Ide akumassa yang diinisasi dan diimplementasikan oleh Forum Lenteng dalam bentuk program pendidikan media dengan cara saling berbagi wawasan secara setara bersama-sama dengan warga lokal yang direpresentasikan oleh komunitas setempat, mendayagunakan sudut pandang warga masyarakat sebagai kekuatan. Konsistensi kerja berjejaring antarkomunitas dampingan akumassa membuat ide ini terus berkembang dan mulai memberikan dampak yang signifikan—terutama kontribusinya bagi perkembangan jurnalisme warga di Indonesia—dilihat dari kemampuannya bersinergi secara cair dengan lingkungan akademis. Beberapa akademisi pun menjadikan akumassa sebagai kajian teoritis. Lingkungan para pelaku kebudayaan kontemporer, belakangan, mulai membangun wacana bahwa kerja-kerja di tingkat komunitas adalah solusi bagi krisis global yang terjadi sekarang ini. Dan itu, telah dilakukan oleh akumassa secara berkelanjutan sejak tahun 2008—bahkan, sebenarnya sejak tahun 2003, ketika terma akumassa ini belum lagi dirumuskan, Forum Lenteng telah membangun perspektif itu.[1]Sebagai catatan tambahan, perlu diketahui bahwa Thomas J. Berghuis, seorang kurator di Guggenheim Museum, New York, juga pernah meneliti akumassa. Selain itu, pada tahun 2010 ketika akumassa diundang ke Korea Selatan, Sunjung Kim, direktur Artsonje, menyebut akumassa sebagai role model untuk pelaksanaan aksi pemberdayaan komunitas oleh masyarakat, karena pada umumnya, kegiatan-kegiatan seperti ini baru akan berjalan ketika pemerintah melakukannya (dan itu pun tidak dilakukan secara tepat dan memadai).
“Kamu bisa memberikan workshop pada mahasiswa-mahasiswa saya,” ucap Reinaart Vanhoe, seorang seniman berbasis di Rotterdam, ketika kami sedang merokok di sebuah ruangan paling belakang di markas Casco—sebuah organisasi seni di Utrecht—pertengahan November lalu.
Ketertarikan Reinaart kepada akumassa bukanlah hal yang mengejutkan, menurut saya. Justru karena dia paham betul dengan gerakan komunitas yang sedang marak terjadi di beberapa tempat—dia pernah memperlihatkan kepada saya proyek penelitian yang dia lakukan di Indonesia tentang gerakan akar rumput ini—akumassa adalah salah satu inisiatif lokal yang menjadi perhatiannya. Tanpa pikir panjang, saya pun bertanya workshop seperti apa yang diinginkannya? Apakah sanggup kampusnya memfasilitasi pertemuan untuk satu bulan (waktu ideal yang paling minimal agar bisa memahami akumassa secara utuh)?
“Itu terserah kamu! Kamu bisa mengajarkan mereka bagaimana cara menulis yang baik, jika kamu mau,” jawabnya sambil menaikkan alis mata kanannya.
“Bikin akumassa ad hoc aja! Mungkin bisa!” Otty, yang saat itu juga bersama kami, menimpali.
Sebenarnya saya sangat bersemangat jika bisa menyelenggarakan workshop satu bulan, atau minimal workshop kilat semacam akumassa ad hoc yang pernah kami lakukan di Paseban untuk Jakarta Biennale tahun lalu. Tapi memang waktu yang ada sangat tidak memungkinkan. Selain kampus-kampus di Eropa sedang menjelang liburan akhir tahun, aktivitas riset yang saya lakukan di sini juga memerlukan banyak energi dan waktu. Sedangkan ide berbagi program melalui kegiatan mengajar yang akan saya lakukan ini bisa dibilang sedikit mendadak. Akhirnya, saya justru diundang sebagai dosen tamu yang akan berbagi ide ini kepada sekitar dua puluh mahasiswa di kelasnya.
