Pukul 19.00 WIB, aku berada di depan TPS pasar Ciputat bersama Iriel, Umam, dan Imam, temanku sesame anggota Komunitas Djuanda. Tadinya aku yang agak bosan dengan suasana di kantor Djuanda memutuskan untuk mengikuti ketiga temanku ini. Rencananya mereka mau hunting foto kemacetan yang biasa terjadi di sekitar Pasar Ciputat. Umam memutuskan untuk mengambil sudut kemacetan dari depan TPS Pasar Ciputat. Sesampainya di sana justru kami tidak menemukan kemacetan sama sekali, arus kendaraan sepanjang Jalan Ir. H. Djuanda lancar, tidak ada penumpukan kendaraan yang begitu berarti.
“Telat kali, Mam?” Kata ku pada Umam.
“Nggak! Kemarin tuh gue lihat macetnya jam segini. Mungkin belum. Kita tunggu aja.” Jawab Umam dengan yakinnya.
Akhirnya kami menunggu di depan gerbang Sekolah Puspita Bangsa, belum ada lima menit menunggu, kami dibuat terkejut oleh suara orang sedang berceramah. Sumber suara itu dari sebuah speaker yang dipasang di atap lantai empat Pasar Ciputat. Awalnya kupikir suara itu berasal dari pengajian di Masjid Agung Al-Jihad. Tapi mana mungkin, pikirku. Jarak dari Masjid Agung dengan TPS cukup jauh, apa mungkin di atas sana ada mushala? Aku terus bertanya-yanya dalam hati.
“Paling suara dari kaset. Kan banyak tuh kaset-kaset ceramah begitu,” kata Umam yang sedang asyik memotret. Masuk akal juga, tapi kok lebih terdengar seperti orang yang sedang mengajar daripada orang yang sedang ceramah? Penasaran, aku pun bertanya kepada penjaga konter HP di samping gerbang Sekolah Puspita Bangsa. Dugaanku ternyata benar. Katanya itu suara ustadz yang sedang memberi pengajian kepada pemuda-pemuda sekitar pasar. Pengajian tersebut berada di masjid yang terletak di lantai empat pasar.
“Masjid? Mushala maksudnya?”
“Bukan mushala tapi masjid. Neng mau shallat? Naiknya dari tangga tengah itu saja biar lebih aman, terus ke tangga sebelah kiri itu yang ada lampu neonnya, tinggal naik sekali lagi juga sudah langsung ketemu masjidnya,” kata penjaga konter itu menjelaskan sambil menunjukan arah jalannya pada ku.
“Oh, terima kasih ya, Bang.”
Ditemani Iriel, aku naik ke atas mengikuti petunjuk dari si penjaga konter tadi, sementara Umam dan Imam tetap di bawah menunggu momen kemacetan tiba. Lantai dua dan tiga pasar terlihat sangat gelap dan menyeramkan padahal belum jam tujuh malam. Lampu neon hanya dipasang di tangga-tangga sementara lorong-lorong dibiarkan gelap gulita. Tumpukan kardus terlihat di beberapa sudut. Aku melihat seorang gelandangan sedang tidur di samping tangga lantai dua, mencari kehangatan di antara tumpukan kardus itu. Bau sampah menyeruak dari TPS di bawah. Aku dan Iriel segera menuju lantai empat dan akhirnya kami menemukan masjid tersebut. Di tengah anak tangga lantai empat saya melihat banyak sandal berjajar, di anak tangga di atasnya tertulis SEPATU/SENDAL LEPAS DI SINI. Mulai dari anak tangga itu keramik putihnya terlihat begitu bersih mengkilap berbeda dengan tiga lantai di bawahnya yang kotor seperti halnya lantai pasar pada umumnya. kami segera melepas sepatu, begitu berbelok kami sampai di lantai empat yang dipasangi pagar teralis berwarna putih yang terbuka setengah, dan di baliknya kami disambut oleh kotak kaca besar bertuliskan KOTAK AMAL MASJID AT-TUJAR PASAR CIPUTAT. Ada beberapa pasang sandal dan sepatu bergeletakan di kanan kirinya. Rupanya memang ada masjid di atas pasar yang terkenal dengan masalah timbunan sampahnya ini.
