Pengantar Redaksi: Berikut adalah dua catatan dari dua orang mahasiswa yang menggunakan nama samaran demi pertimbangan keamanan. Terlepas dari identitas asli penulis, narasi yang dihadirkan di sini tetap memiliki relevansi dan aktualitas yang penting sebagai dokumen yang merekam peristiwa demonstrasi tanggal 24 September 2019 dari sudut pandang warga.
Catatan Ipan Berdemonstrasi
Tadinya, saya tidak ada rencana untuk mengikuti demo. Tapi kemudian, saya diajak oleh sesama teman kampus, pagi itu. Sebelum berangkat, saya bilang ke orang tua bahwa saya masuk kerja siang hari untuk menghindari demo. Saya berangkat dari rumah naik kereta, turun di Stasiun Palmerah. Di kereta yang saya naiki, ada rombongan mahasiswa dari luar Jakarta yang mau ikut demo.Stasiun Palmerah pun penuh dengan mahasiswa yang akan demo. Di sana, saya berpisah dengan kekasih saya, karena ia ikut rombongan demo kampusnya. Dari situ, saya berjalan ke depan kantor TVRI untuk bertemu dengan teman-teman dari kampus saya yang juga mengikuti demo. Di kelompok saya, hanya ada enam orang; empat orang dari BINUS (Universitas Bina Nusantara) dan dua orang dari UPH (Universitas Pelita Harapan). Karena ada larangan dari kampus kami untuk tidak mengikuti aksi demonstrasi, kami memutuskan untuk tidak memakai jaket almamater.
Dari situ, pelan-pelan kami maju dari GBK (Gelora Bung Karno) ke depan gedung DPR RI. Kami maju sambil berpegangan tangan supaya tidak terpisah. Saya senang melihat mahasiswa dari berbagai kampus mengikuti aksi hari itu. Tapi, saya kecewa dengan kampus saya yang melarang mahasiswanya untuk ikut menyampaikan aspirasi lewat demo. Menurut info, jika ada anak kampus saya yang ketahuan mengikuti demo dan memakai jaket almamater, maka mereka akan “dipecat” dari kampus.
Sampai di depan DPR, kami menunggu dibukanya pintu DPR RI. Masih pukul 16.00 kurang dan situasinya ramai tapi aman. Beberapa provokator sudah mulai beraksi tetapi mereka masih bisa dihentikan. Pada pukul 17.00, pintu depan DPR terbuka. Tiba-tiba, polisi mulai menyemprot kami dengan water canon. Semprotan ini mengenai saya, tapi hanya sedikit. Kami mundur ke belakang, mendekati tembok yang memisah jalan raya dan jalan tol.
Tiba-tiba, ada suara tembakan. Saya melihat sebuah objek jatuh mengenai jalanan. Dari objek itu, keluarlah asap. Rupanya gas air mata. Kami lari untuk menghindari gas yang membuat pedih mata dan hidung itu. Dari depan gedung DPR, kami pindah ke jalan tol dengan memanjat temboknya. Kami dibantu oleh beberapa mahasiswa dari kampus lain. Saya sempat terpisah dari teman-teman, tapi untungnya mereka tidak jauh dari posisi saya. Kami mulai melihat tanda-tanda kerusuhan, seperti bakar-bakaran.
Dari situ, kami pelan-pelan mundur menuju flyover Senayan. Setiap beberapa menit, polisi menembakkan gas air mata sehingga memaksa kami untuk mundur lagi. Sesampainya di flyover, tadinya kami akan kembali ke GBK karena teman-teman saya memarkirkan mobilnya di sana. Akan tetapi, jalannya sudah diblokir polisi. Dari situ, kami memilih untuk mengevakuasi diri ke daerah Bendungan Hilir, ke kos-kosan kekasih salah seorang teman saya dari Binus.
Kami jalan jauh ke Bendungan Hilir. Saya capek, tapi senang karena akhirnya pengesahan RUU ditunda. Sampai sana, saya menunggu sampai situasi dan kondisi aman. Kemudian, saya ke fX Sudirman, menunggu untuk bertemu kembali dengan kekasih saya yang masih mengikuti massa demonstran hingga larut malam.
Ipan adalah mahasiswa angkatan 2016.
