Darivisual Kecamatan: Pemenang Kota/Kabupaten: Lombok Utara Provinsi: Nusa Tenggara Barat

Catatan dari Bangsal Menggawe 2019: Museum Dongeng

Mempersiapkan formasi senam rudat pada pagi hari Bangsal Menggawe: Museum Dongeng.
Harry Burke
Written by Harry Burke

Versi lain dari artikel ini telah diterbitkan di situs web Harry Burke, 14 Mei 2019. Kami menerbitkan versi ini di situs web AKUMASSA dengan izin penulis, dalam rangka rubrik “Darivisual”. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Alifah Melisa.


Kebersamaan

KAMI DUDUK DI ujung pelabuhan. Riak ombak yang menenangkan di bawah kami hanya terganggu oleh motor yang lewat sekali-sekali di dekat pelabuhan Bangsal. Hari sudah gelap, gunung dan laut terasa dekat. Terpesona, seperti aku, mereka bersandar ke depan, mendengarkan cerita Mintarja.

Mintarja mulai berbicara ketika aku menawarkan korek kepadanya. Aku tidak bergabung dengan ketiga pendoa yang baru saja membentuk lingkaran, aku malah berjalan ke ujung pelabuhan. Aku mendengar redup suara yang bergantian yang semakin menghilang ketika aku mendekat. Hey, bisik Maria, kamu sedang apa? Ok, sini duduk! Mumpung kamu di sini, ambil foto, ya, saat kami tiup terompetnya!

Saat kali pertama festival ini diadakan, Mintarja, sambil menggali ingatannya dan bercerita kepadaku, bahwa dia membuat berugaq, sebuah bangunan kayu yang menyerupai gazebo. Itu merupakan tempat yang sangat sosial, di mana orang-orang bercengkerama, atau duduk, menunggu, merokok, bahkan tidur. Kali berikutnya, dia membuat gapura. Aku baru menyadari kalau bangunan-bangunan ini memiliki prinsip yang sama, seperti terompet itu. Untuk festival tahun ini, dia membuat terompet yang dibangun dari bambu dan botol air minum bekas ukuran dua liter. Berukuran seperti ikan paus, terompet itu berdiri di sebelah kami di ujung pelabuhan. Terompet mengeluarkan satu jenis bunyi. Al-Quran juga mengeluarkan suatu bunyi, yang terdengar di mana-mana. Presiden pun mengeluarkan satu bunyi. Terompet mengeluarkan satu bunyi, Mintarjalah yang membuat suara si terompet. Aku menatap ke lantai, kupingku dekat dengan mulutnya, aku pun terkikik. Dia tidak berbicara kencang. Aku merasakan tangannya yang bergerak ke udara malam yang lembab.

Saat gempa terjadi, ia duduk di lapangan dengan keluarganya semalam penuh dan memegangi mereka. Rumahnya bergoyang ke kanan dan ke kiri, seluruh pulau terguncang, tanah dan semua yang ada di atasnya. Ia bertanya pada dirinya sendiri, ceritanya, bukan soal apakah ia akan punya rumah besok, atau apakah ia akan punya uang besok, tapi apakah ia akan tersenyum besok. Ia tidak tahu.

Rata-rata, ada tiga puluh dua gigi di dalam sebuah senyuman. Di setiap senyuman, ada kehidupan tak terhingga. Aku mendengar, seperti kamu mendengarkan laut, atau seorang teman.

Hal-hal yang dia buat untuk dibagi—berugaq, gapura, terompet—itu adalah rahasia dari pulau ini. Kamu tidak bisa memberitahu seseorang rahasianya, namun saat rahasia itu menyentuhmu, kamu akan mengerti. Malam itu, mendengarkan Mintarja bercerita, aku mengerti. Mintarja melihat hal itu dan ia tersenyum.