Begitu masuk ternyata kami berdiri di sebuah lorong kecil yang panjang, di pojok sebelah kanan adalah tempat mengambil wudhu dan kamar mandi tanpa toilet. Di sebelah kiri kami melihat tiga pintu ruangan yang kemudian kami tahu masing-masing adalah ruangan kantor petugas keamanan pasar, kantor KOPAS (koperasi pasar) dan kantor pengurus masjid yang juga biasa dipakai menginap oleh Marbot masjid. Di bagian paling pojok kami kembali menemukan pintu teralis besi yang digantungi papan kecil bertuliskan “BUKA”. Semuanya bersih dan mengkilap tidak tercium bau sedikit pun. Suara orang sedang berceramah yang kami dengar tadi semakin jelas, rupanya ustadz di dalam sedang menjelaskan kedudukan Basmallah dalam Al-Qur’an.
Aku mencoba melongok ke dalam dan melihat beberapa orang laki-laki berpeci sedang khusyuk mendengarkan penjelasan dari sang ustadz. Saya mengajak Iriel masuk untuk mengikuti pengajian tersebut sekaligus melakukan wawancara kepada ustadz dan jamaah Masjid At-Tujar setelah pengajian selesai. Iriel yang hanya mengenakan celana pendek tidak mau masuk bergabung dengan jamaah pengajian, karena itu kami memutuskan untuk menunggu pengajian selesai sambil mengambil beberapa foto di lorong. Cukup lama kami di sana tapi pengajian belum juga selesai padahal sudah hampir jam delapan, aku agak cemas karena belum meminta ijin untuk pulang malam kepada orangtuaku, maklumlah anak perempuan.
“Ke bawah saja, yuk! Kita tanya sama orang sekitar pasar, minggu depan nanti kita ikut pengajiannya,” kataku. Iriel pun setuju. Tak lama kemudian di lantai tiga saya melihat seorang bapak-bapak memakai seragam dinas berwarna biru toska, dengan mantap aku menghampirinya dan menanyakan perihal Masjid At-Tujar, masjid yang berada di atas pasar.
“Oh, ini memang bukan mushalla, Dik, tapi masjid. Kalau adik mau ikut pengajiannya juga boleh, kebetulan malam kamis ini, memang jadwalnya pengajian remaja,” kata bapak berseragam itu yang kemudian kuketahui dari kartu pengenal yang dipasang di saku kemejanya bernama Ahmad, petugas keamanan Pasar Ciputat.
“Tadinya saya ingin masuk tapi teman saya pakai celana pendek, mungkin Rabu depan kami ikut pengajiannya, Pak,” ujar ku.
“Iya, ikut saja. Masjid ini memang sengaja dibuat agar para pengguna pasar dan remaja sekitar sini terbina akhlaknya. Rasulullah sendiri kan mengatakan kalau tempat yang paling buruk itu adalah pasar, nah kami disini mencoba meminimalisir keburukan yang ada di Pasar Ciputat dengan mendirikan masjid di atas. Kegiatannya juga rutin, ya supaya masyarakat pasar sini tidak bengal begitu.” Mulia sekali tujuan didirikannya Masjid At-Tujar ini.
Mengobrol dengan Pak Ahmad sangatlah menyenangkan, selain menceritakan tentang masjid At-Tujar beliau juga menceritakan keluhannya mengenai masalah sampah di TPS bawah yang tidak kunjung selesai walaupun sudah banyak sekali media yang menyoroti masalah tersebut. Aku sendiri penasaran dengan berbagai pengalamannya selama bertugas sebagai petugas keamanan pasar tapi karena waktu semakin malam aku pun membuat janji dengan Pak Ahmad untuk bisa mengobrol kembali.
“Nanti sekalian saya kenalkan dengan Pak Haji Rohim, beliau ketua pengurus masjidnya,” kata Pak Ahmad menutup perbincangan kami. Aku sangat senang mendengarnya dan berjanji akan menemuinya lagi pada Jumat pagi, saat dia dinas pagi.
