Beberapa hari lagi, ARKIPEL Grand Illusion – 3rd Jakarta Documentary & Experimental Film Festival akan dibuka. Tanggal 22 Agustus 2015 nanti, sepertinya, layak menjadi momen penting dalam sejarah perfileman dan festival filem di Indonesia, karena kita akan menyaksikan 130 filem yang dipresentasikan secara sadar sebagai ilmu pengetahuan sinema. Tema Grand Illusion menegaskan itu: kenyataan-kenyataan sinema selalu menciptakan ilusi, baik atau buruk, oleh karenanya pemegang kekuasaan memanfaatkan filem sebagai alatnya sejak dulu, tetapi kita, masyarakat, juga bisa mendayakan sinema untuk membongkar ilusi-ilusi dunia riil yang sering kita alami dengan sadar atau tidak. Prinsip ini sesuai dengan prinsip literasi media, yakni peluang bagi masyarakat untuk memahami sekaligus mengkritisi mekanisme kerja media, apa pun bentuk, jenis dan pemiliknya.
Forum Lenteng berusaha menghadirkan sebuah perayaan yang kembali kepada khitah festival filem: merayakan capaian-capaian tertentu atas wacana dan estetika sinema. Dengan kata lain, sinema itulah poros yang mewakili ranah pengetahuan tentang gambar bergerak, tentang visual, tentang media. Sebagaimana yang disampaikan Direktur Festival ARKIPEL, Yuki Aditya, beberapa hari yang lalu, yang membedakan festival ini dengan festival-festival lainnya di Indonesia adalah pilihan dan konsistensinya untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan tentang sinema secara luas dan bebas—sejak ARKIPEL Electoral Risk (2014), kita bisa melihat katalog setebal lebih-kurang 400 halaman yang berisikan banyak esai kuratorial dan informasi tentang filem dan pembuat filem—bukan sekadar menjadi festival yang terjebak dalam satu lingkup persoalan sempit yang mewakili golongan, kelas, atau wilayah belaka. Selain itu, dengan adanya salah satu program publik berupa Festival Forum di tahun ini, menegaskan bahwa ARKIPEL mengorientasikan agenda festivalnya sebagai “semacam kesadaran baru untuk membaca dan menafsir peta dari berbagai perayaan sinema yang pada dasarnya teranalogi secara langsung dengan peristiwa-peristiwa geopolitis di lingkup global” (ARKIPEL, 2015).
Kesadaran terhadap gambar bergerak! Itu pula yang diyakini oleh akumassa, Program Pendidikan Media Berbasis Komunitas milik Forum Lenteng ini. Usaha-usaha untuk menandingi wacana media massa arus utama—yang sebenarnya adalah sumber utama ilusi bagi kehidupan kita—dilakukan, salah satunya, dengan memberdayakan medium gambar bergerak video. Hasil dari banyak lokakarya akumassa umumnya adalah video dan filem dokumenter. Pada karya-karya itu, akumassa (yakni, Forum Lenteng berkolaborasi dengan komunitas-komunitas lokal di beberapa daerah) merekam narasi-narasi kecil dan peristiwa-peristiwa massa yang terjadi dan identik pada suatu lokasi tertentu ke dalam suatu konstruksi gaya bahasa visual yang menolak cara dan gaya dokumenter televisi yang selama ini kita kenal. Secara umum, tiga pembeda itu adalah isu yang diangkat, mekanisme produksi, dan perspektif yang digunakan: akumassa menyoroti “isu-isu minor” yang jarang—atau bahkan tidak pernah sama sekali—diangkat oleh media massa arus utama. Program ini juga secara penuh melibatkan warga lokal sebagai pembuat filem (artinya, warga atau partisipan programlah yang mengangkat kamera dan berkutat di meja editing). Dengan demikian, akumassa mengedepankan sudut pandang warga lokal itu untuk mengutarakan atau mengekspresikan kebutuhan-kebutuhannya atas wilayah lokal yang mereka tinggali. Metode ini dicita-citakan sebagai strategi untuk menjadi masyarakat berdaya atas media.
Dalam penerapannya sendiri, akumassa memiliki semacam teknifikasi pada proses pengambilan gambar: posisi kamera dalam membidik peristiwa berdasarkan jalur sirkulasi dan gerak subjek-subjek yang ada di lokasi, dan mengarahkan bidikannya itu sesuai dengan arah pandangan “mata” para subjek, dengan mengutamakan angle kamera yang setara (eye level) dan statis, serta kehadiran kamera yang cair di tengah-tengah massa. Teknik semacam ini diterapkan untuk mereduksi subjektivitas pemegang kamera, dan meningkatkan ambilan gambar yang objektif dengan menghadirkan subjektivitas orang-orang yang terekam di dalam frame pada konstruksi visualnya.