Setelah mengurus hal-hal yang diperlukan, seperti jadwal dan ruangan, Reinaart memberi kabar bahwa saya berkesempatan bertemu dengan mahasiswanya sebanyak dua kali, tanggal 12 dan 17 Desember, 2014. Kesempatan menjadi dosen tamu di Willem de Kooning Academy—salah satu sekolah tinggi bergengsi di Belanda untuk pendidikan tentang media, seni dan desain, yang berbasis di Rotterdam dan merupakan bagian dari Rotterdam University of Apllied Sciences—adalah keputusan yang menarik, dan juga tepat. Selama ini akumassa sudah membuka jaringannya di wilayah yang cukup luas. Selain terus membangun kerjasama dengan 10 komunitas di berbagai daerah di Indonesia, akumassa juga beberapa kali diundang untuk memberikan presentasi atau kuliah terbuka di beberapa negara, berpameran, dan juga terlibat dalam beberapa festival filem dan video internasional. Kehadiran saya di Belanda membuka kesempatan Reinaart untuk memperkenalkan mahasiswanya dengan akumassa, dan bagi program akumassa sendiri, ini adalah saat yang tepat untuk mulai memperkenalkan lebih jauh sebuah metode partisipasi masyarakat dalam bidang seni media ke dalam wilayah akademis secara lebih langsung di dalam kelas.
Kalau sudah begitu, apa yang harus saya persiapkan?
***
Sejak awal, ketika kami mendiskusikan rencana ini, Reinaart berujar bahwa mahasiswa yang akan saya temui belum pernah mendapat tugas untuk membuat karya tulis serius yang berbasis riset. Kebetulan, pada semester ini mereka belajar tentang hubungan antara seni, seniman, masyarakat dan konteks lokal. Oleh sebab itu, residensi saya di Belanda dapat menjadi momentum untuk berbagi pengetahuan mengenai Program akumassa dari Forum Lenteng.“Kamu bisa menjelaskan pada mereka bagaimana seorang seniman dapat membuat karyanya bagi lokalitas mereka sendiri,” kata Reinaart, satu malam sebelum tanggal 12, di rumahnya. Sembari menyeruput bir dan makan kue kering, Reinaart menjelaskan kepada saya sebuah ilustrasi yang ia paparkan kepada mahasiswanya.
Reinaart mencontohkan, misalnya, seorang seniman yang beraktivitas di lingkaran pertemanannya sendiri, di luar mereka ada lingkaran yang lebih besar, seperti lingkungan institusi (museum, galeri, universitas), lalu ada lingkaran kritik, kemudian industri dan pemerintahan, dan wacana. Semua lingkaran yang bertingkat-tingkat itu berada dalam satu ruang lokalitas, misalnya sebuah kota. Sementara itu, ada ruang lokalitas yang lain yang memiliki struktur lingkaran yang sama. Lalu Reinaart menyatakan bahwa saat ini seniman dituntut agar dapat membuat sesuatu untuk lingkungan lokalnya itu, tidak datang ke lingkungan lokal lain dan mengajar-ajari orang-orang lokal di daerah lain itu seolah-olah si seniman adalah si mahatahu—semacam seniman ala modernisme Barat yang memiliki “ke-aku-an” yang begitu tinggi.
“Kau bertingkah seperti ‘stupid artist’ yang berbuat sesuatu dalam lokalitasmu sendiri,” katanya sambil tertawa. Kata ‘stupid’ yang ia maksud bukan bermakna negatif, tetapi sebagai penegas tentang karakteristik seniman yang berbaur dengan warga awam dan tidak berlagak sebagai ‘orang paling pintar’. Meskipun dalam konteks bercanda, saya agak kurang setuju dengan istilah ‘stupid’ itu. Yang lebih tepat menurut saya adalah ‘seniman tanpa arogansi’.
“Mengapa kau harus datang ke sebuah lingkaran lain dalam masyarakat jika kau memiliki komunitas sendiri yang bisa kau ajak bekerjasama? Maka, kau berada dalam lingkaran ‘orang-orang bodoh’ yang bekerja bersama untuk ‘lingkungan bodoh’-mu. Kau sama halnya dengan komunitasmu,“ kata Reinaart melanjutkan.
“Uhuh!” saya mengangguk tersenyum mendengar penjelasannya.
“Itulah yang dilakukan akumassa dalam programnya,” kata Reinaart, masih bercerita tentang materi pelajaran yang dia berikan di kelas kepada mahasiswanya. “Dan minggu depan, Zikri dari akumassa akan menjelaskan lebih jauh tentang hal tersebut.”
“Kamu bisa bilang pada mereka, ‘Hi, Guys! Saya punya perspektif yang menarik, nih, akumassa, dan saya hanya ingin tahu bagaimana kalian semua meresponnya!’ Begitulah kira-kira,” kata Reinaart lagi, ketika saya bertanya padanya tentang bagaimana sebaiknya saya memulai kuliah itu—bukan karena saya gerogi mengajar, tetapi karena belum tahu karakteristik mahasiswanya.