Sayang sekali pada Jumat yang dijanjikan aku tidak bertemu dengan Pak Ahmad atau pun Pak Haji Rohim, padahal aku sudah sampai di Pasar sejak jam delapan pagi. Tapi aku tidak melihat satu pun petugas pasar yang berjaga, hanya petugas SATPOL PP yang lalu lalang di dekat TPS menertibkan para pedagang kaki lima. Aku pikir aksi penertiban yang bertujuan untuk mengurangi kemacetan ini kurang efektif, karena nyatanya para petugas tersebut malah memarkir mobil dinas mereka sembarangan dan membiarkan tukang-tukang ojek memadati pinggiran jalan menggantikan para pedagang yang menggulung dagangan mereka. Sambil menunggu saya iseng jalan-jalan melihat-lihat situasi Pasar Ciputat dan menanyakan kios dagangan Haji Rohim. Seorang ibu pedagang kue basah menunjuk sebuah kios aksesoris dan pakaian anak-anak yang berada tepat di sebelah Toko Mas Gloria “Itu tokonya, Neng,” kata si ibu. Tapi sampai jam sepuluh menunggu saya belum juga menemukan sosok Pak Ahmad ataupun Haji Rohim. Di kios Haji Rohim yang dipenuhi berbagai aksesoris wanita, aku hanya bertemu dengan penjaga kiosnya. Karena pagi itu kebetulan adalah hari pertama rapat kerja Komunitas Djuanda, ahirnya aku memutuskan untuk kembali lagi setelah rapat kerja selesai.
Beruntung walaupun tidak menemukan Pak Ahmad, beberapa hari kemudian saat aku dan Iriel kembali ke kios Haji Rohim, aku bisa bertemu dengan beliau yang sedang menjaga kios dagangannya. Kios Haji Rohim sangat kecil, bukan sebuah toko tapi lapak dari kayu dan lemari etalase di pinggir kanan kiri lorong pasar, di sebelah kanan lemari etalasenya dipenuhi oleh dompet-dompet, anting, gelang, kalung, bando, jepit rambut, gantungan HP, tas-tas kecil, pin, bros, cincin dan berbagai macam aksesoris wanita dan anak-anak lainnya. Di pinggir sebelah kiri sebuah meja kayu besar ditumpuki oleh macam-macam pakaian dalam wanita, anak-anak dan pria. Dindingnya digantungi banyak sekali pakaian anak-anak bergambar karakter kartun seperti Doraemon, Upin-Ipin, Power Ranger, Batman, Spiderman dan banyak lagi. Haji Rohim sendiri berperawakan sedang, khas orang Sunda, kulitnya bersih walaupun tidak putih, wajahnya tenang dan di dahinya ada dua tanda hitam yang menurut banyak orang menandakan bahwa sang pemilik tanda tersebut adalah orang yang rajin beribadah. Saya langsung mengerti kenapa beliau diangkat menjadi kepala pengurus masjid. Melalui perkenalan dan sedikit basa-basi, Haji Rohim menceritakan sejarah berdirinya Masjid At-Tujar dan kegiatan-kegiatan yang ada di dalamnya.
Masjid At-Tujar sudah ada sejak Pasar Ciputat selesai direnovasi pada tahun 1997 tapi hanya sebagai mushalla saja. Seiring waktu mushalla tersebut mengalami banyak renovasi dan pelebaran tempat maka mushala pun berubah menjadi masjid yang kini bisa dipakai untuk Shalat Jumat oleh para pemilik toko dan warga di sekitar Pasar Ciputat. Tanda-tanda bekas renovasi pun masih terlihat jelas karena dindingnya yang dulu tidak dibongkar seluruhnya tapi dihilangkan sebagian, kemudian dibentuk menjadi dinding pembatas sehingga ruangan masjid yang cukup luas tersebut terbagi menjadi tiga bagian. Yaitu, bagian tempat shalat laki-laki dan mimbar, bagian tempat shalat perempuan dan bagian pinggir yang dipakai sebagai jalan menuju tempat shalat perempuan.