Saat itu juga, kami mendengar ada yang bernyanyi. Sebuah lagu yang awalnya redup, melintasi air menuju tempat kami. Aku mengambil telepon genggamku dan merekamnya. Sebuah kapal membentur pelabuhan. Para penampil berpakaian putih, mengulangi lagu tradisional anak yang dinyanyikan bersama-sama, keluar. Otty pernah berkata bahwa sesuatu yang performatif memang sedang dipersiapkan dan masih rahasia. Itulah rahasianya, Mintarja tertawa, dan itu semua sedang terjadi. Para performer, lampu obor kecil yang mereka bawa dari kapal, berjalan perlahan menuju tengah pelabuhan. Di situ, mereka bertemu dengan banyak orang lokal yang sedang berdoa. Tiga agama lokal terbesar, Islam, Buddha, dan Hindu, yang untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun, sedang berdoa bersama. Obor setinggi kurang lebih 3,5 meter menyala, apinya pun menelan malam. Mintarja dan Maria meniup terompetnya. Aku merasakan kekuatan dari kembang api, seperti kawat yang tengah meluncur ke atas, ada di sekitarku. Satu bunyi. Ingatan memiliki keheningan dari sebuah fotografi.

Setelahnya cukup membingungkan. Orang-orang tinggal berlama-lama, bercengkerama, dan bergaul. Mintarja mengenalkan aku pada keluarganya. Dia tersenyum, tanpa banyak kata, seperti berada di suatu hal yang lebih dalam dari bahasa. Kami menyimpan momen itu untuk masing-masing. Di parkiran mobil, Zikri berbagi plecing kangkong. “Dari ibuku!” Anggra bilang sambil tertawa. Plecing kangkung itu bukan dari ibunya Anggra, tapi dari seorang yang mengurusnya. Sambal menari di lidahku, aku berhenti sejenak, mendengarkan napas angin yang menuju ke laut. Aku mendengarkan napasku dan seluruhnya yang kurasakan.

Kembang api dinyalakan di balik terompet Mintarja dan Maria.

Tiga Gili

PELABUHAN BANGSAL ADALAH pintu untuk menuju Kepulauan Gili. Tiga pulau berbentuk bulan yang mengelilingi Lombok Utara, juga dapat diakses dengan kapal dari Bali. Setiap tahunnya, pulau-pulau Gili ini menarik ribuan orang berbulan madu, backpacker, orang yang suka berpesta, banyak di antaranya orang-orang Eropa atau keturunan Eropa seperti diriku. Setiap harinya, turis dan pekerja saling menyapa satu sama lain sembari menunggu penyeberangan 30 menit ke pulau Gili. Musim panas kemarin, ombak yang disebabkan oleh gempa membelah pasir-pasir pantai, seperti daging yang dilucuti. Sekitar tahun 1990, turisme mulai mendominasi ekonomi area ini, seperti tsunami, membawa ombak uang ke pelabuhan ini.

Walter Benjamin dalam esainya, “The Storyteller”, menjelaskan bagaimana, di alam sebuah batu, “kepala manusia atau tubuh binatang bisa terlihat oleh pengamat dari jarak dan sudut pandang yang tepat.” Mereka yang mengamati dapat melihat goresan senyum turisme sepanjang garis pantai.

AKUMASSA

FORUM LENTENG ADALAH organisasi nonprofit kecil yang terletak di Jakarta Selatan. Tahun 2003, organisasi ini didirikan oleh seniman dan aktivis media, di antaranya ada Otty Widasari dan Hafiz. Hingga hari ini anggotanya mencapai 90 orang. ARKIPEL, sebuah film festival yang diadakan sejak 2013, menampilkan program film dokumenter dan experimental kepada ribuan penonton. Milisifilem, inisiatif terbarunya, adalah platform pedagogis yang menawarkan cara dekonstruksi media visual dan produksi gambar kepada partisipannya. Sebuah studio bersama yang terbentang dari lantai dasar rumah huni di mana anggota aktifnya tinggal dan bekerja. Seperti sarang lebah, pintunya terbuka 24 jam setiap harinya.

Kapal-kapal yang ditambatkan di pelabuhan Bangsal.

