Perkenalan pertamaku dengan kawan-kawan dari komunitas Matakaca berawal dari situs jejaring sosial, facebook. Entah siapa yang meng-add terlebih dahulu, yang jelas setiap bertemu online dengan Joko Narimo, pembicaraan kita selalu mengenai perkembangan film komunitas di kota masing-masing. Obrolan berlanjut ketika kawan-kawan akumassa mempunyai rencana pertemuan jaringan Forum Lenteng (Project akumassa) dengan Kampung Halaman (Project Video Diary) di Cirebon pada Februari ini. Dan karena aku juga berencana mampir ke Kota Jogja, Joko menawarkan untuk main ke Solo sekaligus untuk pemutaran karya. Saat itu aku baru tahu ternyata Joko Narimo merupakan aktivis komunitas film di Surakarta, Solo. Ia adalah manajer program untuk Komunitas Matakaca yang merupakan salah satu jaringan komunitas sinema di Solo. Aku dan kawan-kawan di Komunitas Sarueh menyambut baik tawaran Joko untuk mengadakan pemutaran di sana, yang dilaksanakan pada 14 Februari 2010.
Perjalanan ke Solo dengan Kereta Prameks yang tak lebih dari satu jam dari Jogja itu membawa aku dan Fadly Capaik, temanku yang juga merupakan anggota Komunitas sarueh, sampai di Stasiun Purwosari pukul 15.00 WIB. Sebelumnya aku sempat ditilang karena teman yang mengantarkanku ke Stasiun Lempuyangan menerobos lampu merah, untungnya urusan tilang-menilang itu tidak memakan waktu lama.
Sesampainya di Solo, kami dijemput Joko dan Richas menuju markas Komunitas Matakaca yang terdapat di dalam lingkup Bonrojo (nama lain Sriwedari) di Gedung ex. Solo Theater Sriwedari yang sudah tidak berfungsi sebagai bioskop lagi. Kami melihat jalur kereta di tengah Kota Solo yang katanya masih difungsikan sesekali untuk kereta api uap yang lewat di sana.
Basecamp Komunitas Matakaca terdapat di dalam gedung ex. Solo Theater Sriwedari. Kami disambut oleh beberapa teman-teman Matakaca yang lainnya di sana. Meski terlihat tidak ramai, namun suasana menjadi akrab karena kami sesama penggiat komunitas film. Malamnya sebelum pemutaran, kami mencoba mencicipi angkringan khas Solo yang bernama HIK (Hidangan Istimewa Kampung). Menurut cerita teman-teman di sana, angkringan yang banyak terdapat di Jogja berasal dari Solo.
Bonrojo sendiri berasal dari dua kata yaitu, bon artinya kebun, dan rojo artinya raja. Bonrojo dulunya merupakan Kebun Raja Surakarta yang saat ini dikelola oleh Dinas Pariwisata Solo sebagai salah satu tempat pariwisata yang didalamnya juga terdapat gedung bioskop yang kini tidak berfungsi lagi. Sudah sebulan Matakaca menjadikan tempat ini sebagai sekretariat mereka. Dan pemutaran kompilasi akumassa merupakan pemutaran pertama yang dilakukan semenjak sekretariat Komunitas Matakaca pindah ke tempat ini.
Pada pukul 19.30 WIB pemutaran kompilasi akumassa dimulai dengan perkenalan tentang Komunitas Sarueh dan Program akumassa oleh Abdul yang bertugas sebagai MC malam itu. Walau awalnya hanya beberapa orang yang datang, namun acara tetap dimulai tepat waktu. Pemutaran kompilasi akumassa dimulai dari karya akumassa dari Saidjah Forum, Lebak, dengan judul “Tepian Sungai Ciujung”, video akumassa dari Gardu Unik, Cirebon, yaitu “Negosiasi Atas Air”, video akumassa dari Komunitas Sarueh, Padangpanjang, yaitu “Gelanggang Bancah Laweh”, “Penambang Kapur di Bukit Tui” dan “Projectionist Tua”, video akumassa dari Epicentrum dan Komka, Lenteng Agung, yaitu “Kalo Cowok Gue Nginep, Gimana?”, video akumassa dari Komunitas Djuanda, Ciputat, yaitu “Situ Kuru” dan “Apel Malam”.
Di tengah pemutaran, kawan-kawan dari Solo mulai banyak yang datang. Saat menonton, kawan-kawan cukup berapresiasi terhadap karya yang diputarkan. Awalnya tidak banyak yang antusias bertanya saat sesi diskusi dimulai, namun setelah MC mempersilahkan saya dan Fadly Capaik untuk memperkenalkan diri mengenai Sarueh dan akumassa, akhirnya beberapa pertanyaan pun bergulir dari kawan-kawan di sana.
