek, gitu.
Fiana, pengguna KRL dari Stasiun Cikini ke Stasiun UI
Kalau di dalam stasiunnya sendiri, lebih menyusahkan. Soalnya, kan orang-orang masih belum pada ngerti, ya. Jadi kayak pas mau masuk, pada ngantri.
Ayas, pengguna KRL dari Stasiun Tanah Abang ke Stasiun Depok
Untuk beberapa stasiun, misalnya saya dari (Stasiun) Cawang ke (Stasiun) UI, UI belum ada e-ticketing, kan? Jadi, orang tuh bisa lolos gitu aja.
Ika, pengguna KRL dari Stasiun Tebet ke Stasiun UI
Untuk dari (Stasiun) UI ke (Stasiun) Tebet itu masih kurang berguna. Karena dari UI, tiketnya masih kertas, di Tebet tiketnya bentuk e-ticketing. Jadi, agak gak nyambung gitu.
Irda, pengguna KRL dari Stasiun Tebet ke Stasiun UI
Belum semua stasiun yang memberlakukan e-ticketing. Ada beberapa stasiun bahkan selain lu ngasih kartunya yang kayak ATM itu, lu harus ngasih kayak struknya. Kan, kalau namanya e-ticketing, lu gak harus ngasih kayak gituan lagi, kan? Terus kayak di beberapa stasiun, kayak di Stasiun Tebet, tuh mesinnya ada lima, tapi yang kepake cuma satu. Dan itu, kalau kadang-kadang lagi banyak orang, bikin kayak penumpukan gitu.
***
Kalau berbicara tentang ruang dan hak masyarakat, memang jelas bahwa stasiun kereta bukan lah ruang publik, tetapi ruang untuk publik. PT KAI (Persero) adalah pemilik stasiun kereta yang selama ini kita gunakan sebagai tempat menunggu kedatangan transportasi umum KRL.
Saya sempat bertanya kepada Ugeng T. Moetidjo, seorang periset di Forum Lenteng. Menurutnya, fasilitas untuk publik semacam stasiun kereta api bukan ruang publik, melainkan “ruang negara”. Dengan kata lain, negara atau pihak pengelola memiliki wewenang untuk menetapkan kebijakan tertentu terhadap ruang yang difasilitasi untuk publik tersebut. Konsep “ruang untuk publik” berbeda dengan “ruang publik”, seperti taman kota atau warung kopi, yang oleh Jurgen Habermas, ditandai berdasarkan sifat ruangnya yang demokratis (dapat diakses oleh siapa saja). Stasiun kereta, pada dasarnya, tidak dapat diakses oleh publik yang tidak membeli tiket (membayar masuk).
Namun, yang menjadi pokok kebingungan—dan juga ketidakterimaan—saya adalah peraturan tentang dilarang memotret yang tidak sampai ke masyarakat umum secara luas. Selama ini, saya tidak pernah melihat aturan itu, baik di area stasiun maupun di dalam gerbong kereta, sebagaimana larangan duduk di atap kereta, berdiri di depan pintu, melompat melintasi rel di luar area yang diperbolehkan, atau merokok di area-area tertentu.
Hal ini, terkait dengan pengalaman saya, akan menjadi kendala ketika pada suatu waktu ada peristiwa tertentu yang perlu diabadikan dan dibagikan ke masyarakat luas sebagai bagian dari informasi publik. Arus informasi menjadi tidak dapat berjalan dengan baik dan seimbang.
