Sendiri di Rumah Jamur bikin dag dig dug duaarrr! Bukan karna takut setan atau hantu, tapi pengalaman di kos yang lama, rumah dimasuki maling di tahun 2007, cukup menakutkan rasanya sampai hari ini. Terlebih Rumah Jamur ini terletak di pinggir jalan. Tetangga agak sedikit berjarak rumahnya, karena lebih banyak bengkel, warung nasi, dan kedai di sekitar yang hanya dihuni pada siang hari. Apalagi beberapa hari belakangan maling kos-kosan beraksi di beberapa tempat di Padangpanjang.
Ada satu hal yang membuat ketakutan saya sedikit terobati. Jawabannya adalah JAMUR! Ya, saya tinggal di Rumah Jamur seperti yang saya katakan di atas. Melihat jamur-jamur yang bermekaran sungguh menyenangkan. Jika suntuk maka jamur-jamur itulah yang menjadi pelampiasan saya. Hehe, saya sirami, saya tandai mana yang sudah tumbuh dan saya perhatikan mana yang sudah bisa dipetik dan mana yang belum.
Usaha budi daya jamur tiram ini adalah usaha kami berlima yaitu, saya, Rani, Marta, Abrar dan Romi. Kami satu angkatan di jurusan TV dan Film ISI Padangpanjang. Sama-sama mahasiswa tahun akhir yang belum juga kelar. Haha.
Tahun 2010 akhir, ada PMW, Program Mahasiswa Wirausaha dari DIKTI. Setiap kampus negri (kalau tidak salah) mendapatkan program ini. Dana hibah diberikan kepada mahasiswa atau kelompok mahasiswa (maksimal lima orang per kelompok) yang proposal wirausahanya lulus. Program ini dimulai tahun 2009 oleh mahasiswa angkatan 2006 di kampus saya. Goal-nya adalah untuk mendidik dan memberikan pengalaman berwirausaha (mandiri) terhadap mahasiswa. Program yang mulia menurut saya. Sepertinya pemerintah sudah mulai putus asa melihat semakin banyaknya pengangguran bertitel dan semakin sempitnya lapangan pekerjaan. Dana hibah ini merupakan dana lepas yang diberikan kepada mahasiswa dengan proposal terpilih. Karena kampus saya fokus ke seni, maka disarankan untuk membuat usaha yang berhubungan dengan kesenian dan kebudayaan.
Lalu kenapa saya dan teman-teman memilih budi daya jamur tiram? Kan tidak ada hubungannya dengan seni?
Tahun 2008 saya diperkenalkan dengan sebuah video proses budi daya jamur tiram oleh seorang teman, Adek namanya. Budi daya jamur tiram itu terdapat di Malaysia. Dia mendapatkan video itu dari dosen mata kuliah Kewirausahaannya di jurusan teater. Sedangkan di jurusan saya, mata kuliah Kewirausahaan baru ada di tahun 2011, itupun mata kuliah pilihan (tidak wajib). Setelah saya melihat video itu, saya dan Adek sempat berkeinginan untuk membuat budi daya jamur tiram. Saya berfikir bahwa usaha itu belum ada di Padangpanjang. Udara Padangpanjang yang lembab sangat mendukung untuk budi daya jamur. Ini dia, pikir saya.
Melihat Ke Belakang
Linda kecil adalah Linda yang punya cita-cita untuk membuat sebuah perusahaan (usaha) agar keluarganya sejahtera secara finansial. Saya selalu berfikir untuk membuat usaha keluarga dengan melibatkan kakak, adik dan orang tua, tentunya dengan saya sebagai direkturnya. Haha. Mungkin karena bapak saya seorang guru dengan gaji pas-pasan dan ibu saya menjadi rumah tangga biasa. Jadi sejak sekolah di SD, saya sudah tidak ingin menjadi PNS. Inginnya menjadi pengusaha dan Sarjana Pertanian. Berwirausaha untuk menghasilkan uang dan menjadi sarjana pertanian untuk bisa berladang dan berkebun (hobi). Saya katakan kepada kakak-kakak saya, kenapa saya ingin punya perusahaan keluarga. “Kalau ingin bersedekah, kita harus punya uang. Kalau ingin haji, kita harus punya uang. Beribadah itu butuh uang,” tegas saya kepada kakak yang menanyakan cita-cita waktu itu.
Semesta ternyata mendengar keinginan saya. Tepat di saat saya sudah kewalahan untuk mendanai diri dan aktifitas berkomunitas (Sarueh), saya mendapatkan info mengenai program PMW ini. Dengan ‘semangat 45’, saya ikut seminar pertama dengan Rani, Marta dan teman-teman yang lain. Awalnya saya menginginkan satu kelompok dengan teman-teman Sarueh, karna saya pikir bisa untuk menjadi back up keuangan dalam aktifitas Sarueh yang memang morat marit. Tetapi ternyata teman-teman saya tidak melihat ini sebagai salah satu cara untuk mengembangkan komunitas. Ya sudah, akhirnya teman-teman sekelompok dengan saya yang memilih saya. Kemudian saya sampaikanlah ide mengenai budi daya jamur tiram ini. Ternyata semuanya setuju. Setelah kami bicarakan dengan dosen pembimbing, akhirnya disetujui. Cukup panjang proses untuk disetujuinya proposal kami oleh pihak kampus. Karena lumayan jauh dari fokus yang diharapkan oleh pihak kampus. Hehe. Presentasi terakhir saya coba meyakinkan penguji yang terdiri dari Rektor, PR III, Pihak Bank, dan beberapa dosen penguji.
