Lapak-lapak menawarkan berbagai jenis barang yang beragam, seperti pakaian, aksesoris, mainan anak, bahkan sayur-sayuran. Tapi tak ada yang menarik bagiku waktu itu, rasanya barang-barang yang kutemui lazim didapatkan di tempat tinggalku juga, di Jakarta. Justru yang menarik perhatianku waktu itu, para patung yang berdiri di tengah hingar-bingar lampu kota, atau lebih tepatnya lampu-lampu milik para pedagang kaki lima. Tentu patung itu tidak untuk dijual, meskipun sekilas keberadaannya tak beda dengan barang dagang.
“Permisi, Bu,” ucapku pada salah seorang pedagang lapak di tepi pagar patung.
“Iya, A’, mau beli apa?”
“Enggak, Bu, saya numpang lewat, mau lihat patung dari dekat,” jawabku.
Ibu itu mempersilahkan, karena memang untuk masuk ke area patung yang dipagari itu aku harus melewati ruas pagar yang hilang. Kebetulan saja ibu si penjual aksesoris perempuan itu berada tepat di depannya.
Setelah masuk kudapati dengan jelas replika pejuang yang lusuh. Monumen yang dibangun untuk memperingati perjuangan masyarakat Banten di tahun 1945 dalam mengusir penjajah tak tampak lagi kewibawaannya, bahkan terkesan sedikit angker seperti citra pohon beringin yang memayunginya. Bagiku hal itu sangat disayangkan karena fungsi keberadaanya jadi menghilang. Aku merasa beruntung yang secara tidak sengaja waktu itu menemukannya. Karena berangkat dari monumen itu, setidaknya aku dapat melihat bagaimana sejarah Banten, khususnya Serang dalam melawan penjajahan.
Tapi sayang kisah-kisah itu tidak dapat kupahami dengan jelas. Monumen yang disahkan oleh Gubernur KDH TK.I Jawa Barat H.A Kunaefi pada tahun 1980 itu tidak menyisakan bentuk-bentuk relief yang utuh. Dari empat buah relief yang ada, semuanya terlihat buram dan berlumut. Dengan sangat menyesal aku tidak bisa menyimpulkan apa pun dari keberadaan monumen itu secara historis kecuali hanya anggapan bahwa jejak rezim Orde Baru juga tertoreh di sini melalui identitas kemiliterannya.
Merasa bingung dengan aktifitas yang bisa kulakukan dengan monumen itu kecuali foto-foto, aku kembali ke sisi barat alun-alun. Di sana aku melihat banyak muda-mudi melakukan beraragam aktifitas yang menarik, seperti latihan shuffle, basket street ball, juga skateboard. Tapi sesekali ‘punker jalanan’ lalu-lalalng. Kelihatannya mereka lebih mirip ‘preman’ di banding kelompok pemuda yang berontak terhadap sistem yang mapan. Karena sesekali aku melihat mereka menghardik juga memalak kelompok pemuda yang lain. Tapi yasudahlah itu bukan urusanku. Bunyi gesekan papan skateboard lebih menarik pandanganku. Kuhampiri mereka, lalu berkenalan dengan beberapa di antaranya yaitu, Angga, Dio, dan Ihwal. Dio dan Ihwal merupakan mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia di Serang, tapi Angga berprofesi sebagai buruh di salah satu pabrik jam di kota yang sama. Mereka bertiga telah dua tahun lebih menekuni hobi menjadi skater. Beberapa kompetisi pun telah diikuti, namun sayang kesempatan untuk menjadi juara belum berhasil diraih.
“Kategori kompetisi gimana A’ yang pernah diikuti?’ tanyaku pada Angga.
“Kita biasanya ikut yang kompetisi Skateboard Street, A’, yang model mainnya tuh nge-flip atau nge-grind.”
“iye, gue tau, haha. Gue main game Tony Hawk Pro Skater kali. Kenapa gak nge-bowl?”
“Belajar di mana atuh A’, di sini mah gak ada fasilitas yang begitu, kalo di Jakarta enak, ada banyak spot, hehe,” kata Angga.
“Wah gak tau gue, tapi setahu gue di Depok ada sih. Banyak temen-temen gue yang suka main di sana.”
“Ini aja nih (sambil menunjuk pipa besi) kita bikinnya patungan, hehehe,” ujar Angga.
“Wah, hebat juga lo pada bikin, abis berapa?”
“Berapa ya? Lima ratus (dalam bilangan Rupiah) kalo gak salah,” jawab Angga.
“Wah, mantep lu, Broh, niat.”
Kemudian Angga menceritakan dengan cara seperti itu mereka bisa belajar. Karena peralatan dan perlengkapan untuk main skateboard bisa dibilang mahal. Terkadang untuk spare parts pun mereka saling tukar informasi dari mulut ke mulut untuk mendapatkannya.
“Biasanya ada info A’ dari temen ke temen, ada orang yang lagi butuh uang terus mau jual bearing misalnya. Kalo yang bergitu sih udah pasti barang bekas. Nah, nanti kalo ada yang butuh barangnya paling dikasih no kontak langsung,” jelas Angga.
“Kalo blackmarket?” Tanyaku.
“Wah, susah, kita sih gak pernah dapet info kalo yang begitu. Kalo mau barang bagus ya beli baru di toko, dengan resikonya ya mahal,” kata Angga. Tapi untuk hobinya main skateboard Angga bilang tidak perhitungan, meskipun penghasilannya menjadi buruh parbik hanya Rp. 800.000 per bulan.
Tiba-tiba beberapa ‘punker jalanan’ lewat di depan kami. Menendang pelan pipa besi milik para skater Serang ini hingga sedikit geser. Lalu pergi begitu saja. Jadi sedikit terganggu percakapan kami, tapi bukan masalah kata Dio. Asal isengnya tidak keterlaluan, maka biarkan saja.
“Bagi rokok, A’,” pinta Dio padaku yang jadi terlihat gugup.
Kupersilahkan sambil menyodorkan korek api. Karena hari sudah malam aku pun juga bersiap-siap untuk meninggalkan alun-alun, karena aku harus segera ke Rangkasbitung malam itu juga, dan khawatir bus yang menuju ke Lebak sudah tidak ada di Terminal Pakupatan.
“Gue cabut ya, Bro. Eh, ke Pakupatan naik apa ya?” tanyaku.
Dio bilang, “Coba tanya angkot biru, ke Pakupatan gak? Kalo enggak cari angkot yang lain.”
“Oh oke, gue duluan, ya.”
“Siap A,” jawab mereka bertiga dengan bersamaan.
Tak lama kemudian, jleb… sunyi sejenak dan langsung di sambut teriakan orang sealun-alun dengan nada kecewa tapi seru. Rupanya Kota Serang mati lampu secara serentak, tapi supermarket di seberang alun-alun tentu masih terang benderang tanpa kecuali. Haha… aku tertawa sedikit dalam hati, sambil menghampiri angkot yang berwarna biru.