65 tahun yang lalu, disaat Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada tanggal 18 September 1945 orang-orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W. V. CH Ploegman, mengibarkan Benderanya yang berwarna merah-putih-biru di Surabaya, tepatnya di Hotel Oranje (sekarang Hotel Majapahit) tanpa persetujuan Pemerintah RI. Berkumpulah pemuda-pemuda Surabaya, untuk mendiskusikan soal pengibaran bendera itu. Datanglah salah satu wakil, yaitu Soedirman, ke Hotel Oranje dengan didampingi oleh Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI, Soedirman berunding dengan Mr. Ploegman untuk penurunan Bendera Belanda.
Pihak Belanda menolak dan langsung terjadi keributan. Mr. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, dan selanjutnya Sidik pun tewas oleh tentara Belanda. Sebagian pemuda Surabaya nekat menaiki gedung bagian luar Hotel Yamato untuk menurunkan Bendera Belanda. Akhirnya Koesno Wibowo berhasil menurunkan Bendera Belanda dan menyobek bagian warna biru yang akhirnya menyisakan warna merah-putih, Bendera Indonesia. Dan kemudian bendera kembali dikibarkan.
Perobekan bendera Belanda itu terjadi pada tanggal 10 November 1945, yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan yang sangat erat kaitannya dengan Surabaya.
Terlintas di pikiranku untuk bertanya kepada para pemuda Surabaya, yang juga merupakan anggota Komunitas Kinetik mengenai Peristiwa 10 November. Malam itu, hanya ada beberapa saja anggota Kinetik, yaitu, Eko, Sigit, Pijar, Juve, Rombeng, Remi, Dori, Amak, Ngok, Kadir dan Jujur. Saya memberi pertanyaan yang sama tentang 10 November.
Ketika kamu mengingat tanggal 10 November, apa yang kamu pikirkan?
Eko : “Nonton upacaranya lewat TV.”
Dori : “Puncaknya arek-arek Surabaya melawan penjajah.”
Sigit : “Di 10 November ada yang spesial bagiku, bukan karena Hari Pahlawan tetapi malah hari jadianku dengan kekasihku.”
Pijar : “Hari pahlawan saja.”
Rombeng : “Perjuangan arek-arek Suroboyo.”
Ngok : “Yang pertama 10 November itu hari Pahlawan. Yang kedua 10 November itu waktu SD harus Upacara Hari Pahlawan. Yang ketiga setahuku, ya Stadion 10 November. Yang ke empat ITS (Institut Teknologi Sepuluh November).”
Juve : “Hari libur.”
Kadir : “10 November, Perobekan Bendera Belanda di Hotel Mojopahit, perjuangan arek-arek Suroboyo.”
Jujur : Hari di mana para pahlawan, merebut kembali tanah air mereka.
Hari Pahlawan, 10 November, berhubungan erat dengan Surabaya, bagaimana menurut kamu sendiri sebagai arek-arek Suroboyo?
Eko : “Itu mengingatkan semangat pemuda, tapi sekarang sudah luntur.”
Dori : “Saat ini hanya menjadi hari perayaan saja, tidak ada aplikasi yang jelas dari masyarakat Surabaya.”
Rombeng : “Kalau perjuangan arek-arek Suroboyo jaman dahulu menggunakan otot, tapi sekarang berjuang bersenjatakan pikiran.”
Ngok : “Mungkin semangat di jaman sekarang sudah mulai luntur.”
Remi : “Lucu ya kalau Surabaya dikaitkan dengan sejarah nasional. Sebenarnya banyak sejarah di Surabaya, bangga juga 10 November menjadi ikon Surabaya.”
Dari seluruh percakapan saya dengan kawan-kawan Kinetik, Hari pahlawan sangat identik dengan upacara seperti biasanya. Dari cerita arek-arek Suroboyo ini, Hari Pahlawan hanya terlihat dari upacar-upacara itu. Terkecuali untuk Sigit, Hari Pahlawan yaitu 10 November, adalah hari jadinya dia bersama kekasih yang tahun ini menginjak 1 tahun.
Salah satu anggota Kinetik bilang, untuk memperingati Hari Pahlawan di Surabaya diadakan acara yang disebut Soerabaja Joeang, di acara itu banyak perhelatan digelar, mulai dari ajang kesenian sampai unjuk rasa.
Hari Pahlawan mungkin tak lagi memiliki kekuatan sejarah seperti dahulu. Semangat generasi muda berbeda jaman ini tidak sampai kepada romantisme sejarah Perobekan Bendera tersebut, walaupun mereka merupakan warga Surabaya.Namun, seperti yang dikatakan Rombeng, “Kalau perjuangan arek-arek Suroboyo jaman dahulu menggunakan otot, tapi sekarang berjuang bersenjatakan pikiran.” Hal itu mungkin ada benarnya. Perkembangan pengetahuan, teknologi dan informasi saat ini memungkinkan kita untuk berjuang tidak lagi dengan otot tapi juga pikiran.
Semoga saja Hari Pahlawan tidak kehilangan esensinya sebagai hari bersejarah bangsa Indonesia, namun perjuangan itu tetap dilanjutkan hingga sekarang oleh para generasi muda, dengan cara yang berbeda.
Kita bukan lagi berjuang agar Merah Putih mendapat tempatnya, namun berjuang untuk tetap ‘mengibarkannya’ ke seluruh dunia.
Selamat Hari Pahlawan!
___
Ilustrasi: Pijar Crissandi
Foto: Berbagai sumber
Hari Pahlawan (sekarang): adalah hari dimana kita mulai merebut kemerdekaan berpikir.
mantap!
Kalo melihat dan mendengar cerita sejarah perjuangan bangsa,sungguh trenyuh hati ini.bagaimana seandainya aku lahir di zaman perang seperti itu?
tapi kini sebenarnya kita masih berperang,..
kita katanya sudah merdeka dari penjajah,tapi kita belum merdeka dari kemiskinan,kebodohan,kecurangan dan masih banyak hal lagi
sungguh trenyuh hatiku manakala melihat WARGA NEGARA INDONESIA masih tidur di kolong jembatan,di emperan toko, di pinggir sungai, di pinggir rel kereta…bagaimana aku katakan, sedangkan WARGA NEGARA ASING dengan santainya tidur di hotel berbintang,mempunyai apartement mewah,perumahan elite,mobil berkelas….cerminan macam apa ini ?!!
salahkah bila aku berkata ” MENJADI PEMBANTU DI RUMAH SENDIRI ”
bagaimana ini bisa terjadi???sia-siakah pengorbanan jiwa dan raga pahlawan yg berkorban demi kemerdekaan bangsa ini ???