Akhirnya kelompok yang kami beri nama RUMAH JAMUR disetujui untuk mendapatkan program mahasiswa wirausaha ini bersama enam kelompok mahasiswa wirausaha lainnya. Pada awalnya yang terpikir bagi saya adalah usaha ini bisa membackup keuangan dalam aktifitas berkomunitas. Sangat muluk keinginan waktu itu. Seandainya usaha ini besar, saya tak perlu susah memikirkan uang untuk berkomunitas, bahkan keinginan untuk bikin sekolah mungkin bisa terwujud. Yahh… saya mimpi terlalu tinggi. Yeaahhh!
****
Akhir 2010, saya dan empat orang teman Rumah Jamur melaksanakan magang wirausaha di Payakumbuh. Karena kami berlima tidak punya latar belakang membudidayakan jamur, maka kamipun belajar sama petani jamur di daerah Payobasuang, Koto Baru , Payokumbuah (dua jam perjalanan dari Padangpanjang dengan motor). Petani jamur Berkah ini cukup unik. Mereka terdiri dari ibu-ibu rumah tangga yang dibina oleh PNPM untuk mensejahterakan masyarakat keluarga. Program yang cukup menarik, tetapi tidak diimbangi dengan monitoring (pengawasan) yang berkelanjutan.
Di sana lah kami berlima belajar mengaduk media jamur tiram yang terdiri dari serbuk gergaji, kapur putih, dan dedak. Cukup kewalahan untuk kami, mahasiswa manja yang tidak biasa bekerja. Mengaduk bahan-bahan tersebut harus telaten dan sabar. Sangat sulit di awal, tetapi setelah beberapa hari, semakin menyenangkan. Kami duduk di mana saja, kotor, dan bahagia bekerja dengan ibu-ibu yang ceria dan semangat. Ada-ada saja obrolan kami, mulai dari obrolan masakan khas daerah Payakumbuh, sampai belajar bahasa dan dialek Payakumbuh.
Setelah mengaduk bahan-bahan, lalu memasukannya ke dalam plastik dan mengikatnya dengan karet (baglog). Setelah selesai, baglog tersebut dimasukkan ke dalam tungku besar untuk dikukus selama delapan jam. Setelah dikukus, baglog tadi dikeluarkan dan didinginkan selama 24 jam diruangan steril. Setalah 24 jam, baglog tersebut dibuka ikatan karetnya dan dimasukkan bibit. Memasukkan bibit ini harus steril. Bahkan berbicarapun dilarang selama memasukkan bibit ini. Agak pegal juga rasanya harus duduk diam dan bekerja.
Kerja keras kami selama seminggu untuk membuat baglog ternyata harus menunggu sebulan. Waktu sebulan adalah untuk membiarkan bibit-bibit tadi mengakar di media baglog-nya. Warna baglog yang coklat tua menjadi putih karna miselium (akar jamur) sudah tumbuh tersebar ke seluruh media. Tetapi kami sedikit kecewa karna tidak semuanya memutih, banyak juga yang menghitam, artinya baglog gagal. Hal tersebut bisa terjadi karna banyak faktor, salah satunya faktor sterilisasi, pengadukan bahan, atau bahan yang tidak bagus sehingga baglog bervirus dan gagal.
Setelah belajar membuat jamur dan perawatannya di Payakumbuh, kami harus melaksanakan mata kuliah Kerja Profesi (KP). Layaknya seperti magang. Saat itu saya memilih KP di Yayasan Kampung Halaman, Jogja. Setelah KP dua bulan dan sempat hidup di Bandung, saya kembali ke Padangpanjang. Namun beberapa hal terjadi, saya, Rani dan Marta pindah rumah. Kami mendapat rumah kontrakan di Simpang Cendana, Padangpanjang. Sedangkan saya pulang ke Padang sementara waktu untuk mengobati hati. Jiaahh, ternyata teman-teman Rumah Jamur, khususnya Rani dan Marta membeli baglog jamur siap panen dan membudidayakannya di rumah kontrakan kita. Kemudian saya kembali ke Padangpanjang karena terdesak harus mengurus skripsi. Lalu saya fokus mengurus jamur kami.
