Sekilas memang kebanyakan orang mengira filem dokumenter adalah sebuah karya gampang, atau karya iseng-iseng. Seperti yang dilakukan Suthan Malik Hamonangan atau yang akrab disapa Monang, siswa sekolah dasar (SD). Di usia 11 tahun, Monang telah melahirkan beberapa karya filem dokumenter pendek. Empat di antaranya saya saksikan langsung di kediaman Sarueh, Selasa (08/05) lalu. Monang awalnya memang melakukannya dengan iseng-iseng, namun siapa sangka ternyata kegiatan iseng Monang membuat banyak orang di atas usianya cemburu, termasuk saya.
Siang itu, di kediaman Sarueh film dokumenter Monang ditonton oleh mahasiswa, komunitas, siswa SMA dan beberapa anak seusiannya. Film pertamanya yang kami saksiakan adalah film Sharing Dinner. Pada film itu terlihat satu orang berbagi makanan kepada rekan-rekan keluarganya. Awalnya saya merasa tidak ada yang spesial dari film tersebut, namun ternyata saya terkecoh dengan hal yang saya kira biasa itu. Seperti yang dikatakan Azizah, salah satu mahasiswa asal Amerika, baginya berbagi makanan itu satu hal yang tidak pernah ia jumpai di Negara asalnya.
Kemudian film kedua, Uniform and Harmer. Film ini adalah karya kolaborasi Monang dan Ega Mochamad Deanto (delapan tahun). Di sana terlihat beberapa orang berseragam, kalau saya tidak salah tangkap, mereka adalah mahasiswa dari Akademi Angkatan Laut. Rekaman itu diambil pada salah satu tempat bermain video game, Timezone. Para calon angkatan itu sedang memainkan sesuatu. Saya tidak tau apa itu nama permainannya, yang pasti, saya lihat waktu itu mereka memegang alat pemukul kemudian memukul suatu bagian dari alat permainan tersebut, dan kemudian mengeluarkan banyak tiket hadiah. Selain hadiah, para angkatan tersebut juga menjelaskan ternyata mereka juga membutuhkan media untuk meluapkan hasrat ke-militer-an mereka. Ya, salah satunya dengan bermain pukul-pukulan tadi. Saya kira itu lebih baik dari pada mereka harus memukul orang. Hanya saja mungkin agak terkesan sedikit tabu kalau melakukannya di tempat umum dengan seragam mereka. Saya rasa mereka harus meminta fasilitas yang sama di Akademi mereka.
Berikutnya ada film Delay, tentang kebiasan terlambat di dunia penerbangan Indonesia, tapi saya tidak menonton banyak pada film itu. Dan film terakhir adalah Lapangan Bermain. Saya kenal tempat itu, film ini dibuat di sebauh lapangan di kota Padangpanjang. Lapangan bermain yang dimaksud adalah lapangan yang biasa disebut Lapangan Kantin. Sebagai pemuda yang juga turut berdomisili di Padangpanjang, saya rasa film itu harus ditonton oleh berbagai kalangan, khusunya dari pihak Pemerintah Kota Padangpanjang.
Film itu merekam beberapa anak yang sedang asik bermain ayunan di Lapangan Kantin. Di sana Monang melihat, ternyata ada sesuatu yang menarik untuk diabadikan. Anak-anak seusianya bermain di lapangan kantin, permainan yang sebenarnya adalah alat latihan militer. Anak-anak tersebut terlihat sangat gembira ketika bermain di sana. Film yang pastinya multi tafsir sekali. Film yang menceritakan banyak hal. Entah itu menggambarkan anak-anak yang ingin menjadi milter atau apakah anak-anak itu tidak memiliki pilihan lapangan lain untuk dijadikan arena bermain atau ada lagi alasan lain.
Satu hal yang saya salutkan dari Monang, anak ini memiliki pemikiran yang kritis, ketika kebanyakan anak di usiannya hanya sibuk bermanja-manja. Dan yang paling membuat saya cemburu adalah dia sudah melahirkan banyak karya yang ditonton oleh berbagai kalangan. Selain pemutaran film sore itu juga ada sedikit pembahasan oleh Monang tentang filmnya. Ketika film itu selesai adik-adik yang seusianya yang tadi ikut menonton, malah langsung pulang. Saya tidak tahu apakah mereka sudah tidak tahan untuk berkarya juga, melakukan hal yang sama, atau akan melakukan hal yang lebih. Tapi saya berharap mereka tidak merasa telah menyianyiakan waktu bermain dengan mengikuti pemutaran dan diskusi film waktu itu.