Intinya, diskusi saya dengan Reinaart menegaskan bahwa saya harus bisa menyesuaikan porsi materi yang akan diberikan kepada mahasiswanya. Tidak sepenuhnya seperti workshop akumassa, tetapi lebih bereksperimen dalam penyampaian ide ini, dan mengharap respon para mahasiswa terhadap akumassa itu sendiri. Reinaart berharap bahwa output dari kolaborasi kami ini—yang berupa kuliah, bukan workshop—adalah karya tulis (atau video) dari para mahasiswa dan akan dimuat di website www.akumassa.org di sekitaran Bulan Februari tahun depan.
***
Kampus Willem de Kooning Academy terletak di Blaak 10, sekitar 20 menit dari rumah Reinaart yang berada di dekat Stasiun Wilheminaplein. Jika menaiki transportasi publik kereta metro dari Wilheminaplein, kita harus mengambil jurusan ke Den Haag dan turun pada pemberhentian kedua di Stasiun Blaak. Dari sana, kita berjalan sekitar lima menit.Di bagian depan gedung kampus itu, terpampang tulisan besar: “I have to change to stay the same”. Kalimat ini terkenal melekat pada Willem de Kooning, dalam mendeskripsikan tantangan untuk menjaga kehidupan dalam seni. Mengingat de Kooning adalah salah satu sosok representatif dari gerakan abstract expressionism—yang tumbuh di tengah-tengah iklim Perang Dingin, di mana seniman menyampaikan gagasan emosional dan ekspresi seninya dalam bentuk abstrak demi melawan dominasi kanon abad 20 awal—menghadirkan tema semacam akumassa di kampus yang menggunakan namanya, bagi saya, sudah menjadi sebuah eksperimen akan seni itu sendiri.
“Menarik, nih! Pasti!” ujar saya dalam hati ketika mengambil foto bangunan kampus tersebut.
Kampus ini tak begitu besar, tetapi memiliki fasilitas yang sangat baik. Mulai dari laboraturium, studio, ruang produksi, dan perpustakaan disediakan dengan begitu lengkap dan dapat diakses secara bebas oleh semua warga akademiknya. Saya pun tanpa sadar mengeluh kepada Reinaart, ketika dia mengajak saya berkeliling untuk melihat isi seluruh bangunan kampus, meskipun dia tidak menanggapinya dengan serius.
“Kampus saya, Universitas Indonesia di Depok, gedungnya sangat besar. Tapi sebagian besar ruangannya kosong,” kata saya, mengingat perpustakaan pusat di UI.
***
Ruangan kelas tempat saya akan mengajar berada di lantai paling bawah. Para mahasiswa sudah berada di dalam ruangan ketika saya dan Reinaart tiba—sebenarnya, kami terlambat sekitar 15 menit. Tanpa basa-basi terlalu lama, Reinaart segera memeriksa daftar mahasiswa yang hadir, lalu memperkenalkan saya. Tak lupa dia menyebut sebuah kota di Sumatera Barat sebagai kampung saya—padahal bukan, karena saya berasal dari Pekanbaru, sedangkan yang dia sebut adalah Padangpanjang—dan merupakan salah satu lokasi yang berhasil membangun pusat data lokal (Sarueh Openspace) dengan menggunakan perspektif akumassa.Presentasi yang saya lakukan berjalan dengan lancar, dan sepertinya tak banyak hal yang tak dimengerti oleh para mahasiswa di kelas itu. Saya berusaha memadatkan seluruh materi akumassa, yang biasanya diberikan dalam beberapa kali pertemuan selama workshop, menjadi presentasi 45 menit menggunakan software Power Point, lengkap dengan ilustrasi untuk membantu mereka memahami arti dari “akumassa”, yakni “aku” dan “massa”, prinsip-prinsip akumassa (narasi kecil, peristiwa massa dan lokasi), serta teknifikasi pembuatan karya video. Saya juga mengenalkan beberapa kegiatan lanjutan dari Program akumassa selain workshop di sepuluh lokasi di Indonesia, seperti program penelitian Rekam Media dan pengembangan website sebagai kanal informasi alternatif.
