Sebulan tidaklah cukup untuk memahami karakteristik kota ini, namun juga bukan waktu yang lama bagi saya untuk mengenal lebih dekat dengan kota ini. Saya katakan bukan waktu yang sebentar karena masih banyak sekali peristiwa kota yang belum saya lihat, diantaranya acara Pekan Maulud di keraton-keraton Cirebon, ikut berlayar mencari ikan bersama para nelayan, menikmati wisata malamnya dan masih banyak tempat-tempat yang belum sempat saya kunjungi. Namun bisa dikatakan sebentar, karena selain nenek saya dari pihak ayah tinggal di Cirebon maka setiap hari raya seluruh keluarga besar berkumpul di kota ini, Cirebon juga selalu menjadi transit ketika saya melakukan perjalanan ke Jawa Tengah.
Sebelumnya saya bertanya dalam hati, ”Apakah saya betah untuk menghabiskan waktu selama sebulan di Cirebon?”, mengingat suhu kota yang panas membuat saya merasa ingin lekas pulang ke Jakarta ketika sedang berlebaran. Setiap musim mudik, Cirebon terasa sangat panas, bahkan lebih panas dibandingkan Jakarta. Ketidakbetahan saya entah karena tidak ada rutinitas yang bisa dilakukan di sini atau karena faktor lainnya.
Jika boleh ber-subyektif-ria, salah satunya mungkin karena scene musik lokal di kota ini saya anggap kurang menarik, tidak ada band yang tergabung namanya hingga di telinga saya. Baik musik rock, pop industri maupun scene indie-nya. Jika Bandung melahirkan The Rollies untuk scene rock, Peterpan di jalur industri pop, lalu Pas Band, Puppen dan Burgerkill di scene underground. Yogyakarta punya Sheila on 7, Jikustik hingga Shaggy Dog dan Dom 65 di jalur bawah tanah, maka apa yang dimiliki Cirebon? Jika di era 80an ada Bomber, grup musik rock yang saat itu cukup terkenal dengan single “Inilah Rock”, mereka pun tak sampai menjamah ibukota. Jika ada musisi yang terkenal, itupun hanya personilnya dan setelah hijrah ke kota lain.
Sebut saja David Naif yang ngetop setelah kuliah di Jakarta. Lalu Charlie, vokalis band ST12 yang terkenal setelah ia hijrah ke Bandung. Bahkan selama di Cirebon, saya menyaksikan pertunjukan musik di pusat kota pada malam tahun baru. Mereka saya anggap band papan atas kota Cirebon saat itu, dan saya tidak melihat adanya band yang disinyalir bisa mencuat di kancah nasional. Minimal tayang di MTV atau dimuat majalah Rolling Stone lah (Jika eksis di kedua media tersebut memang menjadi landasan kesuksesan sebuah grup musik).
Tetapi di bidang musik, Cirebon memiliki karakteristik sendiri yang tidak dimiliki kota lain di Indonesia. Sebut saja tarling jenis musik ini terdiri dari gitar dan suling. Seiring perkembangan zaman, jenis musik ini mengalami proses adaptasi yang dimainkan dengan menambahkan beberapa alat musik lain seperti organ, bass dan gitar listrik. Bahkan sekarang tarling bisa dimainkan walau dengan satu jenis alat musik organ (organ tunggal). Musik irama khas Pantura ini cukup digemari baik di kota lain di Indonesia, maupun di dunia Internasional seperti Jepang dan Afrika. Bahkan seorang kawan saya semasa SMA yang kini bekerja di perusahaan tambang dan berkeliling Afrika, bercerita bahwa semua kawan-kawannya di sana menyukai musik ini bahkan mereka ikut berjoget walau tak fasih dengan liriknya (termasuk teman saya yang asli Batak).
Ini yang saya anggap sangat menarik, karena semua jenis musik pop industri dan indie yang ada di negeri kita hanya bisa mencontek apa yang sedang trend di Barat sana. Sedangkan musik khas cirebonan ini bisa terdengar hingga pelosok dunia.
Beralih dari persoalan musik, saya berada di Cirebon ketika musim hujan dan suhu udara saat itu tidak panas seperti biasanya saya kesana. Bahkan jika malam tiba sering juga saya merasa kedinginan. Mungkin gunung Ciremai yang terletak di antara perbatasan Cirebon dan Kabupaten Kuningan itu meniupkan anginnya hingga menusuk dada saya.
Kali ini kedatangan saya di Cirebon adalah untuk program akumassa dari Forum Lenteng yang melibatkan komunitas pekerja kreatif muda (mahasiswa, seniman muda, pelaku budaya lokal). Senang rasanya bisa melihat Cirebon dari sisi yang lain, bisa dekat dengan masyarakatnya, bergaul dengan pemuda lokal dan bekerja dengan aktivis kebudayaan di Cirebon. Banyak pengalaman baru yang saya dapat disini, bermain ke Pelabuhan Muara Jati ketika terbit matahari, ke Tempat Pelelangan Ikan dengan menaiki sepeda ontel, bercengkerama dengan monyet di Taman Kera Kalijaga, menetap sementara di Rawat Inap Ruang Kelas Tiga Rumah Sakit Ciremai hingga masuk ke dalam Keraton Kasepuhan dan Kanoman.