Monang hari itu datang bersama Thantien Hidayati, dari komunitas Aksara, di Malang. Monang adalah salah satu adik-adik yang bergaul bersama komunitas Aksara. Thantien juga menceritakan banyak hal tentang apa yang telah mereka lakukan bersama Komunitas Aksara untuk lingkungan sekitarnya. Saya apresiasi sekali menyaksikan Aksara berhasil melahirkan adik-adik yang kritis. Mungkin yang harus saya pertanyakan untuk diri sendiri adalah bagaimana dengan adik-adik di lingkungan saya? apa yang sudah saya lakukan untuk mereka?
Azizah ikut bercerita
Siang itu diskusi menjadi semakin menarik, ketika Azizah yang cukup lancar berbahasa Indonesia itu juga mulai menyampaikan pandangannya. Waktu itu tanpa sadar pembicaraan kami telah membahas pendidikan formal. Ketika saya melihat aktivitas Komunitas Aksara adalah salah satu alternatif positif untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Juga sesuatu yang sebaiknya kita lakukan untuk adik-adik di luar sekolah formal mereka, namun ternyata Azizah menemukan itu di sekolah formalnya.
Ketika muncul pertanyaan, “Apakah setelah menyelesaikan SD, SMP, atau SMA kita sudah bisa menemukan mau jadi apa?” Sebagian yang hadir menjawab belum. Begitu juga dengan saya, tidak tahu bagaimana sekolah lain di Indonesia, yang pasti saya juga menjawab belum. Sedangkan Azizah menjawab sudah.
“Mau jadi apa?” pertanyaan itu memang sering diajukan oleh guru-guru di SD saya dan SD Azizah. Hanya bedanya guru-guru si sekolah Azizah membantu dan membimbing mereka dengan serius untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Kemudian Azizah menilai, setelah beberapa bulan di Indonesia dia melihat pendidikan di sekolah-sekolah formal terlalu terpaku pada buku ajar. Saya setuju, karena saya juga merasakannya. Sehingga banyak di antara teman-teman saya mengaku pelajaran di sekolah memang sesuatu pengetahuan yang diberlakukan ketika berada di lingkungan sekolah saja.
Azizah menganalogikan, misalnya ketika belajar mengenai sejarah Jepang di Indonesia, maka guru-gurunya selain menyampaikan pengetahuan di buku ajar, para siswa akan dibawa ke tempat yang pastinya berkaitan dengan sejarah Jepang di Indonesia. Seperti Lubang Jepang (salah satu objek wisata sejarah di Bukittinggi) katanya. Nah, di sana mereka bisa bertanya pula kepada penjaga tempat tersebut, sehingga mereka bisa melihat, dan merasakan langsung peristiwa khususnya mengenai sejarah Jepang di Indonesia.
David Darmadi mengakui lelucon bahwa dia juga pernah melakukan hal tersebut bersama dengan guru dan kawan-kawan sekelasnya ketika sekolah dulu, hanya bedanya pihak sekolah mengajaknya dengan tujuan berwisata, setiap selesai ujian naik kelas. David benar, saya juga melakukan hal yang sudah membudaya itu waktu sekolah dulu.
Hari Pendidikan Nasional memang baru saja lewat, tapi saya rasa setiap saat adalah waktu yang tepat untuk mengevaluasi pendidikan di negeri kita. Saya tidak merasa, meminta, atau memaksa guru-guru untuk mencontoh apa yang dilakukan di sekolah Azizah. Tapi saya berharap pihak yang lebih berkewajiban di bidang pendidikan memiliki metode belajar yang lebih kreatif dan efektif lagi. Tentunya untuk meningkatkan pendidikan diIndonesia. Atau barang kali pendidikan kita saat ini sudah sangat bagus.
Artikel ini pernah dipublikasikan di http://issuu.com/sarueh
ayo maju anak-anak indonesia…!!!! ;D
keren tulisannya
Adek Alwi komentar di Facebook: buat kebanyakan orang mungkin, tp buat saya tidak –karena film jenis ini lebih tulus, tak begitu peduli pada untung yg bakal datang dari fulus
“turut berduku cita atas tidak kompetitif dan tidak efektifnya pendidikan Indonesia ”
Ayo kawan do something!! lama kalau nunggu2 pemerintah, ;D
Hehehe, ungkapannya manis sekali, kami nanti kabar-kabar selanjutnya dari Komunitas Gubuak Kopi 🙂
Semoga bermanfaat… ;D
wah penasaran sama karya dokumenternya monang??
dimana ya saya bisa lihat karyanya? ada di yuotube?
Halo Tio, dua film Monang bisa dilihat di link ini >>
http://www.youtube.com/watch?v=GJP54HTdEzs&feature=email
http://www.youtube.com/watch?v=z8PdKp8SO5g&feature=email
salam
sarueh