Saat itu, kami bekerjasama dengan Taman Budaya Surabaya Cak Durasim untuk mengorganisir seniman-seniman Surabaya menjadi partisipan penggunaan medium video di ranah seni ini. Program workshop ini akhirnya mengantar saya ke Kota Pahlawan untuk pertama kali. Ditemani oleh Otty Widasari yang juga menjadi fasilitator, kami tinggal di Taman Budaya Surabaya selama sepuluh hari.
Pengalaman pertama ini meninggalkan kesan yang cukup mendalam buat saya. Surabaya yang dalam bayangan saya merupakan salah satu pusat perekonomian terbesar di Indonesia, seharusnya mempunyai dinamika perkembangan seni yang tentunya berkembang pesat pula. Namun, dari percakapan dengan seniman dan kawan-kawan waktu itu, masih banyak yang perlu dibenahi dalam mengembangkan persoalan “dunia kreatifitas” ini di Surabaya.
“Dunia kreatif” di Surabaya masih mengacu kepada Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, tiga kota besar yang selama ini menjadi barometer perkembangan dunia seni di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari kurangnya perhatian dunia usaha dan pemerintah dalam mengembangkan “dunia kreatifitas” ini sebagai sebuah “aset” yang sangat potensial di Surabaya, yang merupakan kota terbesar nomor dua di Indonesia.
Surabaya juga merupakan kota industri terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Mayoritas masyarakatnya adalah etnis Jawa. Selain itu kota dengan tingkat kepadatan tinggi ini juga didiami oleh etnis Tionghoa dan etnis masyarakat Timur Indonesia. Masyarakat Surabaya terkenal dengan dialek Jawa yang khas, yaitu; Boso Suroboyoan.
Kota ini memiliki luas wilayah 33.306,30 hektare. Diapit oleh Selat Madura pada bagian Utara dan Timur kota, di sebelah Selatan oleh Kabupaten Sidoarjo dan sebelah Barat oleh Kabupaten Gresik. Berdasarkan catatan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya pada Desember 2007, jumlah penduduk Surabaya sebesar 2.861.928 jiwa atau 755.914 kepala keluarga.
Ada banyak catatan sejarah Surabaya yang saya temukan di berbagai situs internet. Salah satunya pada website pemerintah Kota Surabaya. Di sini, saya akan mengutip catatan dari pemerintah kota tentang sejarah kota;
Nama Surabaya muncul semasa awal pertumbuhan kerajaan Majapahit. Nama Surabaya diambil dari simbol ikan Sura dan Buaya. Simbol itu sesungguhnya untuk menggambarkan peristiwa heroik yang terjadi di kawasan Ujung Galuh (nama daerah Surabaya di masa silam), yakni pertempuran antara tentara yang dipimpin Raden Widjaja dengan pasukan tentara Tar Tar pada tanggal 31 Mei 1293. Tanggal itulah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Kota Surabaya.
Awalnya Surabaya adalah kawasan perkampungan atau pedesaan di pinggiran sungai. Nama-nama kampung yang kini masih ada seperti Kaliasin, Kaliwaron, Kalidami, Ketabangkali, Kalikepiting, Darmokali, dan sebagainya adalah bukti yang menjelaskan bahwa kawasan Surabaya adalah kawasan yang memiliki banyak aliran air/sungai. Secara geografis ini sangat masuk akal, karena memang kawasan Surabaya merupakan kawasan yang berada di dekat laut dan aliran sungai besar (Brantas, dengan anak kalinya).
Lokasi Surabaya yang berada di pinggir pantai, merupakan wilayah yang menjadi lintasan hilir mudik manusia dari berbagai wilayah. Surabaya, menjadi pertemuan antara orang pedalaman pulau Jawa dengan orang dari luar. Pada tahun 1612 Surabaya sudah merupakan bandar perdagangan yang ramai. Peranan Surabaya sebagai kota pelabuhan sangat penting sejak lama. Saat itu sungai Kalimas merupakan sungai yang dipenuhi perahu-perahu yang berlayar menuju pelosok Surabaya.