Di tahun 2008, semenjak kamera telepon genggam menjadi lebih mudah diakses oleh komoditas konsumen, Forum Lenteng memulai AKUMASSA. Platform ini membangun literasi media di Indonesia setelah Orde Baru. Penyensoran yang menyeluruh di rezim Suharto, yang obliteratif secara intelektual dan sosial, mendorong penghentian berpikir kritis di seluruh negara. Sedikit diralat oleh monopoli media yang menggantikan regulasi negara setelah reformasi di tahun 1998. Membumi dengan prinsip desentralisasi dan perjuangan kolektif, AKUMASSA mengembangkan informasi budaya dari perspektif kaum kelas pekerja, yang fokus pada film, video dan media digital sebagai alat pemberdayaan akar rumput.

Pedagogi kritis adalah filosofi pendidikan yang sadar secara sosial, yang berasal dari pengajaran dan tulisan, menurut pendidik asal Brasil, Paolo Freire. Salah satu ide mendasarnya adalah conscientização, atau tentang kesadaran. Hal ini menjabarkan proses pemahaman kenyataan keseharian dari perspektif-perspektif yang secara berkelanjutan dapat mengubah fondasi-fondasi yang menindas dari kenyataan tersebut. Ini adalah sebuah praktik pendidikan transformatif yang menekankan kontribusi dari kaum tertindas dan kelas pekerja di dalam konstruksi sosial pengetahuan.

AKUMASSA—seperti kerja-kerja Forum Lenteng lainnya, hakikatnya adalah sebuah program pedagogi kritis—sudah mempunyai empat tahap yang berbeda.

Lokakarya Komunitas, antara tahun 2008-2012, membangun kesadaran media di beberapa komunitas kecil di Indonesia.

Sejak 2012-2013, Program Pemantauan Media Berbasis Komunitas: Rekam Media, memiliki sepuluh peneliti yang masing-masing berasal dari sepuluh kota berbeda, meninjau dua koran lokal setiap harinya selama satu tahun. Literasi media menuntun pada kritik media: saling berbagi laporan mingguan, dan pada akhir proyek ini, diterbitkan sebuah buku.

Mulai tahun 2013, AKUMASSA Bernas memberikan kesempatan pada penulis muda untuk memproduksi koleksi esai. Sore Kelabu Di Selatan Singkarak oleh Albert Rahman Putra, salah satu anggota Komunitas Gubuak Kopi di Solok, Sumatra Barat, adalah volume pertama yang terbit. Sebuah koleksi tulisan tentang turisme selanjutnya akan datang dari Muhammad Sibawaihi, anggota Pasirputih di Pemenang, Lombok Utara.

Terakhir, AKUMASSA Chronicle mengutamakan produksi proyek-proyek seni sebagai perhatian yang sudah tumbuh dari literasi media ke pengorganisasian sosial. Bangsal Menggawe, sebuah festival yang diinisiasi oleh Forum Lenteng dengan Pasirputih di Pemenang, memulai fase ini. Pertama kali diadakan tahun 2016, saat itu dikurasi oleh Otty Widasari dari AKUMASSA bersama dengan Arief Yudi dari Jatiwangi art Factory. Festival tahun ini dikurasi oleh Widasari dan Sibawaihi, mengusung tema Museum Dongeng, yang kalau diartikan ke bahasa Inggris adalah “Museum of Tales”.

Di kebun Pasirputih.

Dongeng

DALAM MOMEN SUNYI, kami duduk, tidur, atau merokok, menjauhi hujan dan matahari. Sering kali, aku merekam apa yang terjadi di sekelilingku dengan telepon genggamku atau di buku catatanku sedetail mungkin. Detail adalah di mana jiwa berada, yang membantah kepemilikan. Kata-kata terlontarkan bahwa kami menuju ke lapangan Bangsal, di mana kami sedang menyiapkan lapangan sepak bola untuk Bangsal Cup. Bergotong-royong, kami menarik rerumputan dan mengambil plastik-plastik kemudian membakarnya dan mengeluarkan kepulan asap yang membara di satu sisi. Kami juga duduk dan memakan cemilan, dan memperhatikan satu sama lain. Aku berpikir tentang bagaimana “kami” adalah kata ganti yang operatif dan elastis. Setelah itu, kami kembali ke rumah masing-masing atau ke berugaq. Aku kembali berpikir, tentang detail rekaman dan bagaimana semua yang aku dapatkan, merupakan kesan-kesan tersebut.