***
Catatan Aksin Berdemonstrasi
Senin sore, pekerjaanku di kantor sudah selesai semua, tetapi masih harus menunggu satu jam menuju jam pulang kantor. Untuk membuang waktu, aku membuka Instagram. Instastory teman-temanku dari IKJ dan UI membuat hatiku penuh dengan kebanggaan pada mereka sekaligus kekecewaan terhadap diriku sendiri. Aku terus berpikir bahwa aku seharusnya di sana bersama mereka. Tapi, jika aku turun, nanti aku sama siapa? Kampusku baru merilis surat pernyataan dari Rektor, bahwa (kampusku—ed.) tidak berhubungan apa pun dengan demo, mahasiswa yang ingin turun ke lapangan dilarang membawa nama kampus. Entah kenapa, setelah membaca itu, aku agak menyesal menjadi mahasiswa (kampusku—ed.). Ya, aku mengerti, sebagai kampus swasta mereka harus menjaga nama baik kampus, dan jika mereka mendukung mahasiswa berdemonstrasi, mungkin akan menimbulkan keluhan atau kontroversi dari orangtua atau pihak luar lainnya.Keesokan paginya, saat sedang bersiap-siap kerja, aku mendapat Line message dari kekasihku.
Kekasihku : “Gw diajak demo sama si (nama dihapus—ed.)”.
Aku : “(Nama dihapus—e.d) emng sama siapa?”
Kekasihku : “Sama temen-temen dari (nama kampus mereka—ed.). Mau ga?”
Wah! Aku langsung semangat. Setahuku, kampus dia juga melarang berat mahasiswanya ikut demo. Tapi, jika mereka bisa melawan tuntutan kampus mereka, aku juga bisa dong!
Bertahun-tahun aku bermimpi bisa turun ke jalan dan berdemo, untuk bisa berjuang demi sesuatu yang kupercaya, dan merasakan apa yang dirasakan para mahasiswa sekitar 21 tahun yang lalu. Sebelumnya, aku sudah mengikuti kegiatan seperti Women’s March, atau #JedaIklim pada 20 September 2019 lalu, tetapi pengalaman itu lebih terasa seperti pawai dibanding pemberontakan. Jadi, walaupun aku sedang membela sesuatu yang aku perjuangkan, rasanya masih ada yang kurang. Masa remajaku penuh dengan cerita-cerita pemberontakan yang dipimpin oleh remaja-remaja karena elite-elite penguasa tidak bisa diandalkan (lihat: seri The Hunger Games, seri Divergent, dan seri The Maze Runner). Mungkin karena itu, aku mempunyai keinginan untuk menjadi bagian dari sebuah gerakan yang besar. Sekarang, kesempatan itu tiba.
Sebuah pikiran melintasi kepalaku: “Bagaimana aku memberitahu ibuku?” Demonstrasi adalah soal yang cukup besar dan nggak mungkin aku tidak minta izin. Jika ada sesuatu yang terjadi, setidaknya ibuku tahu keberadaanku. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk memasuki kamarnya. Ibuku sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya.
Aku : “Ibu.”
Ibu : “Iya?” Tanpa menoleh.
Aku : “Aku boleh nanya sesuatu nggak?.”
Ibu : “Apa?”
Aku : (Diem)
Ibu : “Ada apa?”
Aku : (Diem)
Ibu : “Teteh mau nanya apa? Tentang si [nama pacarku]…?”
Aku : “No”
Ibu : “Tentang pekerjaan?”
Aku : “No”
Ibu : “Masa depan?”
Aku : “Mungkin,,,”
Ibu : “Kenapa?”
Aku : (Diem)
Ibu : (Melihat ke arahku) “Kenapa?”
Aku : “Aku boleh ikut demo nggak?”
Ibu : “Boleh.” Setelah itu, ibuku kembali menatap laptopnya.
Oh! Segampang itu, ternyata. Aku langsung kembali lagi ke kamarku dengan senyum. Aku langsung mengabarkan kekasihku, tanya kapan rencananya mereka akan bertemu. Katanya, mereka janjian pukul 12 siang di GBK. Aku lihat jam laptopku, masih pukul 7 pagi, masih ada banyak waktu. Aku melanjutkan rutinitas pagiku, sambil menyiapkan hal-hal yang mungkin akan aku bawa, seperti jaket almamater, lakban, poster, botol minum, dll. Selama aku bersiap-siap, ibuku bolak-balik memasuki kamarku.
“Kamu emang mau demo tentang apa?” tanyanya. “Ibu cuman mau make sure kamu ngerti ini tentang apa.”
“Kamu jangan malam-malam, lebih malam lebih kacau, dan lebih tidak terkendalikan,” katanya lagi. “Kalo ada provokator-provokator yang bilang turunkan Jokowi, pergi aja, artinya udah nggak benar,” dll.
Tak kusangka, ibuku ternyata mendukung pilihanku ini.
Tiba-tiba, aku mendapatkan WhatsApp Message dari Ayahku.
Ayah: “Teteh ikut demo?… hati2.”