Saya juga sempat menunjukkan beberapa contoh tentang betapa pentingnya bagi akumassa membingkai narasi-narasi lokal, bahkan yang berupa cerita rakyat atau mitos. Sebab, saya menerangkan kepada mereka bahwa sudut pandang narasi kecil semacam itu, terkadang, lebih relevan untuk menjelaskan kejadian yang ada di hari ini. Saya mencontohkan cerita “Si Bigau” dari Padangpanjang, yang merepresentasikan kritik terhadap aktivitas berburu babi di hutan oleh masyarakat di sana.
Seorang mahasiswi kemudian bertanya, kalau tidak salah, kalimatnya: “Mengapa kakinya diilustrasikan seperti itu…” dia menunjuk gambar yang saya tampilkan di layar. Maksudnya, dia bertanya mengapa kaki si Bigau menghadap ke belakang.
Saya pun bingung. Mengapa, ya? Tapi saya jawab pertanyaanya, “Jujur saja, saya tidak tahu mengapa. Tapi kalian bisa melihatnya di website kami tentang Si Bigau ini. Seorang partisipan dari Komunitas Sarueh membuat artikel tentang legenda ini. Itulah mengapa tadi saya katakan penting bagi kita membuat sendiri sketsa dan informasi tentang isu tertentu lalu mendistribusikannya kepada masyarakat luas.”
Si mahasiswi itu menanggapi bahwa ia teringat sebuah perumpamaan yang pernah ia baca, bahwa kaki menghadap ke belakang itu merepresentasikan suatu perlindungan. Atau, dia juga menduga bahwa mungkin karena itu adalah cerita lama, makanya si ilustrator menggambarkan kakinya menghadap ke belakang. Saya tertawa di dalam hati karena sebuah ilustrasi bisa memancing interpretasi yang menarik pengalaman personal orang yang melihatnya.
Menjelang akhir pertemuan kelas, sebelum saya memberikan tips-tips menulis ala akumassa, saya menyajikan salah satu video akumassa dari Randublatung, berjudul “Hari-hari Sapi”. Video ini saya pilih karena beberapa alasan. Pertama, video ini adalah yang paling sering diulas dalam perspektif seni—saya teringat dengan penelitian skripsi dari Otty. Kedua, video ini paling jelas menunjukkan metode dan mekanisme akumassa dalam eksperimentasi bahasa audiovisual. Dan ketiga, karena ada adegan mengejutkan di akhir video.
“Ada yang tahu artinya?” tanya saya, menunjuk kata ‘hari-hari sapi’.
“Terburu-buru…?” tanya salah seorang mahasiswa, yang belakangan saya ketahui bernama Sal.
Saya mengernyit mendengar jawabannya, sedangkan Reinaart tertawa.
“Bukan, artinya adalah ‘a days for the cows’,” kata saya, mencoba menerangkan. “Hari is day while sapi is cow in Bahasa Indonesia.”
“That’s ‘hari’, not ‘hurry’!” timpal teman-temannya, tertawa.
“Kalian akan melihat dalam video ini bagaimana warga lokal menjalankan aktivitas sehari-harinya, seperti transaksi jual beli sapi di hari-hari tertentu. Juga bagaimana masyarakat lokal berpandangan bahwa sapi sama dengan uang. Jika kamu memiliki banyak sapi, itu artinya kau adalah seorang kaya. Bahkan, karena mereka menyayangi sapinya, mereka memelihara sapi-sapi mereka di dalam ruang utama rumah mereka, bukan di ruang yang terpisah dari rumah!” kata saya, menerangkan latar belakang video tersebut.
Mendengar penjelasan saya itu, beberapa mahasiswa yang sebelumnya terlihat bermalas-malasan, menegakkan posisi duduknya. Hampir semua dari mereka menunjukkan ekspresi wajah yang penasaran. Tak lupa pula Reinaart menginstruksikan semua mahasiswa itu untuk membuat beberapa catatan mengenai video yang akan mereka tonton, termasuk analisa kritis terhadap video tersebut.
Kira-kira dua puluh menit berjalannya video itu, ketika layar menampilkan suasana di padang rumput di mana sapi-sapi berjalan pelan-pelan, salah seorang mahasiswi bertanya kepada saya dengan nada agak kesal, “Apa ini yang anda maksud dengan memelihara sapi di dalam rumah?”
“Sabar! Kalian akan melihat adegan tersebut di akhir tayangan video ini!” jawab saya tersenyum santai.