Contohnya, fenomena hadirnya e-ticketing tersebut. Saya melihat ada wartawan media massa MNC TV yang meliput perkembangan program e-ticketing. Petugas keamanan stasiun berkata bahwa mereka yang wartawan pun sudah meminta izin terlebih dahulu sebelum meliput. Jelas saja, kerja professional yang demikian akan tertata oleh etika dan tanggung jawab profesi serta dukungan dari lembaga atau instansi si wartawan. Akan tetapi hal ini menjadi rumit bagi masyarakat biasa. Tidak ada lembaga resmi yang melatarbelakangi warga biasa terkait hal itu sehingga peluang warga biasa untuk mengabadikan sebuah peristiwa menjadi bingkaian informasi pun terbatasi. Dengan kata lain, arus informasi yang berasal dari perspektif warga biasa (jurnalisme warga) menjadi terhambat oleh aturan, yang pada kenyataannya, tidak tersosialisasikan dengan baik. Jika sosialisasi soal ketertiban umum berjalan dengan baik, warga biasa akan lebih siap dengan segala kemungkinan, termasuk kendala-kendala seperti yang saya alami.
Program e-ticketing, seperti yang telah saya telusuri pendapat para pengguna KRL dari kalangan mahasiswa, sejauh ini masih menjadi masalah, baik dari segi kesiapan sarana dan prasarananya sendiri maupun dari kesiapan masyarakat terhadap teknologi komputerisasi tersebut. Menurut saya, masalah ini harus disebarluaskan untuk mengundang tanggapan publik terhadap kebijakan yang dikeluarkan PT KAI demi tercapainya kemaslahatan bagi semua pihak. Fotografi adalah salah satu medium yang paling efektif untuk menyebarluaskan informasi seperti ini. Peraturan pembatasan penggunaan kamera bagi warga biasa, atau ketidakjelasan dari PT KAI mengenai tata aturan mengenai hal itu, menambah masalah yang memangkas hak-hak masyarakat. Ini menjadi PR tersendiri bagi kita semua.
KRL, oh KRL! Sudah lah PT KAI sering membuat program yang kurang memuaskan, ditambah pula dengan aturan ketertiban umum yang lumayan membingungkan. Seharusnya, jika memang KRL adalah fasilitas untuk publik, melayani publik, tak ada alasan untuk takut menerima kritikan dari publik, apalagi takut oleh aktivitas potret memotret dari warga yang simpatik.
Menurut gue sih e-ticketing itu baik niatnya. Paperless men. Bayangin brapa juta lembar kertas tiket yg digunakan tiap hari kalau gak ada e-ticketing. Yg harus dipantau adalah proses adaptasi masyarakat sama sistemnya ke depan. Kalau emangg kita sadar bahwa masyarakat kita belum siap, harusnya kita bisa sabar sama proses adaptasi yang lama. Ketinggalan kereta sekali dua kali tak apalah. Hehe.
Gue sebagai pengguna kereta sih dukung program ini. Lagian kita kan udah biasa “meloncat” dan gak siap sama teknologi tapi langsung dipakai.
Semoga kedepannya gerbang e-ticketing diperbanyak.
Oiya, lo kena karma kayaknya zik karena bohong bilang buat tugas kampus. Atau apes ketemu petugas yang sok galak. Hihi. Gue motret bisa kok di tanah abang, tanpa kartu pers 😀
Kalau menurut saya, tiket-e (tiket elektronik) bagus. Bahwa ada masalah dalam implementasi itu wajar saja. Kalau nggak dimulai dari sekarang, mau kapan lagi.
Ide brilian dari pelaksanaan awal tiket-e ini adalah: penumpang masih diberi struk sebagai bukti pembelian tiket-e. Hal ini untuk antisipasi kalau ada masalah teknis pada alat pembaca tiket-e, membantu penumpang & petugas kalau ada masalah dengan tiket-e.
Hal yang masih harus diperhatikan secara serius oleh pelaksana implementasi adalah perencanaan kapasitas, baik jumlah loket maupun pintu pemindai kartu. Harus diperhitungkan pada saat jam sibuk dapat menampung debit arus manusia berapa person per menit.
Hal lain di luar tiket-e itu sendiri adalah masih belum nyamannya ketersediaan kereta dalam hal penjadwalan dan jumlah gerbong di jam-jam sibuk. Harus ada ‘assessment’ berupa ‘customer experience’ sehingga sistem aliran manusia memberikan layanan yang tetap manusiawi.