Puisi

lewat gerbang di lombok utara

sapi dan rumput kasap
bercakap di sekitar seniman
yang mengangut di bawah caping pandan,
banyak cara untuk tak menulis di rumah
dan ini salah satunya

Museum Dongeng

DONGENG TELAH MENJADI konsep penting sejak Bangsal Menggawe pertama. Katalognya, yang diterbitkan setelah festival, diberi judul Sebelas Kisah dari Tenggara, mengesankan bahwa setiap kontribusi festival bisa dijadikan sebuah cerita.

“Sebuah cerita dilihat oleh pendengar atau pembacanya melalui sebuah lensa. Lensa itulah rahasia narasinya. Di setiap cerita, lensa adalah alasan baru, alasan antara yang sementara dan abadi,” tulis seorang kritikus seni dan novelis, John Berger, membangkitkan ide Benjamin tentang pendongeng yang mengubah perspektif pembaca.

Cerita menjadi subversif ketika mereka menyimpan produksi pengetahuan dalam bentuknya yang tak terlembagakan.

Sempat tertunda selama beberapa bulan akibat gempa bumi Juli-Agustus 2018 lalu yang menyebabkan jumlah kerusakan dan kematian yang signifikan, juga trauma, festival ini lantas menuntut format yang baru. Daripada para seniman menerima anggaran untuk datang dan membuat karya, lebih bijak jika mereka yang justru menyumbangkan waktu dan tenaga sukarela mereka demi produksi yang kolaboratif, dengan kerangka festival tanpa funding, bertujuan untuk membantu kebangkitan Pemenang. Pasirputih menawarkan akomodasi dan konsumsi gratis selama satu bulan hingga puncak festival pada tanggal 2 Maret. Selama periode itu, jadwal kegiatan yang berfokus pada komunitas dirancang dan direalisasikan secara kolektif.

Sepak bola selalu digemari dari generasi ke generasi di Pemenang. Sebuah lapangan yang bernama Lapangan Guntur Muda, dibangun dan dijadikan tempat pertandingan sepak bola antardesa. Perkelahian warga membuat kebiasaan ini nyaris hilang.

Bangsal Menggawe yang pertama menghidupkan kembali turnamen sepak bola, yang akhirnya diadakan di pantai, sebuah kemewahan yang tidak ditawarkan pasir-pasir kecil di sana. Sebuah lapangan baru dibangun di dekatnya. Untuk pertama kalinya, turnamen pada tahun ini diperuntukkan bagi peserta yang berusia dibawah 13 tahun. Pada 10 Februari, pembuka turnamen adalah pertandingan antara Akas A, tim dari Karang Subagan, wilayah Pasirputih, melawan Manyungsang. Akas A maju sampai final di tanggal 2 Maret, tapi kalah tanpa gol dalam adu penalti. Hadiah pemenang pertama, seekor kambing, diberikan kepada Karla, tim dari daerah yang berdekatan dengan Karang Langu. Pemenang diumumkan dan mereka berfoto; konvoi sepeda motor mengikuti tim pemenang sampai ke desa mereka, sembari membunyikan klakson dan bersorak ria di bawah sinar matahari. Bagi mereka yang tersisa, ada patah hati dan air mata.

Cerita ini adalah wadah bagi cerita-cerita lainnya.

Rudat adalah tari tradisional lokal Lombok yang diiringi dengan musik. Para penarinya sering kali turut serta bernyanyi. Gerakannya pun, yang dilakukan oleh sebuah kelompok beranggotakan sekitar sepuluh orang, diambil dari gerakan silat, seni bela diri asli dari Asia Tenggara. Akan tetapi, penekanan rudat ada pada keindahannya, bukan pada ke-agresifan-nya. Gerakan tangan merambah; tubuh membungkuk dan bangun. Tarian itu mengambil sedikit kecepatan gerakan silat, tapi lebih banyak mengambil keseimbangan dan keanggunannya.

