DKI Jakarta

Bertukar Bahasa

Kiri ke kanan: Maina, Nuril, Aboy, Angga, Ageung, Maldi dan Qomar

Kiri ke kanan: Maina, Nuril, Aboy, Angga, Ageung, Maldi dan Qomar

Sekitar pukul dua siang, tanggal 5 Februari 2012, kami para peserta sampai di Forum Lenteng setelah melakukan Pelatihan Pemantauan Media di Cisarua, Bogor. Ada 10 orang peserta dari berbagai daerah yang mengikuti pelatihan ini, di antaranya Maina dari Aceh, Aboy dari Lebak – Banten, Qomar dari Jember, Juve dari Surabaya, Maldi dari Lombok, Rinal dari Ciputat, Domi dari Yogyakarta, Lulus dari Jakarta, Zikri dari Depok, dan saya dari Padangpanjang. Untuk melepas lelah dari perjalanan, kami bersantai di beranda perpustakaan Forum Lenteng. Cerita seputar Pelatihan Pemantauan Media menjadi bahasan utama kami, bagaimana kegiatan pelatihan pemantauan media berjalan selama 4 hari itu.

Cukup lama kami berbincang, sampai akhirnya Ageung mengusulkan untuk jalan-jalan ke Kota Tua. Saya, Maina, Aboy, Qomar dan Maldi sepakat untuk ikut. Maina mengajak adiknya, Nuril yang tinggal di Depok untuk ikut. Juve tidak bisa ikut karena sedang tidak enak badan, Domi tidak tahu sedang di mana dan Rinal telah pulang ke Ciputat.

Pukul setengah lima sore kami berangkat menggunakan angkutan kota ke Stasiun Lenteng Agung. Sempat terjadi perdebatan kecil di antara kami tentang naik kereta ekonomi atau commuter line. Saya dan Ageung memilih untuk naik kereta ekonomi, Maina dan Nuril ingin naik commuter line, dan yang lainnya terserah kepada kami. Terdengar suara pengumuman bahwa kereta ekonomi sudah memasuki stasiun Universitas Pancasila, kami pun memutuskan untuk membeli tiket kereta ekonomi seharga Rp 2.000 per tiket. Namun setelah kereta ekonomi sampai, kami pun memutuskan untuk tidak jadi menaikinya karena kereta itu penuh.

“Tumben jam segini kereta ekonomi ke arah Jakarta Kota penuh.” Ageung heran melihat keadaan kereta ekonomi. Kami pun menukar tiket kami dengan tiket commuter Line dengan menambah Rp. 4000 per tiket. Tak lama, kereta pun datang. Berbeda dengan kereta ekonomi tadi, commuter Line justru tidak penuh oleh penumpang sehingga kami tidak kesulitan untuk mencari tempat duduk.

Gerbong kereta itu seakan-akan penuh oleh penumpang karena suara dan tingkah laku kami meramaikan gerbong itu. Kami sibuk berfoto-foto dalam kereta. Ada kejadian lucu, saat Qomar tidak sengaja menyenggolkan pantatnya ke wajah penumpang yang duduk di sebelahnya. Penumpang itu tidak marah, malah dia mengajak ngobrol Qomar. Di seberang sebelah kiri tempat duduk saya ada seorang penumpang wanita muda yang kelihatannya memandang aneh karena tingkah laku kami yang tidak mau diam. Lain lagi dengan anak kecil yang duduk di seberang kanan tempat duduk saya, dia seperti anak kera karena bergelantungan di pipa besi kereta. Ketika saya pindah tempat duduk dekat sepasang kakek dan nenek di bangku seberang, tiba-tiba mereka terbatuk-batuk. Hal pertama yang saya pikirkan, mungkin karena rambut saya yang memang belum keramas seminggu dan saya pun pindah kembali ke tempat duduk semula.

Qomar sedang berbicara dengan orang yang tersenggolnya

Ibu dan Bapak yang terganggu rambut gimbal Angga

Seorang anak bergelantungan di dalam kereta

Kami bertujuh berasal dari kota yang berbeda-beda. Saya dari Padang, Mainah dari Aceh, Maldi dari Lombok, Qomar dari Jember, Aboy dari Lebak, Ageung dari Lenteng Agung dan Nuril dari Depok. Di kereta kami bertukar bahasa. Beberapa kalimat kami terjemahkan ke dalam berbagai bahasa lokal di Indonesia. Seperti ‘saya pusing’ bahasa Acehnya, ‘lon mumang’ bahasa Lomboknya, ‘tiang pinengan’, bahasa Jawanya ‘aku ngelu’, bahasa Sundanya ‘abdi lieur’, dan bahasa Padangnya ‘paniang kapalo den’. Masih ada beberapa kalimat lagi yang kami terjemahkan.