Di ARKIPEL Grand Illusion sendiri, gagasan ini juga tercermin pada beberapa karya filem yang diundang oleh Forum Lenteng. Filem Storm Children, Book One (2014) karya Lav Diaz, misalnya, menerapkan teknik yang hampir serupa dengan karya-karya video akumassa. Karya dokumenter yang merekam kehidupan warga masyarakat Tacloban, Filipina, pascatragedi topan Yolanda itu, hadir dengan begitu cair di tengah-tengah warga dan pelan-pelan menunjukkan adanya semangat kebangkitan orang-orang lokal Tacloban dari bencana yang mereka alami. Tidak bertele-tele dengan narasi sedih yang biasanya diucapkan narator (seperti yang sering kita lihat di dokumenter umumnya), filem Lav Diaz yang dikurasi oleh Peneliti akumassa, Manshur Zikri, ini justru menunjukkan semangat kebangkitan itu sepenuhnya lewat visual di dalam dokumenternya.
Ada pula dua filem karya Jon Jost—pembuat filem independen yang cukup berpengaruh di Amerika—yang hadir secara khusus di ARKIPEL. Filem berjudul Images of a Lost City (2011) dan They Had It Coming (2015) adalah dua dokumenter yang dikurasi oleh Direktur Program akumassa, Otty Widasari, untuk ARKIPEL Grand Illusion. Dengan menggunakan kerangka berpikir akumassa, Otty Widasari memaparkan bahwa kedua filem ini mendekonstruksi pengertian arsip dan mengimplementasikan pengertian itu pada hal-hal yang selama ini terlewatkan begitu saja oleh kita dalam kehidupan sehari-hari. Pada Images of a Lost City, hal-hal tersebut adalah fragmen-fragmen peristiwa massa acak yang berangkat dari kenangan Jon Jost terhadap kota Lisabon tua, sedangkan pada They Had It Coming, hal-hal tersebut adalah fragmen-fragmen peristiwa yang terepresentasi menjadi rumor (atau gosip warga). Otty menjelaskan bahwa Jon Jost menyikapi dan memperlakukan dua macam fragmen itu sebagai kumpulan material arsip tentang lokasi, lalu melakukan eksperimen bahasa visual terhadapnya untuk menandingi kemapanan media. Inilah poin sinema eksperimental yang digarisbawahi oleh Otty, yakni “aksi membuka lipatan dari interseksi antara lokasi, kehadiran, dan fungsi dari materi-materi/tubuh/medium, dan juga gesture sosial” (Widasari, 2015, hal. 199). Dan yang menggembirakan, di ARKIPEL tahun ini, kita tidak hanya dapat menonton dua filemnya, tetapi juga dapat bertemu langsung dengan Jon Jost, sang sutradara, pada sesi Program Master Class yang akan dipandu oleh Otty Widasari, sang kurator.
Pada program Kompetisi Internasional, kita dapat menyaksikan beberapa filem yang juga mengangkat tema soal narasi kecil, media dan kehidupan lokal. Menyebut beberapa di antaranya, adalah filem berjudul Continnuous Lines (2014) karya Diana Pacheo yang mengangkat aktivitas orang-orang yang menaiki moda transportasi kereta. Kita akan melihat di dalam filem ini bagaimana eksperimen terhadap kamera terkait dengan gerak dan ilusi relativitas dari pemandangan visual yang sering kita lihat dari dalam kereta—dan tentunya, subjek-subjek pengguna jasa kereta itu adalah “mata” yang menuntun kamera untuk menemukannya. Atau filem berjudul For the Lost (2014) karya Pierre-Yves Vandeweerd yang mengangkat narasi tentang “orang-orang yang hilang (kesadaran)” berdasarkan data arsip dari sebuah rumah sakit jiwa di sebuah lokasi tertentu. Si pembuat juga membenturkan isu itu dengan mitos lokal mengenai gembala dan fenomena badai yang menghilangkan para korban. Dalam bentuk yang agak unik, ada filem berjudul A Place I’ve Never Been (2014) karya Adrian Flury, berupa konstruksi dari foto-foto digital yang luar biasa banyak yang menangkap pemandangan sebuah lokasi Yunani kuno. Konstruksi tersebut menciptakan ilusi gerak. Kita akan menyadari, foto-foto ini adalah foto anonim, berasal dari massa, dan ilusi gerak yang dibuat oleh sutradara mengenai lokasi tersebut mengingatkan kita pada sejarah awal kemunculan sinema: ilusi gerak kuda berlari hasil dari susunan sekumpulan gambar diam. Dalam bentuk dokumenter feature, ada salah satu filem, berjudul I am The People (2014) karya Anna Rousillon yang membingkai peristiwa revolusi Mesir dari kacama kehidupan sebuah keluarga di sebuah daerah terpencil di negara itu. Subjek kamera terus mengikuti perkembangan revolusi melalui televisi sementara si sutradara terus merekam kegiatan sehari-hari mereka, dan dari situlah filem ini membongkar geliat kehidupan warga di sebuah desa serta bagaimana ekspektasi dan reaksi mereka atas kejatuhan rezim otoriter.