Benar saja! Ketika adegan di dalam ruang tengah sebuah rumah milik warga dan tiba-tiba sesosok kepala sapi muncul di depan kamera, orang-orang di kelas itu tertawa. Beberapa kali sapi muncul di depan kamera, semakin jelas memperlihatkan bahwa kandang sapi memang berada di dalam rumah. Saya lihat beberapa mahasiswa kemudian menulis sesuatu di buku catatan mereka.
Setelah menonton video itu, tanggapan mereka beragam. Ada yang berujar bahwa mereka dapat mengidentifikasi teknifikasi akumassa di video itu, seperti ambilan gambar yang statis dan mengikuti sirkulasi perpindahan orang-orang di lokasi tempat dibuatnya video. Ada juga yang berpendapat bahwa video tersebut adalah video yang jujur.
“Saya bisa melihat video ini sangat murni, tidak seperti filem dokumenter lainnya yang memberikan narasi yang menjelaskan ini-itu, that’s bullshit!” begitu kira-kira ujaran seorang mahasiswa, yang saya tak sempat bertanya siapa namanya, menanggapi “Hari-hari Sapi”.
Ada juga seorang mahasiswi lainnya yang berpendapat bahwa video itu biasa saja dan tidak mengejutkan. Karena baginya, melihat dan berinteraksi dengan sapi adalah aktivitas rutin yang ia lakukan di kampungnya. Selain itu, menurutnya video “Hari-hari Sapi” itu membosankan.
Menanggapi kritik itu, saya pun berkata kepadanya seraya tersenyum jahil, “Saya menyarankan Anda untuk coba berpikir bahwa kebosanan itu sendiri merupakan ‘seni’!”
Saya dapat melihat dari depan kelas bahwa Reinaart tertawa mendengar perkataan saya itu. Jujur saja, kalimat ini pernah saya dengar dari Otty beberapa minggu yang lalu. Dan ternyata, kalimat ini cukup ampuh menjelaskan kepada para mahasiswa bahwa apa yang dibayangkan oleh akumassa dalam videonya adalah sebuah eksperimen bahasa yang mencoba melawan dominasi dokumenter arus utama.
“Selama ini, kita dihibur terus menerus oleh filem-filem Hoolywood, program-program TV, gosip, acara hiburan. Sekarang kita harus melihat satu gaya visual yang berbeda…” kata saya, dan beberapa mahasiswa mengangguk-anggukkan kepalanya.
Setelah itu, saya pun menggeser tampilan Power Point saya ke materi yang terakhir, yakni tentang cara membuat tulisan akumassa dengan mudah. Saya menegaskan bahwa tulisan akumassa selalu berangkat dari hal-hal yang paling dekat dan berkaitan dengan konteks lokasi.
“Sebagai contoh, saya mau membuat kisah tentang sepatu saya,” saya menunjuk sepatu boot yang saya gunakan kepada mereka, sambil mengangkat salah satu kaki. “Maka, saya harus mengatakan pada pembaca di mana saya membeli sepatu ini, dan di mana saya mengenakannya. Di Eropa. Coba kalian bayangkan jika saya memakainya di Indonesia, orang-orang akan mengira saya sinting. Itu adalah contoh utama bagaimana sebuah lokasi sangat penting dalam cerita kalian.”
Tidak ada yang bertanya pada sesi terakhir itu. Ketika kelas berakhir, beberapa mahasiswa mengambil foto layar monitor yang masih menampilkan poin-poin cara menulis cerita dengan gaya akumassa, sebab mereka diberi tugas oleh Reinaart untuk membuat tulisan. Pada pertemuan berikutnya, mereka harus mempresentasikan rancangan tulisan yang akan mereka kerjakan selama liburan.
***
Pada pertemuan kedua, tanggal 17, tanpa ditemani oleh Reinaart, saya memandu kelas yang sama dengan menggunakan metode collaborative learning untuk membuat para mahasiswa itu lebih mengerti apa itu akumassa. Tak begitu banyak mahasiswa yang hadir pada hari itu. Saya membagi mereka ke dalam beberapa kelompok, lalu setiap kelompok harus menukarkan tugas individu mereka ke kelompok yang lain. Kemudian, mereka harus membuat ulasan mengenai draf tulisan milik anggota dari kelompok lain itu, mengkritisinya berdasarkan prinsip-prinsip akumassa.Selama proses kerja kelompok itu, saya mendapati bahwa mahasiswa di dalam kelas ini memiliki rasa kebebasan yang cukup tinggi. Maksudnya, tidak ada tekanan soal sikap dan perilaku. Mereka bebas melakukan apa yang mereka mau, seperti membuka media sosial atau bermain game di dalam kelas. Saya pun berpikir bahwa mungkin memang begitu budaya di sini. Selama tugas bisa kelar sesuai instruksi, tak ada yang perlu dipermasalahkan dengan kegiatan mereka yang lain selama kelas berlangsung.