Saya promosi jamur di mana-mana. Saya bawa ke kampus yang sudah dimasak jadi jamur krispy. Dosen dan teman-teman mahasiswa suka. Mereka pesan dan menginformasikan kepada yang lainnya. Kami promosi lagi ke tetangga-tetangga terdekat. Kami promosi juga ke kantor-kantor terdekat, salah satunya Kantor Lurah dekat rumah. Di Facebook selalu dipromosikan, sampai teman-teman memanggil saya Ratu Jamur atau Linda Jamur. Wahahhaaaaa.
Jamur tiram putih memang enak dan bisa dimasak jadi apa saja. Teksturnya yang berserat dan rasa yang hampir mirip ayam, membuatnya bisa diolah menjadi menu-menu masakan ayam. Kami cari resep masakan jamur di internet. Kami mulai mengolah jamur menjadi capcay, krispy, sup, nugget dan rendang. Enak, gurih, nikmat dan sehat, begitu komentar kawan-kawan dan pelanggan. Nahhh, ternyata, punya hobi masak dan masak itu menyenangkan, bisa dapat duit. Hehe, hanya saja kami belum berhasil membuat keripik, bakso dan sate jamur.
Begitulah senangnya bermain-main rasa dengan masakan jamur. Bahkan sering kami campur dengan mie rebus dan nasi goreng. Sampai kami mengusahakan membuat kafe dengan memanfaatkan garasi depan rumah. Kami menyampaikan keinginan tersebut kepada yang punya rumah, katanya mobil bisa dikeluarkan siang hari. Kami sangat gembira menyambut hal itu. Segala perlengkapan kafe sederhana kami pilih aneka pecah belahnya dan kami beli di Bukittinggi. Namun, baru empat hari dibuka, kami didatangi sama yang punya rumah. Katanya mobil mereka tidak bisa dibiarkan di luar lagi. Dia gak mau mobilnya kepanasan dan kehujanan. Waduhh, pagi itu, saya, Rani dan Marta termenung. Ya sudah kalau memang begini adanya. Padahal dalam waktu dekat, kami ingin membuat kegiatan diskusi dan English Club.
Tidak jadi membuat kafe memang sedikit membuat kami agak shock. Karna semuanya sudah dipersiapkan. Terlebih semangat kami sedang membuncah. Akhirnya kami kembali fokus pada skripsi dan TA kami masing-masing. Jamur dan kegiatannya masih jalan. Baglog yang baru belum ditambah, mengingat akan pindah rumah satu bulan lagi.
Dini hari ini saya seperti terhanyut bersama jamur-jamur yang masih tetap tumbuh mekar. Padahal ada sekitar 700 baglog yang sudah berumur tujuh bulan. Masa tumbuh baglog itu sekitar enam bulan. Sedangkan ini baglog yang ada sudah berumur tujuh bulan dan masih tetap tumbuh. Sepertinya jamur-jamur ini paham kondisi kami yang sedang sibuk mengerjakan skripsi dan TA. Jamur-jamur ini tak banyak ulah, meskipun saya sudah semakin jarang mengajak mereka ngobrol apalagi mendengarkan musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono dan Frau.
Seingat saya dulu di tahun 2004, saya ikut seminar Job Seeker n Job Creator di UNAND dengan Bob Sadino sebagai salah satu pembicaranya. Ia mengatakan “Jadilah orang yang pertama. Jika tidak bisa menjadi yang pertama, buat sesuatu yang berbeda. Jika tidak bisa, jadilah yang terbaik.” Ya…, memang tidak pernah gampang untuk menjadi yang terbaik.
Pada seminar itu, ada yang bertanya,
Mahasiswa : Saya sudah memikirkan usaha apa yang ingin saya lakukan setamat kuliah nanti. Saya sudah memikirkan bagaimana proses produksinya, manajemennya, pemasarannya, bahkan sampai pada merek nya pun sudah saya pikirkan. Nah, kira-kira menurut Om Bob, apa produk saya bisa laku di pasaran dan saya bisa sukses?
Om Bob : Dari sekian banyak ide kamu dan rencana-rencana kamu yang panjang lebar itu, bagian mana yang sudah kamu lakukan?
Mahasiswa : Saya belum memulainya Om.
“Kalau begitu, buang saja semua rencana-rencana kamu itu. Percuma kamu punya rencana yang banyak tapi tidak melakukan apa-apa. Mulai saja. Mulai saja dari apa yang kamu bisa,” jawab Om Bob dengan garangnya yang khas.
Wah, menarik sekali. Saya jadi tertarik untuk berkunjung ke sana.
Tolong kirimkan alamat email nya rumah jamur ya kak 🙂 ke alamat email saya ini.
Terima kasih
Maaf sekali Mariana Darmadjaya, rumah jamurnya sudah tidak ada. Ya mungkin ketika nanti sudah waktunya, rumah jamur bisa didirikan lagi yaa…mohon doanya 🙂
Trimakasih infonya.
Apakah usaha jamurnya saat ini msh ada? Kl msh ada, bolehkah sy datang melihat-lihat?
Trimakasih….
Salam
Budi daya jamur susah gak sih? berapa besar ruangan yang dipergunakan untuk budi daya jamur