Sebuah video yang menunjukkan tari yang dikoreografi oleh Zakaria, maestro rudat setempat, dibuat untuk mengajarkan tarian tersebut ke anak-anak sekolah. Kerumunan yang sangat ramai—mungkin semua orang di Pemenang—berkumpul di pantai tidak lama setelah matahari terbit di pagi hari saat hari puncak Bangsal Menggawe. Barisan anak-anak, dengan seragam sekolahnya yang warna-warni, dikelilingi oleh orang tua dan orang dewasa lainnya. Bersama-sama, ratusan orang menari, didampingi oleh para pemandu dari panitia Bangsal Menggawe di depan setiap barisan masing-masing kelas. Tampak bagaikan ritual K-pop yang besar dan antik. Anak-anak yang paling kecil mulai bosan dan terkulai di pasir pantai dan malah bermain-main. Para pejalan yang singgah meminum kopi Lombok sembari menonton, dan mengangguk-anggukan kepala, bergoyang mengikuti kemeriahan acara.

Sore harinya, warga Muslim, Buddha, dan Hindu membentuk lingkaran di pelabuhan Bangsal. Pertemuan selama berminggu-minggu telah menurunkan tensi antarumat beragama hingga ke titik di mana hal seperti ini mungkin terjadi. Bupati juga tidak melewatkan kesempatan berfoto bersama dengan ketiga pemimpin masing-masing agama setelah mereka menyalakan lampion di dermaga. Setelahnya, orang-orang pun menakil, sebuah tradisi lokal, makan bersama, yang di dalamnya semua orang saling menyumbang makanan masing-masing.

Menghidupkan kembali prinsip pertukaran demokratis, kucatat kejadian sore itu. Kebersamaan, Keseimbangan, pasca-getaran dan guncangan. Kata-kata itu mengudara.

Cerita-cerita memupuk. Teks kuratorial Otty Widasari menyatakan ini dengan puitis: “Dongeng-dongeng ini yang membuat kami bertahan dalam lapar dan dahaga saat surut mengandas di pasir panas.” Sebuah festival yang kecil dan sering kali aksinya tidak disaksikan, menjalin seluruh Pemenang selama satu bulan lewat kerja dan mimpi kolektif, Bangsal Menggawe: “Museum Dongeng”, menumbuhkan intervensi sederhana yang menjadi batu loncatan untuk gerakan epistemis. Cerita-cerita memupuk, tapi mereka adalah bibit, bukan makanan. Sembuhkan lahannya, dan akan ada yang bertumbuh.

Mempersiapkan lapangan sepak bola untuk Bangsal Cup.

Seniman Panitia

PASIRPUTIH, YANG BERKEMBANG dari program AKUMASSA, terbentuk di bulan pertama tahun 2010.

Anggotanya adalah guru, pelajar, dan penyuluh, sebelum mereka mengikuti lokakarya literasi media. Meskipun mereka tidak terlatih sebagai seniman, aktivitas kelompok ini semakin memiliki kualitas seni—Bangsal Menggawe membingkai kegiatan-kegiatan ini menjadi selebrasi seluruh kota. Festival ini menghidupkan kembali pelabuhan Bangsal—yang sejarahnya adalah pusat kebudayaan Pemenang—sebagai tempat berkumpul. Orang-orang lokal percaya bahwa air Bangsal, sebagaimana Sibawaihi dan Gozali memberitahuku, adalah obat.

Pascagempa, Pasirputih pindah ke sepetak tanah di ujung Pemenang. Bentuk bangunannya mencerminkan karakter desentral dari komunitas ini. Serangkaian struktur kayu mengelilingi lubang pusat api, yang berarti kita akan menghabiskan waktu di luar selagi mengitari dapur, toilet, berugaq, dan bangunan-bangunan kecil lainnya yang di mana kita bisa tidur atau bekerja. Di sana, ada banyak sayur-mayur dan obat-obatan, yang direncanakan Ipeh akan diperluas. Pasirputih tidak menganggap pekerjaan mereka sebagai seni atau aktivisme; Sibawaihi kerap mengingatkanku bahwa tak ada kosakata semacam itu di kehidupan kebanyakan orang Pemenang.