“Bagaimana jadinya jika situasi ini terjadi di Indonesia,” ujar saya dalam hati. “Penghapus papan tulis dengan seketika akan melayang ke meja mahasiswa yang membuka game di laptop.”
Tapi ternyata ekspektasi saya tak tercapai. Awalnya, saya berpikir akan mendapat suatu pengalaman debat-diskusi antarkelompok yang seru—terpengaruh oleh anggapan bahwa murid-murid di Eropa pasti pintar dan aktif bersuara. Nyatanya, presentasi dan diskusi antarkelompok itu berjalan dengan sangat ‘garing’. Mereka tak bisa dibilang aktif dalam berdiskusi. Bahkan, ulasan yang mereka lakukan terhadap draf-draf tulisan dari kelompok lawan pun terkesan terlalu standar. Misalnya, “Yah, idemu menarik…”, atau “Unik, karena saya juga memiliki pengalaman serupa…”, atau “Saya rasa kamu bisa memberikan contoh lebih banyak…,” dan bla bla bla
Saya pun berpikir, apakah hal yang saya sampaikan tidak tersalurkan dengan baik? Adakah yang salah atau kurang efektif dari cara penyampaian saya? Sebab, review yang mereka lakukan hanya sedikit yang merujuk pada prinsip-prinsip akumassa. Atau, apakah jangan-jangan karena memang Reinaart—dan tipikal dosen di Barat lainnya—sengaja membangun suasana kelas yang bebas? Ini agak gegabah, menurut saya, karena suasana yang bablas seperti ini bisa mengingkari kenyataan bahwa mahasiswa seni yang belum lagi melihat dunia kesenian yang lebih luas harus mulai mendidik dirinya sendiri untuk menyimak suatu wacana secara serius dan kritis.
Namun, tak tepat pula jika mengatakan bahwa mereka tidak mengerti sepenuhnya ide akumassa ini. Sebab, beberapa di antara mereka mengajukan ide tulisan yang benar-benar menarik. Contohnya, Gerson. Dia berniat ingin menulis cerita tentang kebiasaan di bawah alam sadar orang-orang yang selalu mengeluarkan bunyi “Errr…” atau “Ng…” ketika bercakap-cakap. Atau, ide dari Nash yang ingin menuliskan rutinitas dua puluh empat jam masyarakat yang menggunakan mobile phone merujuk ke lingkungan pertemanannya sehari-hari. Ide si Maarle juga menarik karena dia ingin membuat narasi tentang tas plastik yang sering ia gunakan jika harus pergi ke pasar.
Dan ide yang paling menarik muncul dari Tyson. Dia senang mengumpulkan surat-surat tagihan hutang dari bank yang sering dikirimkan oleh pos ke apartemen-apartemen di tempat tinggalnya. Tyson, dalam presentasinya, memaparkan bahwa ia melihat itu sangat erat dengan isu akumassa karena surat-surat seperti itu lekat dengan aktivitas kolektif dan distribusi massal. Dia pada hari itu bahkan membawa segepok surat sebagai memorabilia, sehubungan dengan ide karyanya.
“Ini adalah semacam proyek personal saya,” katanya. “Dan saya rasa, menampilkan surat-surat tersebut sebagaimana adanya akan mengundang penonton untuk merasakan narasinya.”
“Bagaimana kamu akan menampilkan proyek ini pada audiens?” saya bertanya, di tengah-tengah debat-diskusi.
“Saya akan menggantungkannya, atau menata surat-surat itu dalam sebuah ruangan, mungkin…” katanya seraya mengangkat kedua bahu. “Atau, mungkin menatanya dalam apartemen…”
“Tapi, bagaimana cara orang-orang bisa merasakan dan mengerti kisah di belakangnya jika mereka tidak bisa datang ke apartemenmu…?” saya bertanya lagi.
“Ya! Saya tahu, cara terbaik menjelaskan tentang surat-surat ini adalah dengan membuat sebuah tulisan…” katanya menganggung-angguk.
