Ngik… ngik… ngik… jegrek… mesin buldoser sedang bekerja. Iramanya saling bertabrakan dengan suara klakson dan lalu-lalang kendaraan bermotor. Terik matahari yang menyengat seperti memberi tanda musim kemarau enggan pergi meskipun sudah di penghujung Desember. Tapi tidak juga, sore nanti hujan biasanya baru akan turun, setelah para pekerja di tempat pembuangan sampah di Jalan Raya Kelapa Dua, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, selesai bekerja.
Siang itu aku sengaja datang ke tempat tersebut. Sebelumnya temanku yang biasa melalui jalan itu untuk pulang ke rumahnya di Cibubur menceritakan sampah yang ada TPS tersebut menumpuk. Baunya pun jadi sangat busuk. Kemudian waktu itu kita jadi saling sedikit cerita tentang pengalaman menonton video akumassa yang berjudul Men At Work. Dalam video yang diproduksi tahun 2009 itu kami melihat sepertinya sampah sudah dikelola dengan baik saat itu. Namun, sepertinya tidak untuk kali ini.
Sebuah warung kopi tepat di sebelah TPS yang berdampingan langsung dengan bengkel mobil jadi tempat persinggahanku. “Bang, super setengah, sama susu diseduh ya!”
“Iya, dari mana, Bang?” Sapa penjaga warung.
“Dari Lenteng Agung, Bang. Lagi mau lihat-lihat pengelolaan TPS di sini,” jawabku.
Setelah berkenalan, aku ketahui penjaga warung itu bernama Saputra. Ia tinggal di RT 001/RW 01, Kelurahan Srengseng Sawah. Menurut ceritanya, TPS yang ada di sini sebetulnya hanya diperkenankan untuk warga yang tinggal di RW 01 dan RW 02 saja. Namun, karena tidak ada yang menjaga maka siapapun dan dari manapun juga jadi sering ikut buang sampah di TPS itu. “Banyak orang-orang yang numpang lewat naik motor atau mobil tau-tau ngelempar sampah, Bang,” ujar penjaga warung itu sambil menyodorkan segelas susu panas untukku.
Lebih jauh ia bercerita, minggu terakhir ini sampah memang menumpuk tanpa ada yang menangani. Tapi mulai kemarin hingga hari saat aku datang petugas dari Dinas Kebersihan Kecamatan Jagakarsa sedang membersihkannya. Ia berharap setelah tahun baru, lingkungannya sudah bersih kembali. Hal ini cukup penting baginya, karena rejekinya ditentukan oleh pengunjung bengkel mobil yang jajan di warungnya. “Kalo lingkungannya gak nyaman, bengkelnya sepi, terus kagak ada yang jajan, dah, Bang,” kata Saputra. Ia mempersilahkanku lagi meminum susu yang telah dibuat sekaligus pamit untuk pulang ke rumah. Sedangkan warungnya untuk sementara dititipkan kepada montir bengkel yang dipercayainya.
Kemudian aku mengeluarkan kamera saku untuk mengabadikan kegiatan kerja para petugas kebersihan itu. Hingga tiba-tiba petugas berseragam safari menghampiri, “Dari mana, Mas?”
“Saya pers, Pak. Lagi mengamati sampah di Jakarta Selatan. Akhir-akhir ini sampah di TPS menumpuk ya, Pak?” Tanyaku.
Petugas bersafari itu langsung mempersilahkanku kembali ke warung kopi untuk menceritakan persoalan sampah yang ia ketahui lebih jauh. Namanya H. Sobri HD, ia menjabat sebagai salah satu petugas Suku Dinas (Sudin) Kebersihan di Jakarta Selatan. Menurutnya sampah menumpuk merupakan persoalan tahunan, khususnya setiap musim hujan. Hal ini bisa terjadi karena di musim hujan biasanya volume sampah jadi meningkat. Akibatnya, truk-truk yang membawa muatan sampah dari lima wilayah administrasi di Jakarta harus mengantri panjang untuk untuk bisa dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. “Dari seminggu terakhir ini antrian truk sampe tiga kilometer, Bang. Saya mah jadi kasihannya sama supir.”
Sobri melihat sebetulnya tidak ada masalah yang terlalu berpengaruh di TPS Srengseng Sawah. Karena fasilitas pengelolaan sampah yang ada di TPS ini cukup terpenuhi. “Kita punya empat mobil sampah, satu mesin pres sampah, dan satu buldoser, udah gitu pengerjaannya juga ditangani swasta. Tapi sayangnya buldoser yang ada di TPS ini sedang rusak, makanya di penghujung bulan Desember ini sampah jadi numpuk. Udah delapan hari sampah di sini emang kagak keangkut. Buldoser yang sekarang nih (sambil menunjuk), boleh minjem dari Kecamatan Tebet,” tambah Sobri.
Lebih jauh Sobri menceritakan bahwa kerjasama antar Sudin seringkali tidak terjalin dengan baik. Jadi ia mengeluhkan, Sudin Kebersihan yang sudah terepotkan oleh persoalan sampah dapur, masih sering juga harus membenahi persoalan yang lain, misalnya pedagang kaki lima (PKL). Pria asli Lenteng Agung ini mengaku seringkali iri dengan petugas yang bekerja di Sudin Pertamanan. Karena Sudin Pertamanan selain bekerja di lingkungan yang nyaman, di wilayah kerjanya juga banyak hal yang bisa dimainkan (diuangkan). “Nih, Bang, kalo Sudin Pertamanan lagi motong pohon yang ketinggian, tuh pohon dimainin (diuangkan). Dari situ dia dapet tambahan, lah kita, mau ngapain sama sampah?” kata Sobri. Selesai bercerita Sobri pamit meninggalkan warung. Dia ingin melanjutkan kerja dengan mengawasi pekerja-pekerja sampah itu.