Aku: “Iya.”
Ayah: “Hati2 ya teh, banyak pihak yang mengambil alih…(berusaha menunggangi—ed.).”
Aku: “Iya, Ayah.”
Ayah: “Mereka punya agenda politik yang nggak benar… jangan keliru.”
Aku: “Iya, Ayah.”
Ternyata, ayahku juga mendukungku. Padahal, aku takut minta izin padanya. Melihat sikapnya terhadap demo Pemilu yang lalu, kukira ia tak setuju dengan kegiatan demo-demoan. Syukurlah, kedua orang tuaku mendukung.
Beberapa jam kemudian, pukul 12 siang, aku dan kekasihku sudah berada di kereta tujuan Tanah Abang. Kami membawa poster yang digulung agar tidak lecak, serta jaket almamater yang sudah aman di dalam tas. Aku melihat Instagram, ada temanku yang share di Instastory: “Di Stasiun Manggarai ada barisan mahasiswa menggunakan almet berwarna biru disoraki oleh warga.” Hatiku senang melihat aksi mahasiswa yang didukung oleh semua orang. Ketika kereta tiba di Stasiun Manggarai, mahasiswa-mahasiswa yang sedari tadi kulihat saat kereta berjalan, turut memasuki gerbang keretaku. Wah! Entah kenapa, aku merasa kecil di antara mereka, padahal kami semua mempunyai tujuan yang sama. Apa karena mereka datang berombongan bersama teman-teman kampus mereka? Mendengar pembicaraan mereka, sepertinya dosen mereka juga mendukung aksi mereka. Aku kembali memikirkan kampusku… Huuuu!!
Kereta tiba di Tanah Abang. Kami semua keluar dan berjalan ke platform 6, siap menaiki kereta menuju Stasiun Palmerah. Tiba di Stasiun Palmerah, aku kaget melihat jumlah mahasiswa yang banyak ini.
“Eh Aksin, kamu ikut juga?” Tambah kaget lagi aku, ternyata ada kawan sekampus di (nama kampus disamarkan—ed.).
“Anak-anak [nama kampusku] pada di sana,” katanya lagi, sambil menunjuk ke kumpulan mahasiswa yang menggunakan almet biru dongker.
Akhirnya, aku memutuskan untuk pisah dengan kekasihku dan bergabung dengan mahasiswa [sekampusku]. Aku bergabung dengan rombongan itu. Walaupun kami dari kampus yang sama, tapi aku merasa kecil. Kebanyakan dari jurusan lain dan aku juga tidak kenal kebanyakan dari mereka. Sudahlah, nggak masalah, kami semua mempunyai tujuan yang sama. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya giliran rombongan [kampusku] yang keluar. Kami jalan dalam barisan, sambil menyanyikan lagu “Ibu Pertiwi”. Agar lebih mudah, kami menyebut rombongan kami sebagai Aliansi Mahasiswa #TanpaNamaKampus (AMTNK).
Jalanan di depan stasiun diwarnai oleh almet-almet dari berbagai kampus. Walaupun banyak sekali orangnya, tetapi lalu lintas mahasiswa cukup teratur. Saling memberi jalan, menunggu gantian, tidak rusuh atau ingin cepat-cepat sampai. Walaupun ramai, tapi koordinasi antar Korlap berjalan dengan baik. Berani aku bilang, ini lebih tertatur dibanding lalu-lintas Jakarta biasanya. Kanan-kiri penuh dengan mahasiswa, penuh dengan teriak-teriakan dan yel-yel. “Hidup Mahasiswa!”, “Hidup NKRI!”, atau “DPR Bego!”, hingga menyanyikan lagu Garuda Pancasila dan Indonesia Raya. Walaupun rombongan AMTNK banyak berhenti karena harus memberikan jalan buat rombongan lain, tetapi semangat kami belum padam.
Terus kami berjalan hingga tiba di pintu GBK, di mana kami berhenti untuk istirahat dulu. Tidak jauh dari kami, ada ibu-ibu yang membagikan air gratis dan ingin membelikan siomay buat kami. Aku belum lapar dan masih ada cemilan di tas, maka aku menolak tawaran mereka. Tetapi, ada beberapa orang dari rombonganku yang dengan senang hati menerima tawarannya. Sejauh ini, semua baik-baik saja. Tidak ada yang rusuh atau buat ulah. Semua saling membantu, walaupun beda kampus dan belum kenal. Aku belum pernah merasakan solidaritas macam ini sebelumnya.