BK
gue juga pengguna kereta kok zik klo dari depok harus ke salemba buat les hehehe.. gue dukung kok e-ticketing. cuma ya itu. suatu sistem itu harus ada fasilitasi sama sosialisasinya juga. masalahnya fasilitas di semua stasiun blm sama kuantitas dan kualitas perangkatnya. jd adanya ga ada bedanya atau malah ngelama-lamain. soal foto2, gua rasa kai lagi trauma deh sama info yang buruk dr mahasiswa or warga lain soal penggusuran pedagang. jd wajar klo mereka parno ada kamera. cuma itu ngada2 sih emang peraturan ga boleh motret itu. klo itu ruang untuk publik, kenapa petugasnya ga lebih keras aja sm orang yang ngerokok dan ga peduli klo di sebelahnya ada ibu-ibu hamil sama anak kecil yang ga biasa kena asep rokok? ya walaupun emg ga ada ruang untuk merokok sih ya.. cuma ya ga jelas aja ada larangan motret.
gue setuju sama program e-ticketing. setidaknya program itu jadi salah satu jalan dalam menghadapi perkembangan jaman. menurut gue, zik, mungkin KAI lewat sistem e-ticketing yang diterapkan agar lebih tertata dan tertib. mungkin di awal perlu banyak perbaikan tapi menurut gue bagus kok buat diterapin. kalau masih pake tiket kertas yang ada malah tambah kotor. orang jadi seenaknya buang sampah. kecil sih tapi efeknya itu loh. hehe
btw, tulisannya keren, zik.
fiana kamoo lucu juga…
eh, suara “cekrek2” bisa hilang gak yah dalam memori ingatan massa…?
Menurut saya “cekrek2” itu adalah salah satu ingatan massa yang paling signifikan, dan hanya bisa tergerus oleh pola budaya akan hadirnya hal-hal baru (seperti teknologi), dan itu membutuhkan waktu yang lama (dalam konteks pola kebiasaan pengguna KRL). Berbeda kasusnya jika kehadiran teknologi itu benar-benar bombastis (revolusi) seperti hadirnya televisi (yang ‘menghilangkan’ ingatan massa akan bunyi “zzzz” pada radio. meskipun radio gelombang masih ada sampai sekarang; dalam artian, bunyi “zzz” tidak lagi menjadi pola budaya masyarakat sekarang). Pendapat saya sih.. ahahah
kan di sana gak boleh potret potret
kalau di DAOP lain gimana tuh?
Ironis banget ya.. Padahal Menteri BUMNnya bekas wartawan, tapi lembaga yg dibawahinnya takut publikasi jelek, sampe ngelarang2 motret segala. pantesan Indonesia nggak maju2, jagonya pencitraan doang sih..
alah..,salah besar kalo KAI itu salah kebijakan e tiketnya, itu hanya butuh waktu penyesuaian aja, kan setiap perubahan dan pembelajaran pasti gak nyaman, jgn terjebak sama emosi psikologi se saat saja,wktu itu kan thn 2013 , sekarang thn 2016 udah terbiasa tuh, move on,naik level emang dak nyaman, masyarakat jg jgn manja, rubah dikit protes nya banyak,
Maaf saya ngga bahas soal e-Ticketing.
Saya foto sekedar hobi mengabadikan & menikmati kemegahan setasiun baru Palmerah. Lagi asik jeprat jepret pake DSLR dihampiri petugas PKD kurus yang sok galak.
“Maaf, foto setasiun & kereta harus ada surat izin, foto-nya tolong di hapus”.
Karena males berdebat, saya delete 5 foto yang berhasil di jepret…
Padahal disana ngga ada larangan foto, tapi harus ada izin foto, saya pikir ini pasti UUD (Ujung Ujungnya Duit). Ini sudah abad 21 bapak ibu…. kamera ada dimana mana di setiap gadget, HP, tablet, jam tangan, dll…. Apa bedanya kamera DSLR sama kamera kecil? Kalau memang dilarang pasang larangannya dong…..