Terhitung telah genap dua tahun sudah masyarakat di daerah Ciputat dan sekitarnya merasa lega dengan keadaan Jalan Juanda pada sisi lintasan yang berada tepat di depan Pasar Ciputat. Kemacetan sekitar pasar sudah sedikit terkurangi, walaupun tetap masih ada. Hal itu menjadi wajar, seperti layaknya pada pasar-pasar lain, pasti ramai dengan para pengunjung dan angkutan umum sehingga menyebabkan kemacetan. Selain pengunjung mungkin juga karena ulah para pedagang yang berjualan di pinggir jalan atau bus dan angkutan yang parkir dan menaik-turunkan penumpang sembarangan. Namun, walau masih ada saja kemacetan, tidaklah terlalu parah apabila dibandingkan dengan keadaan dua tahun yang lalu sebelum adanya flyover.
Sebelumnya kemacetan sangatlah parah, dan itu terjadi setiap hari. Bagian jalan yang melintas di depan pasar yang panjangnya hanya sekitar 200 meter, seharusnya bisa dilewati tidak lebih dari 1 menit, namun karena macet, butuh waktu sekitar 5 sampai 10 menit untuk melewatinya. Penderitaan akibat kemacetan diperparah lagi dengan keadaan jalan yang berlubang. Sungguh melewati jalan itu seperti ungkapan peribahasa “bagai jatuh tertimpa tangga”, sudah macet masih ditambah dengan jalan yang berlubang.
Penderitaan berganda yang menimpa siapa saja yang melintasinya, diakhiri dengan dibangunnya jalan alternatif yang melintas di atas jalan tersebut atau istilah kerennya disebut flyover (jembatan layang), sedangkan di bawahnya yang semula adalah jalan rusak, kini berubah menjadi trotoar. Sebagai ganti jalan di bawahnya dilakukan pelebaran jalan. Pelebaran diperkirakan sekitar 8 meter di setiap sisi kanan dan kiri jalan.
Adanya flyover seolah menjadi obat dari semua kekesalan yang terjadi. Harapan besar untuk mengurangi kemacetan tersirat dengan adanya flyover. “Pembangunan flyover dimulai sekitar bulan Agustus 2006,” tutur Muhaimin (40 tahun), seorang penjual buah siap saji dan minuman di bawah flyover yang sudah puluhan tahun berjualan di situ, jauh sebelum flyover dibangun. Jadi dia tahu betul sejak awal sampai dengan selesainya pembangunan flyover. “Tapi flyover ini baru mulai digunakan kira-kira pada awal tahun 2008,” tambah Muhaimin.
“Habis berapa miliar ini Pak, pernah denger (dengar) kabar-kabar tentang itu nggak?” kataku. “Nggak sampai miliaran dik, ini kan cuma pendek nggak ada 500 meter, yang saya dengar ikatanya habis sekitar 800 juta, tapi itu baru uang pembangunan flyover, belum untuk ganti rugi pelebaran tanah,” jelas Muhaimin. “Buat ganti rugi, tanah dihargai 2 juta per meter, kalau ganti rugi bangunan dan rumah, harga tergantung besar atau kecil ukurannya,” tambah Muhaimin.
Lintasan flyover dimulai tepat dari depan Ciputat Mega Mall dan berakhir di depan Ramayana (sebuah department store yang menjual pakaian). Seperti yang dikatakan Muhaimin, memang panjangnya tidak lebih dari 500 meter, menurutku sendiri panjangnya hanya sekitar 300 meter lebih sedikit, dengan lebar jalan kurang lebih 8 meter. Sesuai dengan sebutannya “flyover” pasti jalan itu berada di atas, melintasi jalan yang di bawahnya. Tanjakan menuju ke atas jalan lumayan tinggi, apabila berada tepat pada puncaknya, ketinggian itu sampai sekitar 15 meter. Jalur yang dilintasi melalui flyover meliputi berbagai arah, yaitu arah menuju Parung, Pamulang, dan Ciater BSD.