“Jadi, kamu bakal membuat sebuah artikel, kan?” tanya saya lagi, jahil.
Dia dan mahasiswa yang lain tertawa mendengar pertanyaan bertubi-tubi saya itu. “Alright! I will try…!” katanya akhirnya.
Dalam debat-diskusi itu juga terjadi hal yang menarik—dan menggelikan, bahkan. Si ketua kelas (saya benar-benar lupa siapa namanya), tiba-tiba dengan begitu saja mengangkat panggilan telepon ketika ia sedang mempresentasikan idenya. Dari percakapannya di telepon, saya dapat menebak bahwa yang menelpon adalah orangtuanya. Anehnya, tak ada yang merasa terganggu dengan situasi itu. Saya pribadi tidak terganggu, tapi merasa aneh (dan bahkan tertawa di dalam hati).
Ketika si ketua kelas selesai berbicara melalui telepon—kira-kira selama lima menit—saya pun menyela dan mengatakan bahwa peristiwa yang baru saja kami saksikan adalah akumassa.
“Ini pengalaman luar biasa bagi saya karena ini pertama kali saya melihat seorang presenter menjawab panggilan telepon di tengah-tengah presentasinya. Saya akan menulis kisah ini!” kata saya, tertawa, sedangkan si ketua kelas terlihat risih karena baru menyadari ketidaktepatan sikapnya.
“Aha…!” seru Sila, mahasiswa yang mempunyai ide untuk membuat video tentang situasi di dalam kereta, dalam rangka menanggapi metode akumassa. Niatnya ini serupa dengan Sal, yang ingin membuat video tentang rutinitas menonton televisi di rumahnya.
Kelas pada pertemuan kedua itu pun berakhir lima belas menit lebih cepat karena tak terjadi perdebatan yang cukup berarti.
***
Ketika saya menceritakan situasi tentang jalannya diskusi antarkelompok yang jauh di bawah ekspektasi saya kepada Reinaart dan Marrielle (istri Reinaart), mereka pun maklum. Marrielle berkata bahwa itu sangat umum di kalangan mahasiswa, bahkan di kalangan teman-temannya sendiri yang merupakan mahasiswa tingkat master. Ketidakpercayaan diri seorang peserta didik untuk menyampaikan pendapatnya adalah masalah umum yang terjadi di mana pun, menurut Marrielle.“Itulah kenapa aku ingin kamu memberi kuliah pada mahasiswa-mahasiswaku,” kata Reinaart. “Aku ingin mereka merasakan pengalaman yang berbeda… Tapi, yah, masalahnya adalah kita tidak punya waktu lebih banyak.”
Pengalaman saya mengajar di Willem de Kooning ini, selain berkesan—walau ada sedikit kekecewaan—juga memberikan pemahaman kepada saya sendiri tentang masalah utama dari proses belajar-mengajar, yakni soal intensitas pertemuan. Reinaart sendiri menganalisa bahwa transformasi ide akumassa yang saya lakukan bisa jadi tidak sempurna karena hanya bertemu sebanyak dua kali, dan itu pun hanya satu kali dalam seminggu. Terlebih lagi, metode yang saya ajarkan adalah pengalaman pertama bagi mahasiswanya, yang ternyata baru tingkat semester pertama.
“Dalam workshop akumassa, kami melakukan pertemuan selama sebulan penuh, dan berdiskusi setiap hari!” kata saya kepada Reinaart.
“I know that!” jawabnya tersenyum kecut. “Kita akan melihat hasilnya nanti dalam tulisan mereka. Aku tidak berharap terlalu banyak bahwa hasilnya akan sebagus yang kamu inginkan. Namun tetap saja bagus, mereka memiliki pengalaman yang berbeda.”∎
Footnote
1. | ⇑ | Sebagai catatan tambahan, perlu diketahui bahwa Thomas J. Berghuis, seorang kurator di Guggenheim Museum, New York, juga pernah meneliti akumassa. Selain itu, pada tahun 2010 ketika akumassa diundang ke Korea Selatan, Sunjung Kim, direktur Artsonje, menyebut akumassa sebagai role model untuk pelaksanaan aksi pemberdayaan komunitas oleh masyarakat, karena pada umumnya, kegiatan-kegiatan seperti ini baru akan berjalan ketika pemerintah melakukannya (dan itu pun tidak dilakukan secara tepat dan memadai). |