Sampai di Stasiun Jakarta Kota, kami berhenti sejenak di jalan bawah tanah menuju Kota Tua karena Maina dan Nuril akan shalat Ashar di mushola. Sambil menunggu mereka, Aboy kembali beraksi dengan handphone-nya dan meminta tolong kepada Maldi untuk memfotonya. Hampir semua orang yang lewat melirik saya. Lagi-lagi, mungkin karena rambut gimbal ini. Menurut Ageung, rambut saya mengundang perhatian setiap orang yang lewat. Setengah jam kami menunggu dan akhirnya Maina dan Nuril pun keluar dari mushola. Kami pun melanjutkan perjalanan.

Suasana di Kota Tua

Di Kota Tua Maldi melihat orang yang berjualan baju khas Jakarta. Maldi tertarik untuk membeli dan kemudian menanyakan harga kepada saya.

“Ga, berapa ya harga baju itu?” Tanya Maldi.

“Ya, paling harganya Rp 15.000 atau Rp 20.000-an.” Jawab saya.

Ternyata Aboy pun tertarik untuk membeli, tanpa bertanya harga kepada saya seperti Maldi, dia langsung bertanya kepada pedagangnya yang sedang asik menelpon dengan berbahasa Sunda.

“Berapa harga baju ini?” Tanya Aboy.

“Rp 20.000 saja.”

“Kalau beli 2 bisa Rp 30.000 gak?” Aboy dan Maldi menawarnya. Pedagang tidak mau menjual dengan harga tadi. Aboy dan Maldi pun mengurungkan niatnya untuk membeli. Tawar menawar tadi membuat saya, Aboy dan Maldi terpisah dengan Ageung, Maina, Komar dan Nuril. Saya mencoba menghubungi Ageung melalui sms. Aboy sibuk melihat sekitar untuk mencari mereka. Sedangkan Maldi, sibuk mencari pedagang yang menjual baterai untuk kamera digitalnya. Tak lama, semua yang dicari kami temukan, Ageung datang bersama teman-teman begitu juga Maldi dengan baterai nya.

Sampai di Lapangan Fatahillah, lampu gemerlapan, lapangan itu penuh oleh manusia dan lapak-lapak dagangan. Banyak yang membuka lapak dengan berbagai jenis dagangan, seperti, aksesoris, permainan anak-anak, pakaian, sepatu dan masih banyak lagi. Ada yang menarik perhatian saya, lapak penjual kawat gigi yang sedang trend saat ini di kalangan remaja. Uniknya, kawat gigi ini bisa dipasang di tempat meskipun cahaya saat itu sedang temaram.

Suasana yang gemerlap saat malam hari di Kota Tua

Penjual jasa behel dengan lapak di Kota Tua

Di tengah-tengah lapangan kami menemukan sebuah tempat yang nyaman untuk duduk lesehan. Kami duduk-duduk di sana, memesan makanan dan minuman. Maina membeli es kelapa, Komar membeli bakso, Ageung dan Aboy membeli tahu gejrot, sedangkan saya dan maldi memesan kopi.  Semakin malam, Lapangan Fatahillah semakin banyak pengunjungnya. Wajar saja, hari itu memang hari Minggu. Lapangan ini sudah seperti pasar malam.

Kami menyebar, kecuali saya dan Maldi menunggu di tempat. Sesampainya kembali ke tempat, hanya Aboy yang membawa hasil. Dia memperlihatkan tas ransel berwarna hitam yang baru saja dia beli. Karena sudah merasa lelah, kami pun memutuskan untuk pulang. Di perjalanan pulang Maldi tertarik pada sebuah jaket yang terpajang di salah satu lapak. Karena harganya murah, saya dan Maldi membeli jaket dengan model dan warna yang sama. Tidak jauh dari lapak itu, ada juga lapak yang menjual baju-baju khas Bali dan saya pun membeli.

Nyaman rasanya sudah duduk manis di dalam kereta. Di sini kami kembali bertukar bahasa. Seperti, ‘lelah juga jalan-jalan seharian’, bahasa Acehnya ‘hek cit jak-jak sepanyang uroe’ bahasa Lomboknya ‘leleh seruak lampak-lampak sejeloan’, bahasa Jawanya ‘kesel pisan melaku-melaku sedinoan’, bahasa Sundanya ‘cape oge lelempangan sapopoe’, dan bahasa Padangnya ‘kironyo panek juo malala sahari panuah’. Sepanjang jalan pulang, kami pun mulai berfoto-foto lagi di kereta.

About the author

Avatar

Chandra Zefry Airlangga

Chandra Zefry Airlangga biasa dipanggil Angga, merupakan lulusan ISI Padangpanjang. Pemuda kelahiran 20 January 1990 ini, aktif berkegitan di Komunitas Sarueh, yang sebelumnya juga pernah mengikuti workshop akumassa Padangpanjang yang diadakan oleh Forum Lenteng. Dia juga berkontribusi dalam program Pemantauan Media Berbasis Komunitas sebagai pemantau perwakilan dari Padangpanjang Sumatera Barat.

3 Comments

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.