Tidak lupa, redaksi akumassa mengingatkan, bahwa di ARKIPEL Grand Illusion, filem berjudul Gerimis Sepanjang Tahun (2015) karya Komunitas Ciranggon (berkolaborasi dengan Forum Lenteng) juga akan ditayangkan dalam program Penayangan Khusus. Filem yang merekam lokasi di Dusun Wates, Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, ini adalah hasil dari pengembangan metode lokakarya akumassa. Berbeda dengan filem dokumenter produksi akumassa sebelumnya—Dongeng Rangkas (2011), Naga Yang Berjalan di Atas Air (2012), dan Elesan Deq A Tutuq (2013)—yang dibuat pada pascalokakarya, Gerimis Sepanjang Tahun dibuat pada saat pelaksanaan lokakarya selama satu setengah bulan di lokasi tersebut. Filem ini menggambarkan “bagaimana geliat pabrik genteng tradisional serta pola kerja kehidupan agraris bersanding dengan pembangunan jalan tol yang akan mengubah banyak pola kehidupan sosial, ekonomi, serta budaya masyarakat di masa mendatang” (Widasari, Gerimis Sepanjang Tahun, 2015, hal. 377).
ARKIPEL Grand Illusion – 3rd Jakarta Documentary & Experimental Film Festival akan berlangsung dari tanggal 19 sampai 29 Agustus 2015. Tiga hari sebelum pembukaan festival, ARKIPEL akan membuka program pameran Peradaban Sinema Dalam Pameran, Sesi 2, bertajuk “Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi”, lanjutan dari Sesi 1 tahun lalu yang bertajuk “Jajahan Gambar Bergerak: Lumière (1896-1900)”. Di Pameran ini, publik festival dapat melihat “bagaimana situasi migrasi pengetahuan, sudut pandang, dan ilusi melalui teknologi sinema dari negeri-negeri Eropa ke Hindia-Belanda yang terjadi di masa-masa awal kehadiran teknologi sinema” (Yudha, 2015, hal. 268).
Media arus utama, selama ini, terikat oleh banyak kepentingan, baik yang komersial maupun yang politik praktis. Kita, warga masyarakat, dijebak dalam pola kehidupan yang penuh dengan ilusi-ilusi media, menyasarkan kita pada keyakinan-keyakinan yang memancing konflik horizontal yang tidak sehat. Literasi media adalah cara untuk menangkis keterjebakan itu. Sinema adalah salah satu dasar pengetahuan untuk memahami apa itu literasi media. Oleh karena itu, ARKIPEL Grand Illusion adalah perayaan kontemporer tahun ini yang sangat berharga untuk dihadiri.
________________________
Endnote:
ARKIPEL. (2015). ARKIPEL Festival Forum. Dalam M. Zikri, & U. T. Moetidjo (Penyunt.), ARKIPEL Grand Illusion – 3rd Jakarta Documentary & Experimental Film Festival (Katalog, hal. 388). Jakarta, Indonesia: Forum Lenteng.
Widasari, O. (2015). Gerimis Sepanjang Tahun. Dalam M. Zikri, & U. T. Moetidjo (Penyunt.), ARKIPEL Grand Illusion – 3rd Jakarta Documentary & Experimental Film Festival (Katalog, hal. 377-379). Jakarta, Indonesia: Forum Lenteng.
Widasari, O. (2015). Pergunjingan Menanding Arus. Dalam M. Zikri, & U. T. Moetidjo (Penyunt.), ARKIPEL Grand Illusion – 3rd Jakarta Documentary & Experimental Film Festival (Katalog, hal. 199-211). Jakarta, Indonesia: Forum Lenteng.
Yudha, M. (2015). Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi. Dalam M. Zikri, & U. T. Moetidjo (Penyunt.), ARKIPEL Grand Illusion – 3rd Jakarta Documentary & Experimental Film Festival (Katalog, hal. 262-277). Jakarta, Indonesia: Forum Lenteng.