Banyak pedagang Portugis membeli rempah-rempah dari pedagang pribumi. Di bawah kekuasaan Trunojoyo, Surabaya menjadi pelabuhan transit dan tempat penimbunan barang-barang dari daerah subur, yaitu delta Brantas. Sementara, Kalimas menjadi “sungai emas” yang membawa barang-barang berharga dari pedalaman.
Kota Surabaya juga sangat berkaitan dengan revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak penjajahan Belanda maupun Jepang, rakyat Surabaya (Arek Suroboyo) bertempur habis-habisan untuk merebut kemerdekaan. Puncaknya pada tanggal 10 November 1945, Arek Suroboyo berhasil menduduki Hotel Oranye atau Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit) yang saat itu menjadi simbol kolonialisme. Karena kegigihannya itu, maka setiap Tanggal 10 November, Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pahlawan. Hingga saat ini bekas-bekas masa penjajahan terlihat dengan masih cukup banyaknya bangunan kuno bersejarah di sini.
Sebelum pemerintah rezim militer Orde Baru berkuasa, Surabaya adalah kota yang sangat kuat dan maju—dalam perkembangan kesenian, terutama kesenian rakyat. Ada ratusan kelompok kesenian rakyat sebelum tahun 1965-an. Salah satunya adalah kesenian Ludruk. Hingga sekarang di Kota Surabaya, hanya tinggal beberapa kelompok kesenian Ludruk, diantaranya Ludruk Irama Budaya—yang menjadi salah satu tema karya pada workshop O.K Video Militia tahun 2007—yang masih mencoba bertahan dalam arus besar perkembangan kota.
Pada tahun 2008, saya kembali lagi ke Surabaya untuk memberikan workshop singkat tentang seni video dan filem eksperimental, bekerjasama dengan Pusat Kebudayaan Perancis di Surabaya. Pada saat itulah, saya berkenalan dengan Pijar, Kadir dan kawan-kawan.
Pada program akumassa, Forum Lenteng bekerjasama dengan Komunitas Kinetik—yang merupakan kelompok studi audio visual yang mayoritas anggotanya adalah mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Surabaya yang didirikan oleh para mahasiswa yang saya kenal pada tahun 2008—dalam mengembangkan jaringan kesadaran media untuk kemajuan masyarakat atau pemberdayaan.
Surabaya dipilih karena karakternya yang khas. Sebagai kota besar, Surabaya sangat jauh berbeda dengan Jakarta. Padahal, secara ekonomi dan politik, kota ini mempunyai peranan strategis dalam keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah pusat. Peran strategis inilah yang seharusnya diraih juga oleh Surabaya di ranah gerakan kebudayaan. Komunitas Kinetik mungkin menjadi salah satu “riak kecil” dalam dominasi dunia industri dan ekonomi di kota ini. Namun, dengan kerja keras dan bekerjasama dengan komunitas-komunitas yang masuk dalam jaringan akumassa, semoga Komunitas Kinetik menjadi “gelombang besar” atau “arus deras” yang memberikan arti penting dalam perkembangan kebudayaan kontemporer di Surabaya.
Selamat bergabung kawan-kawan. Salam.
Hafiz
Ketua Forum Lenteng
___
Foto: Dari berbagai sumber
Bravo Surabaya. Bravo Kinetik. Kami akan bahagia membaca catatan-catatan dari kalian.
salam
saidjahforum
waw..waw…waaawwww…
selamat bergabung…selamat ber-akumassa…
salam kenal kawan-kawan akumassa 🙂
selamat bergabung! Salam dari Yogyakarta
ajiiibb… Akumassa nambah rame..
Salam
suwon sing akeh yo rek “terima kasih banyak… kawan-kawan” akumassa se-indonesia… salam kenal dari kami.
mohon dibantu ya…
Semoga berkenan , salam hangat .
Selamat bergabung surabaya!!! selamat ber-akumassa ria… hehe (ngetik sambil buka buku teori kriminologi, ujiaaaan!)
halo akumassa Surabaya 🙂
selamat bergabung surabaya,
selamat bergabung kinetik.
Selamat bergabung Kinetik, Surabaya…
selamat bergabung dengan akumassa ….
@_@
buat kinetik selamat berperan di akumassa, upn jatim mendukungmu!!