Setibanya di warung tenda nasi jamblang di atas trotoar, seberang Carrefour, kami langsung memesan makanan. Karena satu bungkusnya kecil, saya pesan tiga dengan lauknya berupa balakutak—cumi yang diolesi bumbu hitam, sate usus dan sambal. Ini adalah lauk yang sama persis saya beli dua hari berturut-turut sebelumnya. Namun kemarin saya dibungkus dan menyantapnya di rumah. Walau rasanya biasa saja, namun ranjang dan daunnya itu menjadi khas sendiri, diiringi hujan yang menjadi menambah selera makan.
Malamnya saya tidur jam satu malam, sama seperti hari-hari biasanya. Namun pagi harinya, sekitar jam delapan, tubuh terasa demam dan pusing. Terlanjur hutang janji dengan Eta semalam untuk mengajaknya jalan-jalan ke keraton dan pelabuhan. Maka jam sebelas siang saya dan Eta bergegas menuju Keraton Kanoman. Sesampainya, saya bertemu Umar, Abdi Dalem keraton dengan rambutnya yang dicat merah menjadi pemandu kami. Sebelumnya saya sudah mengenalnya. Dia yang membawa kami ke museum, menceritakan silsilah, membawa kami melihat benda-benda pusaka, dia sendiri yang menandatangani buku tamu—peraturannya harus ditandatangani sendiri. Saya mengeluarkan kocek Rp 10.000 ketika keluar dari museum. Lalu kami masuk ke dalam ruangan tempat singgasana para sultan dan saya yang menceritakan semua benda-benda bersejarah dan fungsi-fungsinya kepada Eta. Umar hanya membukakan pintu dan menyalakan lampu. Saya duduk di atas kursi sultan dan berfoto sebanyak tiga frame dengan keadaan tubuh yang mulai meriang.
Karena penasaran dengan Keraton Kasepuhan, kami berdua diantar Umar menuju ke sana. Selama kurang lebih 15 menit kami berjalan kaki. Keraton Kasepuhan terletak di jalan Lemah Wungkuk. Pertama yang kami lihat dari wilayah itu adalah alun-alun sebelah kiri dan Masjid Agung yang terkenal dengan tradisi tujuh adzan-nya—terdiri dari tujuh muadzin. Kami pun masuk dengan membayar tiket Rp 3000/orang dan diantarkan keliling keraton oleh pemandu yang kira-kira berusia 60 tahun. Dia terlihat fasih menceritakan sejarah dan seluruh isi keraton. Berbeda dengan Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan terlihat lebih besar, bersih, terawat, lebih memperlihatkan bagaimana keraton itu sebagai cagar budaya. Hari itu hari Sabtu. Di pintu gerbang berjajar pemandu-pemandu yang siap mengantar ke dalam keraton. Begitu pun turis-turis lokal yang cukup banyak di hari itu.
Pertama-tama yang diceritakannya itu Siti Inggil (tanah yang ditinggikan) tempat para sultan melihat pasukan yang berjajar di alun-alun yang tepat berada di depannya. Sebelumnya keraton ini bernama Keraton Pakungwati sampai dengan pemerintahan Girilaya (Panembahan Ratu II) dan berdirilah Keraton Kasepuhan. Kata Pak Asep yang tinggal berhimpitan dengan Keraton Kanoman, yang juga kerja serabutan di sekitar Kanoman, seperti tukang parkir, Sepuh di sini dimaksudkan sebagai bangunannya, makanya muncul Keraton Kanoman yang bangunannya lebih muda (Anom). Tetapi tidak dengan penghuninya. Keraton Kasepuhan terdiri dari orang-orang kesultanan yang lebih muda ketimbang Keraton Kanoman.