Mataku kembali ke para pekerja sampah itu, sebagian di antara mereka sibuk membongkar, mengangkat, dan mendorong sampah. Sedangkan Sobri terlihat asik bercakap-cakap dengan seseorang yang berkemeja. Entah apa yang diperbincangkan, aku tak tahu. Mungkin mereka sedang membahas sampah, mungkin juga membahas yang lainnya. Tapi aku lebih memilih memotret kembali aktifitas kerja itu. Hingga akhirnya aku kembali ke warung untuk menghabiskan susu yang memang belum kuminum sejak awal.
Baru saja aku duduk dan membakar sebatang rokok, pria berkemeja yang sebelumnya sedang bercakap-cakap dengan Sobri menghampiri. Memberi pertanyaan yang sama dengan pria bersafari itu. Aku pun menjawab dengan jawaban yang sama, begitu juga pertanyaanku. Kemudian aku jadi tahu, pria berkemeja itu merupakan pertugas pengawas kerja para tukang sampah dari pihak swasta, namanya Manik. Menurut keterangannya, pengelolaan sampah di sini dikelola oleh PT Kanopi Hijau setelah Pemda memfasilitasinya. Perusahaan ini sendiri dimiliki oleh salah seorang mantan pejabat Sudin Kebersihan Jakarta Selatan.
Persoalan sampah yang menumpuk di akhir bulan Desember ini, ia menjelaskan pernyataan yang sama dengan Sobri. Tapi ia lebih menekankan bahwa masalah sampah juga perlu dukungan dari banyak pihak, terutama penduduk. Hal ini sama dengan penjelasan Saputra, banyak sekali orang yang bukan warga RW 001/RW 01, terutama pedagang-pedagang kaki lima yang ada di sekitaran Depok dan Lenteng Agung. “Malah lebih parahnya lagi, Bang, pernah tuh pasukan TNI Yonzikon di Lenteng Agung buang sampah di sini sampe dua truk. Lah mau gimana lagi kita? Mereka ‘anggota’ (militer-red). Persoalannya yang saya kecewa seharusnya mereka telepon dulu ke kita. Nanti kan bisa dijemput sampahnya.”
Kemudian percakapan kami terus berlanjut, hingga ke persoalan keyakinan dan rejeki. Aku cukup mendengarkan saja apa yang dikisahkan Manik. Menurutnya ia patut bersyukur bisa bekerja meskipun harus berjibaku dengan sampah. Masih dalam suasana natal, ia merasa bahwa kesibukan seperti ini merupakan jalan Tuhan, yang jika tidak syukuri maka hanya akan menjadi keluh kesah yang tak berujung. Mendengar hal itu mungkin aku perlu sepakat dengannya, tapi yang terpenting persoalan sampah juga harus dibenahi dengan cara-cara yang matang, strategis, dan tidak pasrah pada keadaan. Tentu semua pihak harus saling mendukung dan bekerjasama, termasuk warga. Tabik.
Sebenarnya,,,,, sampah ini jika di kelola dengan baik malah akan sangat berguna,,,,
jadi inget pembahasan kita tentang sampah waktu lulus di Sub,,
beberapa hari yg lalu saya dapat jawaban dari tmn kalau Sub termasuk kota yg konsern soal sampah, wakil wali kota atau mantan wali kotanya. katanya cukup seius kalau ngomong soal penghijauan dan sampah
cuma nggak tau kenapa yg saya liat tetepa ajah banyak hehe
🙂
cara mengatasi persoalan sampah yg belum pernah gagal,dimanapun,seberapapun,kondisi apapun(basah busuk berbau yg menjijikkan,dengan mudah dpt.teratasi,bila berkenan(buka)teknologitpa.blogspot.com atau tungkusampah.com
Permasalahan di TPS itu masih sama saja dari dulu. Tapi bukankah lebih baik buang sampah pada tempatnya (misalnya TPS itu) daripada membuannya sembarangan? Apa mebuang sampah di ‘sembarang’ TPS juga salah? hahhaa… gak usah dijawab, Lus.. 🙂
hmmm…menarik juga geung, tentu membuang sampah sembarangan merupakan aksi yang paling buruk dibanding membuang sampah di sembarang TPS. Komentar lu bikin gue ngebayangin jangan2 memang masyarakat tidak memiliki alternatif lain untuk membuang sampah pada tempatnya karena memang tidak banyak fasilitasnya atau juga sebetulnya fasilitas itu sudah mencukupi, namun karena ketidakdisipilinan warga membuat fasilitas yang ada jadi tidak berfungsi maksimal. Yang pasti kegunaan TPS yang difasilitasi pemerintah itu harus bersifat sistemik dan merambah pada masing2 keluarahan. Misal, semestinya warga Kelurahan Lenteng Agung ya harus membuang sampah di TPS Lenteng Agung, bukan di TPS kelurahan lain. Dan para pembuangnya pun terdata, beserta volume dan jenis2 sampahnya. Sayang hal itu tidak terkordinasi dengan benar, inisiatif pun sepertinya belum muncul. Di tambah banyak juga pedagang2 bergerobak yang tidak jelas pengkordinasian sampahnya, meskipun ada beberapa yang juga ikut membayar retribusi.