Proses pembangunan flyover diawali dengan melapisi lempengan besi baja dan beton di dalamnya supaya memperkuat ketahanan terhadap tekanan dari kendaraan yang melintas. Lubang galian yang dijadikan fondasi dari tiang-tiang penyangganya mencapai 15 meter kedalaman tanah. Pembuatannya memakan waktu sekitar satu setengah tahun, pembangunan flyover ini merupakan program kerja akhir dari Bupati Kota Tangerang, Ismet Iskandar, dan proses pembangunannya pun berlangsung ketika Pemilu Bupati Kota Tangerang yang diikut sertakan kembali oleh Ismet Iskandar didampingi oleh Rano Karno sebagai wakilnya. Pemilu Wali Kota Tangerang 2007 tersebut untuk yang kedua kalinya dimenangkan oleh Ismet Iskandar. Waktu yang termasuk sebentar untuk sebuah pembangunan flyover, cepatnya pembangunan itu karena menggunakan mesin yang sudah canggih dan modern.
Keadaan flyover saat ini setelah berumur dua tahun (dihitung dari awal mula penggunannya) masih terlihat dari kokoh dan kuat, belum terlihat adanya keretakan. Aspal jalannya juga masih rata, halus dan belum berlubang. Bagiku itu wajarlah, secara flyover itu baru berumur dua tahun, namun entahlah dengan lima tahun kedepan, biasanya bangunan sudah mulai kelihatan kerusakannya setelah lima tahun. Kini tembok-tembok tebal yang menjadi tiang penyangga flyover sudah banyak coretan-coretan, entah itu ulah dari orang-orang yang sebenarnya kreatif namun kekurangan tempat untuk menuangkan kreatifitasnya, atau ulah dari tangan-tangan jahil yang tidak bertanggungjawab. Apabila dilihat dari tulisan-tulisannya, lebih layak dinilai akibat ulah tangan-tangan yang jahil, karena tulisannya tidak jelas dan terkesan sembarangan menulisnya (tak ada seni). Berbeda apabila itu coretan dari orang yang kreatif namun kurang media untuk mengekspresikannya, coretan mereka lebih terkonsep dan mempunyai nilai estetika, seperti Grafitti atau mural-mural yang juga biasa aku temui di tembok-tembok perkotaan (it’s art ma men..).
Selain sebagai jalan alternatif untuk menghindari kemacetan, flyover secara tidak sengaja menimbulkan banyak fungsi-fungsi lain, seperti yang terlihat tepat di bawahnya. Banyak kehidupan di bawah flyover tersebut, terutama aktifitas perdagangan seperti berjualan sepatu, lukisan, VCD bajakan, bahkan di ujung bawah flyover ada yang memakai untuk berjualan sayuran yang seharusnya digunakan sebagai jalan penyebrangan, seakan tidak mau kalah tukang ojek juga ikut mangkal di bawahnya. Jadi, flyover dijadikan layaknya sebuah atap yang menaungi mereka dari panasnya terik matahari dan hujan.
Menurutku itu merupakan bagian dari dampak kehidupan masyarakat urban yang dinamis, sangat wajar dan tidak dapat dihindari. Persaingan hidup di daerah perkotaan yang keras dengan pola kehidupan heterogen. Setiap orang memiliki tujuan dan keperluan masing-masing, sampai-sampai setiap orang juga hanya memikirkan dirinya masing-masing. Apalagi di daerah yang sangat dekat dengan Ibu Kota, banyak orang-orang dari desa mengadu nasibnya di sini, termasuk di antaranya teman-temanku. Banyak teman-temanku satu kampung yang berada, hidup dan mencari nafkah di sekitar Pasar Ciputat.
Setelah dibangunnya flyover, saat ini menjadi tanggungjawab bersama dalam mempertahankan dan merawatnya, mengingat fungsinya sangat strategis dalam mengurangi kemacetan. Pastinya masyarakat mengharapkan flyover tersebut akan tetap kokoh, terhindar dari kerusakan dan tak lekang oleh jaman, namun itu juga tergantung bagaimana perawatannya. Terkadang memang mempertahankan sesuatu menjadi lebih sulit daripada membangunnya.
kok fTo tkang ojek yg dbwah flyoveR kga dmasukin????
kan daH ada sTok ftO’a……
wah kantor sepi, tulisan sepi..
kapan yah di Lombok dibangun FlayOver… pasti banyak anak-anak menjadikannya sebagi tempat maen layangan, ato tempat menunggu azdan magrib….
Bagus tulisannya…
Copy gambarnya ya bro.. 🙂