Kami masuk ke dalam Keraton Kasepuhan dan melihat Kereta Singa Barong. Kereta ini ditarik empat ekor kerbau bule dan kalau berjalan sayapnya bisa mengepak dan lidahnya melet-melet. Kata Pak Pemandu, “Singa Barong ini kereta tercantik di dunia!”. Hah?’ dalam hati saya terkejut. Apa benar kereta Jawa yang berjalan lambat itu lebih canggih dari kereta Raja Firaun ketika mengejar Bangsa Yahudi hingga ke Laut Merah, kereta Kaisar Nero ketika membakar kota Roma, dan kereta Arjuna ketika menerima Bhagavad Gita dari Sri Krishna di Perang Barata Yudha? Tapi sesampai di rumah saya membaca buku Budaya Bahari, Sebuah Apresiasi di Cirebon karya Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri cs., yang juga bicara seperti itu. Tapi dilihat dari sisi estetika. Mmmm . . . begitu . . . Tapi menurut saya kereta itu sangat psychedelic-mystic-exsotic. Saya kemudian membayangkan jika saya naik ke atas kereta itu di atas awan, dengan menggunakan jubah putih bak Pangeran Diponegoro dan memodifikasi lidah singa dengan lidah ala Rolling Stones. Saya pergi menjemput seorang permaisuri di Kerajaan Baghdad untuk menculiknya ke tanah Jawa dan kemudian mempersuntingnya. Mmm . . . dahsyat sekali kereta ini!!!
Usai melihat kereta, kami dipandu untuk melihat koleksi keraton lainnya. Di antaranya lukisan Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi yang merupakan lukisan tiga dimensi, baju besi hasil rampasan dari Portugis, alat debus dari Banten dan masih banyak lagi. Saya tertarik dengan keramik yang dipajang di sebuah dinding. Keramik itu tidak semua berasal dari Cina. Ada keramik-keramik yang bergambar nabi-nabi Israel. Memang sebenarnya keramik-keramik tersebut merupakan kepingan dari kisah-kisah Kitab Perjanjian Lama. Namun sayang, menurut Pak Pemandu, keramik tersebut tersusun tak beraturan menurut alur ceritanya karena yang memasang keramik-keramik di tembok tersebut tak mengerti maksud dari keramik-keramik tersebut.
Saya pun tak kuat menahan rasa ingin memuntahkan air seni. Toilet terdekat terdapat di samping Langgar Alit. Saya pun buang air dilanjutkan dengan menunaikan shalat Dzuhur di Langgar Alit. Sebelum menuju luar keraton, Pak Pemandu sempat menceritakan kisah seorang siswa sekolah menengah pertama dari Kalimantan yang melihat penampakan Buaya Putih yang besar sekali hingga menutupi sebuah bangunan. Konon buaya tersebut pun nampak di foto anak tersebut. Saya dan Eta pun bergegas meninggalkan Keraton Kasepuhan dengan mengucapkan terima kasih kepada Pak Pemandu sambil memberikan salam tempel selembar uang duapuluh ribuan sebagai tanda jasa seadanya. Karena kondisi saya yang semakin tidak fit, kami memutuskan untuk membatalkan rencana ke pelabuhan dan melanjutkan akhir pekan ke Pasar Kanoman dengan menaiki Becak. Untuk menunaikan hak-hak perut yang memang sudah berdemonstrasi, saya menyarankan untuk makan bakso Mas Kinclong.
Karena badan saya semakin lemas dan demam semakin memanas, kami putuskan untuk segera kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, teman-teman dari Gardu sudah berkumpul untuk berangkat ke Cigugur dalam rangka melihat perayaan Seren Taun. Membayangkan perjalanannya yang jauh di malam hari dengan mengendarai sepeda motor dan lokasi yang berada di kaki gunung Ciremai. Maka sebelum diajak, saya sudah menyatakan menyerah dan tak memaksakan diri untuk ikut serta. Setelah kawan-kawan berangkat termasuk Eta, tinggal saya di rumah bersama Atot dan Desie.
waaaah…. menyenangkan ;p
Cukup menarik..disisipi dengan wisata kuliner di sekitar cirebon..hmmm..sbenarnya gw penasaran sama “balakutak”nya..
ya selanjutnya dirimu tephar!!waktu terima telpon dari niko, gw pikir mau ngajak kondangan ke si bedul(kebetulan gw lagi nunggu pasien di rs) eh ternyata niko bawa pasien juga…yaitu elo!!! ha.ha..ha.. seru men, seru
kmrn waktu ke cirebon saya makan nasi jamblang, tapu bukan yg itu deh kayaknya hmmm
Nasi jamblangnya bikin gw lapeeerrrr….
mau donk makan cumi item