MTL, sebuah kolektif yang berbasis di New York, menginisiasi G.U.L.F dan Decolonize This Place, juga telah menyatakan hal tersebut, “Sebagai kolektif MTL, kami terlibat dalam praktik yang mana karya senimannya tidak hanya menambahkan sentuhan artistik pada kampanye ini atau itu, melainkan berkontribusi dalam penelitian dan pengorganisasian, estetika dan aksi, teori dan dialog serta analisa—keseluruhan proses dialektika ini adalah praktik seni. Hari ini, seniman adalah panitia yang menyadari bahwa kapitalisme selalu berseteru dengan kehidupan manusia dan non-manusia, serta mengerti bahwa manusia berjuang di manapun mereka berada.”

Dampak turisme di Pemenang menandakan sebuah proses luas yang di dalamnya Indonesia, sebagaimana lokasi-lokasi lain, secara brutal tengah dibentuk ulang oleh kapitalisme neoliberal. Hal ini mengukuhkan kejayaan dan kekuasaan di banyak kota, meningkatkan lingkungan perkotaan sementara merampas daerah pedesaan secara sistematis. Raquel Rolnik merincikan ini dengan jelas, memaparkan bagaimana, “[d]alam bahasa kontraktual finansial, ikatan teritorial direduksi hingga ke unidimensionalitas nilai ekonominya dan ekspektasi tentang arus pendapatan di masa depan… perluasan batas-batas lahan dan finansialisasi pemukiman berjalan seiring dengan meningkatnya kelemahan dari bentuk ikatan-ikatan lain terhadap lahan, menimbulkan mesin perampasan.” Gema fatal dari gempa di Lombok merupakan ungkapan dari sistem ini, seperti halnya pembangunan real estate mewah di tepi laut yang menggusur masyarakat berpenghasilan rendah di sepanjang pantai Jakarta Utara.

Sebagai buah hasil kolaborasi yang sudah hampir satu dekade antara Forum Lenteng dan Pasirputih, Bangsal Menggawe merehabilitasi nilai tradisional dari pemberdayaan masyarakat di tengah dampak turisme dan finansialisasi yang melemahkan. Gagasan “seniman panitia” provokatif dalam konteks ini karena ia membutuhkan komitmen terhadap de-institusionalisasi, yang di dalamnya, bahkan, kategori “seniman” tak lagi diakui sampai pada tingkatan tertentu. Bukan berarti ia meniadakan kemungkinan seni, tetapi justru melatarbelakangi perjuangan empatik akan pengakuan, hubungan, dan aksi balas budi di dalam sebuah gerakan yang melampaui kerja representasi yang dihargai secara konvensional dan terbatas.

Fred Moten, dalam percakapannya dengan Stefano Harney di The Undercommons, menyatakan—dan ini hanyalah catatan kaki untuk teks ini—dalam gugahan indah dari cinta revolusioner: “Persekutuan muncul dari pengakuan yang kacau bagi kalian, sama halnya dengan kami yang sudah menyadari kalau hal ini juga kacau untuk kami. Aku hanya ingin kau sadar bahwa semua ini membunuhmu juga, selembut apa pun, keparat brengsek, kalian tahu, kan?”

Puisi

di sekitar api unggun malam hari

gigitan nyamuk
jempol menyentuh telepon
lekas
Imran akan membawa keripik tempe
dan banyak tawa
tak ada yang tahu, kita

Karla memenangkan Bangsal Cup dalam adu penalti.

Pemenang pada hari berawan dari ujung dermaga Bangsal.

Tanaman sayur tumbuh di kebun Pasirputih.

Para pedagang menyiapkan makanan untuk dijual di Bangsal pada pagi hari Bangsal Menggawe: Museum Dongeng.

Para pemimpin agama dan politik berpose untuk foto-foto bersama para penyelenggara festival di dermaga Bangsal.

About the author

Harry Burke

Harry Burke

Sebagai seorang kritikus, Harry Burke merupakan penulis kontributor di Spike Art QuarterlyfriezeFlash ArtTexte zur Kunst, dan Art in America, di antara majalah-majalah lainnya. Dari 2015–18, ia adalah Asisten Kurator di Artists Space, New York, tempat ia menghasilkan konten editorial dan mengembangkan program publik. Bersama Marlie Mul, ia bersama-sama menyunting ground, sebuah zine yang mengumpulkan perspektif politik dan estetika akar rumput pada seni kontemporer. Sesekali, dia ngeblog di sini.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.