Pukul tiga sore, rombonganku lanjut berjalan menuju gedung DPR. Sebenarnya, lebih banyak menunggu dibanding berjalan, karena kami semua bergantian. Selama “perjalanan” menuju gedung DPR, kami bertemu dengan rombongan di luar mahasiswa, seperti buruh dan petani. Ketika mereka lewat, semua bersorak “Hidup Buruh!” atau “Hidup Petani”.
Sebentar lagi, kami tiba di gedung DPR. Saat itu pukul 16.45. Aku berjalan di barisan depan, di sampingku ada perempuan dari jurusan jurnalistik, di depanku lagi ada Korlap rombongan kami. Mahasiswi jurnalistik yang berjalan di sampingku tiba-tiba memanggil Korlap dan menunjukkan HP-nya. Mukanya langsung khawatir. “Ada apa, (nama disamarkan—ed.)?” tanya Korlap satu lagi. “Semua! Pake masker dan odol!” ujarnya. Kami langsung mengikuti arahannya. “Pokoknya, kalo denger Cilok, artinya Waspada, Seblak artinya Evakuasi!”
Dalam keadaan yang sebenarnya, tidak ada “Seblak” atau “Cilok” diteriakan, hanya “Mundur! Mundur!”, atau “Pake Maskernya”, atau “Perempuan mundur duluan”, atau “Berikan Jalan!”. Kami melihat orang-orang digotong dari arah Gedung DPR, ada yang berdarah, ada yang pingsan, ada yang basah kuyup. Pada saat ini, rombonganku belum tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, tapi kami semua bisa menebak: gas air mata, dan meriam air . Para perempuan langsung bergandengan tangan dan mengarah ke Gedung TVRI, dipimpin oleh Korlap kami. Sedangkan yang laki-laki, entahlah, mereka kami tinggal. Semua menjadi kaos. Salah satu perempuan dari rombonganku pingsan dan diangkat oleh mahasiswa beralmet kuning untuk dibawa pergi, lalu ada yang jatuh lagi, ada yang terdorong-dorong massa dan ketinggalan. Saat tiba di depan Hotel Mulia, yang tersisa hanya aku, Korlap, dan anak jurnalistik angkatan 2018—kuberi nama dia Anisa. Korlap menyuruh kami ke Gedung Asian Para Games dan menunggu di situ. Belum sempat kami bertanya di mana gedung itu, dia tiba-tiba lari balik ke dalam kerumunan massa.
Aku dan Anisa lari mengikuti massa. Kami tinggal berdua dan tidak tahu harus ke mana. Panik, kami mengikuti rombongan ke arah sebuah lapangan. HP-ku mati, jadi tidak bisa berkontak dengan siapa pun. Anisa juga mencoba mengontak salah satu Korlap, tapi tidak ada jawaban. Akhirnya, anak yang sebelumnya pingsan, panggil saja Ila, menelpon Anisa. Ternyata, mereka sekelas dan datang ke sini bersama. Kami samperin Ila di Pintu 12 GBK, ternyata dia ditemani mahasiswa kampus lain. Setelah pamit ke mereka, Ila bilang, “Padahal, aku nggak tahu nama mereka…” Ya, demo ini membuat kami semua menjadi teman. Jika minta minum, bisa minta dan akan dikasih; jika minta arahan, akan diberikan. Semua siap membantu sebisa mungkin. Tidak penting lagi nama, jurusan, angkatan, atau kampus apa. Setelah keadaan mulai tenang, kami mencoba mencari anak-anak lain. Ternyata, susah juga. Tidak ada yang menjawab, mau itu Korlap atau teman-teman yang terpisah.
Setelah 2 jam jalan-jalan mencoba mencari rombongan kami, akhirnya ada yang menjawab. Salah satu Korlap menjawab, “Di gedung TVRI.” Senangnya membaca pesan itu. Kami bertiga berjalan menuju gedung itu. Tiba-tiba, kami mendengar ledakan dan melihat mahasiswa pada lari. “Kak, itu apa?!”, “Kak, itu dekat banget loh, Kak!”. Akhirnya kami berputar balik, tidak jadi ke arah TVRI. “Kak, ke mana dong sekarang?”. Aku lupa siapa yang nanya. “Kalian sanggup, nggak, ke Plaza Senayan? Kita ke situ aja, deh!”
Tiba di Plaza Senayan, suasana menjadi sangat “rapi”, berbeda dengan suasana 30 menit yang lalu. Aku langsung bawa Ila dan Anisa ke toilet untuk bersih-bersih. Kebersihan toilet pun cukup membuat aku kaget, padahal aku sudah sering ke sini. Entah kenapa, rasanya seperti di dunia lain. Pada saat itu, aku udah nggak bisa mikir lagi.(*)
Aksin adalah mahasiswi angkatan 2016 dari AMTNK.