Kegiatan di masjid ini juga cukup padat dan intensif. Setiap malam selalu ada pengajian dengan berbagai macam materi pembelajaran seperti Fiqih, Tafsir al-Qur’an, Qira’at, Retorika Dakwah, dan lain sebagainya. Untuk Senin malam dan Rabu malam guru yang didatangkan khusus dari luar pengguna pasar tapi pada malam-malam lainnya biasanya Haji Rohim sendiri yang memberi materi pelajaran khususnya materi Retorika Dakwah. Guru yang didatangkan pun cukup banyak karena setiap minggunya materi pengajian ini berbeda-beda. Senin malam untuk pengajian bapak-bapak dan Rabu malam untuk pengajian remaja tapi tidak jarang anggota pengajiannya berbaur tanpa mengenal usia. Selain dua malam tersebut ada satu lagi pengajian khusus, yaitu pengajian yang diadakan oleh komunitas-komunitas pedagang dari berbagai daerah, waktunya pun tidak tentu sesuai keinginan mereka. Selain itu Masjid At-Tujar juga memiliki BMT ( Baitul Maal wat-Ta’wil) yang mengurus zakat, infak, shadaqah dan juga mengadakan tabungan kurban untuk para pedagang di pasar. Ada juga TPK (Tabungan Pulang Kampung) untuk para pedagang di Pasar Ciputat, tabungan ini sebenarnya bersifat pribadi tapi dana yang terkumpul kemudian dititipkan di masjid sampai pada saatnya kemudian dibagikan kepada pemiliknya untuk ongkos pulang kampung.
Pasar Ciputat sangat terkenal oleh tumpukan sampahnya yang menggunung tapi jika kita naik ke lantai empat pasar dan shalat di dalamnya kita akan melupakan situasi pasar yang ruwet, kotor dan bau karena Marbot Masjid At-Tujar sangat menjaga kebersihan masjid mulai dari tangga, tempat wudhu, kamar mandi, lorong, kantor sampai di dalam masjidnya semuanya bersih dan wangi, suasananya pun sangat tenang dan sejuk. Pantas saja banyak sekali orang yang betah berlama-lama di dalamnya, selain untuk beribadah juga untuk melepas penat setelah lelah berbelanja berkeliling pasar karena tempatnya yang luas. Beribadah jadi terasa khusyuk dan nikmat. berbeda dengan pasar-pasar lainnya yang biasanya hanya menyediakan mushala kecil itupun harus bersebelahan dengan WC umum yang becek dan bau. Ternyata selain sampah, Pasar Ciputat juga memiliki keunikan lainnya dibanding pasar yang lain. Yaitu, masjidnya yang bersih dan cantik dan dikelola secara profesional layaknya masjid-masjid besar pada umumnya.
Di akhir perbincangan aku pun tertarik untuk membeli sebuah bando kecil yang di jual Haji Rohim. Begitu aku mengeluarkan dompet dan menanyakan harganya beliau malah memberikan bando kecil itu secara gratis kepadaku dan mengundang kami ke rumahnya yang ternyata juga dijadikan tempat pengajian anak-anak yang diberi nama TK dan TPA al-Faath. Aku jadi merasa terharu oleh kebaikan Haji Rohim, padahal kami baru pertama kali bertemu.
Wah, menemukan Masjid At-Tujar seperti menemukan harta karun di Pasar Ciputat yaa… Mantap.
tadinya ini benar-benar sebuah pra-duga sebuah tempat ibadah yang tak terduga sebelumnya..
Rosul bersabda : barang siapa yang mengamalkan sunahku tatkala zaman sedang rusak, maka pahalanya seratus orang mati syahid….. setiap orangb berharap ada atsar (perubahan) dalam dirinya, orla dan seluruh masy, nabi katakan “Ibda’ Binafsik” mulai dari dirimu….. Mudah2an tulisan ini bisa bermanfaat bagi penulis, rekan-rekan akumassa dan semua manusia, bahwa hidup tak terus kencang berlari… there is a space..
kereeeeeeeennnn… lagi…lagii…lagiii… temukan yg “ajaib-ajaib” di sekitarmu…
Mantap.. subhanallah..
Allohumma balighnaa fi masajidallooh……Robbijj’alni muqiimashsholaati…… syukron akhi….