Pertanyaan pertama dari Nining (Kine Unistri) mengenai pengalaman membuat video Projectionis Tua, Almarhum Pak Udin. Kemudian Richas dari Matakaca yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai Project akumassa dan apa saja yang dikerjakan, kemudian aku menjawab secara gamblang mengenai Project akumassa dan bagaimana akumassa sendiri berproses menjadi sebuah karya video mengenai keakuan yang lebur didalam massa itu. Pertanyaan Richas mengenai akumassa menambah ketertarikan kawan-kawan yang lain untuk bertanya lebih jauh menganai Project akumassa. Seperti Mas Ndik yang merupakan dosen kami di kampus (ISI Padangpanjang) yang hadir di sana meminta kami berbagi dalam proses produksi di mana video akumassa mempunyai batasan-batasannya sendiri, seperti tidak menggunakan zoom in dan zoom out. Sempat pula aku menyinggung karya antropologi cinema yang memiliki kedekatan dengan gaya bertutur akumassa, hanya saja dalam versi durasi pendek. Kemudian pertanyaan berlanjut oleh Putri mengenai teman-teman Sarueh dalam berkarya, apakah juga memakai konsep seperti akumassa. Dan pertanyaan seputar keberlanjutan akumassa dan bagaimana konsep akumassa terbentuk dilontarkan oleh Agus dari Matakaca.
Setelah obrolan panjang dan sharing komunitas, acara ditutup oleh pertanyaan dari MC mengenai pendapat kami mengenai perkembangan film dokumenter saat ini. Kemudian terciptalah obrolan panjang tentang bagaimana sebenarnya kita dengan dokumenter saat ini, kita sedang mencatat sejarah kecil di lingkungan kita dan membuat database-nya yang sangat berarti penting sebagai sebuah sejarah. Serta bagaimana citizen journalism (jurnalisme warga) menjadi penting untuk mencatat dan membuat footage mengenai peristiwa massa itu sendiri yang tidak dicatat oleh media massa mainstream saat ini. Pemutaran kali ini selain sebagai apresiasi untuk kawan-kawan komunitas film di Solo, juga sangat penting sebagai ajang untuk berkenalan dan berjabat tangan dengan kawan-kawan komunitas film untuk sharing komunitas dan menjalin persahabatan.
Setelah diskusi selesai, kawan-kawan Matakaca pun mengajak kami jalan-jalan menikmati suasana Kota Solo di malam hari. Perjalanan pun berhenti di perempatan Jalan Slamet Riadi, di depan Novotel Solo, untuk menikmati masakan khas solo yang bernama Kare. Masakan ini serupa dengan Gulai Kuning di Padang, dengan campuran nasi lembek seperti bubur, suiran daging ayam ditambah sambal dan putih telur goring. Kami lesehan sambil bercengkrama mengenai pola-pola adat daerah masing-masing dan kami pun menyadari Indonesia sangat kaya dengan keberagaman daerahnya. Obrolan seru itu berlangsung sampai pukul setengah dua belas malam. Awalnya, kawan-kawan ini berniat mengajak kami untuk berkaraoke di Juke Box tapi waktunya sudah telat, akhirnya kami diajak berkeliling untuk melihat pusat Kota Solo melewati kampus ISI Solo, Stasiun Solo Balapan, Kampus UNS dan Pasar Gede.
Esok harinya, pukul dua belas siang, kami kembali ke Jogja dengan kereta menuju Stasiun Lempuyangan, setelah sebelumnya membeli oleh-oleh khas Solo. Banyak pelajaran yang kami ambil dalam perjalanan di Solo bersama kawan-kawan dari Matakaca. Hal ini membuat semangat berkomunitas kami semakin tergenjot. Dan mudah-mudahan pengalaman kami dalam pertemuan ini akan menjadi stok semangat ketika kembali ke Komunitas Sarueh, Padang Panjang.
wuih…ada dosen gw tu… Mas Ndik…
oya..salam kenal buat semua teman-teman Komunitas Matakaca…
Sukses tuk semuanya.
rel kereta api itu, selain dipakai sebagai jalur wisata kereta api uap, tapi juga sehari sekali dilewati oleh kereta api dari Wonogiri..biasanya di sore hari kereta api itu lewat.
rel kereta itu merupakan aset besar bagi kota Solo, karena merupakan satu-satunya rel kereta yang melintasi pusat kota. belum tentu daerah lain memiliki hal ini.
salah satu perwujudan aset tersebut, maka belum lama ini diresmikan sebuah wisata kereta api uap.