Padangpanjang, Sumatera Barat

Cinta Ditolak Sirompak Bertindak

Basirompak merupakan budaya nagari Taeh Baruah yang disahkan masyarakatnya. Basirompak berasal dari kata dobrak, rampok, mengambil secara paksa, yang artinya memaksa batin seseorang sesuai dengan keinginan orang yang melakukannya, dengan bantuan kekuatan gaib.

Ini merupakan suatu bentuk upacara ritual magis yang dilakukan oleh seorang pawang sirompak dengan tujuan menaklukkan hati seorang perempuan yang telah menghina seorang laki-laki. Seperti santet, pelet dan sebagainya. Tidak dapat dipungkiri bahwa basirompak sebagai aktivitas ritual magis pada akhirnya kurang disukai oleh sebagian masyarakat di nagari Taeh Baruah kecamatan Payakumbuh. Hal itu disebabkan oleh fungsi serta akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas tersebut. Banyak perempuan yang menolak cinta seorang pemuda, tidak saja berbalik tergila-gila, tetapi juga benar-benar menjadi gila. Terdengarnya seperti ritual voodoo memang.

Kegiatan basirompak ini dilaksanakan di tujuh tanjung yang terdapat di nagari Taeh Baruah. Sebelum melakukan upacara, pihak yang meminta penyelenggaraan upacara terlebih dahulu harus menyiapkan pambaokan (sesajian) berupa nasi kuniang, bareh rondang bungo pangia-pangia, kemenyan, serta salah satu unsur yang ada pada diri perempuan yang dituju seperti rambut, kuku, bagian dari pakaian, foto, dan lain sebagainya.

Dengan kelengkapan tersebut, pawang sirompak melaksanakan tugasnya. Masing-masing tanjung didatangi lalu tukang sirompak menyiapkan sesajian dan membakar kemenyan, kemudian mendendangkan mantra-mantranya. Hal ini dilakukan berturut-turut di ke tujuh tanjung tersebut.

Keberadaan tukang sirompak pada saat itu menjadi tumpuan para pemuda yang ditolak cintanya, sebagai kelanjutan dari legenda si babau. Mereka diperkirakan masih melakukan aktivitas ritual magis basirompak secara legal sampai tahun 1950an. Bahkan tahun 2000an pun, praktik itu masih berjalan walau diselenggarakan secara sembunyi-sembunyi.

Sejak perkembangan Islam di Minangkabau yang pada awal abad ke-14 dan secara luas menjadi agama mayoritas, maka masyarakat mulai berpegang dan berpedoman kepada ajaran-ajaran Islam dalam menjalani hidup keseharian. Hal-hal yang lazim oleh masyarakat, seperti kegiatan menyabung ayam, praktik-praktik yang menyertakan unsur-unsur animisne, dan berbagai unsur kebudayaan Minangkabau lama lainnya yang dirasa bertentangan dengan ajaran Islam mulai ditinggalkan, termasuk basirompak sebagai aktivitas ritual magis, yang tata cara penyajian dan tujuannya didasarkan pada kepercayaan terhadap kekuatan magis.

Kondisi ini karena ajaran Islam mengharamkan kegiatan yang didasarkan pada kekuatan magis atau kekuatan-kekuatan lainnya yang berasal dari roh-roh nenek moyang, dewa-dewa dan lain-lain. Basirompak sebagai aktivitas budaya yang memiliki kandungan musikal, berada pada posisi sulit untuk berkembang dalam kehidupan masyarakat moderen.

Sejak awal tahun 1970an aktivitas basirompak diperkirakan mulai hadir ke dalam bentuk sebuah seni pertunjukan yang berorientasi hiburan. Tentu saja dari segi isi dan bentuk penyajiannya disesuaikan dengan kebutuhan sebuah pertunjukan yang bersifat hiburan. Misalnya, aktivitas ritual magis basirompak yang biasanya diselenggarakan di tempat-tempat yang sepi. Kini, untuk kepentingan hiburan tentu harus mencari keramaian. Mulailah disediakan sarana dan prasarana yang memadai, umpamanya diselenggarakan pada pesta-pesta perkawinan, atau pesta-pesta yang diadakan anak nagari dalam rangka menyambut hari besar keagamaan atau hari-hari besar nasional.

Kehadiran kesenian basirompak ini tidak terlepas dari peranan Murni Jamal yang pada tahun 1977 memperkenalkan aktivitas basirompak ke dunia luar, yaitu ke ASKI yang sekarang dikenal dengan STSI padangpanjang. Pada saat itu basirompak dihadirkan sebagai sebuah bentuk seni pertunjukan musik tradisional milik masyarakat nagari Taeh Baruah, yaitu sebuah pertunjukan musik tradisional yang dimainkan oleh seorang peniup saluang sirompak dan dua orang tukang dendang.

Aktivitas basirompak adalah seni pertunjukan yang ikut memperkaya khazanah musik tradisional Minangkabau pada umumnya dan khususnya musik tradisional yang dimiliki oleh masyarakat di nagari Taeh Baruah.


About the author

Avatar

Roni Febriandi

Roni yang lebih senang dipanggil Pak Kos sama anak-anak Sarueh ini merupakan mahasiswa jurusan karawitan angkatan 2006. Aktif di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Menwa, ia sangat bersahabat dengan anak-anak Sarueh. Dipanggil Pak Kos karena base camp Sarueh sebelumnya hanya didiami olehnya sendiri, menjaga rumah keluarga besar. Karena satu atap dengan Sarueh, Pak Kos menjadi tertarik dengan teknologi komunikasi visual yang diusung oleh Sarueh.

15 Comments

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.