Meskipun kata bapak saya: “Kita masih keturunan keraton lho!” dan memperlihatkan silsilah keturunan raja-raja Cirebon dari buku catatan keluarga, namun saya tidak cukup berbangga atas perkara tersebut. Menurut cerita eyang putri; kakeknya bapak saya (mbah buyut) sudah meninggalkan keraton bahkan menolak untuk dikuburkan bersama para ahli waris keraton.
Entah karena apa, mungkin mbah buyut saya terkena dampak modernisme lalu bergaul akrab dengan pemikiran-pemikirannya. Jika melihat perawakan dari fotonya, bisa dipastikan kalau mbah buyut saya menggemari musiknya Mozart atau membaca sastra Rusia seperti Anton Chekhov dan Nikolai Gogol. Mungkin juga karena beliau mengalami konflik rumah tangga di Keraton, memperebutkan keris atau tombak pusaka, atau ingin jalan-jalan ke bioskop menggunakan Kereta Paksi Naga Liman namun dilarang keras oleh Sultan, Patih dan para kroni-nya. Atau mungkin juga beliau terinspirasi oleh Ibrahim Bin Adham (tokoh Sufi Islam) yang perjalanan hidupnya seperti Sidharta Gautama, meninggalkan istana karena ingin melihat “kehidupan” di luar kerajaan.
Entah yang mana yang benar, karena saya hanya bisa menebak dan berkhayal jika ternyata benar keturunan Sultan, apakah saya sakti mandraguna atau dihormati di masyarakat bahkan jika ditembak mati seperti Amrozi dan kawan-kawan darah saya tidak merah, tapi biru. Mungkin banyak orang kota seperti saya yang masih berbangga hati kalau dirinya ternyata masih keturunan raja. Namun, apakah status tersebut masih bisa memperkuat ijazah S1-nya jika ingin melamar pekerjaan di sebuah perusahaan?
Ya sudahlah, meskipun residensi program akumassa selama sebulan di Cirebon telah usai, namun berita dan informasi yang berkaitan dengan akumassa di Cirebon masih dilanjutkan oleh kawan-kawan dari Engklek dan Gardu Unik yang akan terus di upload di blog ini. Kini saya telah kembali ke habitat di Jakarta yang selalu berhadapan dengan mesin knalpot, macet dan sejuta kesibukannya.
yak bagoooosss….
yak bagoooosss….
dan foto di pantai kejawanan dengan pencuri sepeda itu
foto yang keren sekali. siapa yang motret mas?
saya yang motret mbak…
-ak-
aku rasa pria di bersepeda di pantai kejawanan itu bukan pencuri sepeda melainkan kucing garong bertopi green military…siapa…siapa dia?
foto keluarganya keren banget cuy…
foto di kejawanan seperti di cicilia tahun 40an
Akew…kok ga ada cerita tentang makanan khas cirebon sih, ya walaupun lo nggak bawa oleh-oleh makanan khas sana, tapi paling nggak ceritanya cukup membuat puas… !!! Karena bayangan gue Cirebon a.k.a Kota Udang tuh banyak makanan yang dibuat dari udang asli, jadi rasanya pasti Ajiiiib…!!! Hmmm…kalo kerupuk udang mah udah biasa disini juga banyak, tapi kalo abon udang, terasi udang, atau udang rebon sekalian lo bawa kan enaaak… biar kalo gue masak harum udangnya bisa sampe kekamar Paul. Katanya sih harga abon udang disini (Jakarta) sekitar 30-50 ribuan, secara harga udang sekarang 30 ribu sekilonyah. Siapa tahu kalo disana bisa dapet dengan harga MIRING, misalnya 10 ribu sekilo gitu???? (ngarep)
Atau kalo lo gengsi bawa udang karna bau, kan lo boleh bawain batik khas Cirebon, yang katanya corak ama motifnya beda banget dari batik yang udah pasaran belakangan ini, contohnya motif Mega Mendung, gambar awan bergumpal-gumpal gitu, ya menggambarkan suasan hati gue yang cerahlah…!!! Dan menurut data yang gue baca, lokasinya ada di Desa Trusmi, Kabupaten Cirebon sekitar 5 kilometer dari pusat kota, harganya sekitar 100-200 ribu (murahkan), yaaa… kan kalo gue pake trus ditanya orang, “Wuih…batik lo keren banget, dari mana,” terus gue menjawab. “Ini dari Pe’a dia abis dari Cirebon kemarin program akumassa. Harganya lumayan mahal deh, tapi Pe’a kan orang kaya jadi dia beliin deh,”….
wah…tampaknya mbak Tien suka makan yah!!! pasti kamu gemuk yah?
gw setuju kaya yang di utarakan Tiencantik (ini titin kan, apa bukan, kalo buka maap salah orang)
Jalan-jalan kurang lengkap tanpa makan-makan or KULIner….
TP Tetep keren Tulisan LO PEa…
tulisan yang lumayan asik, kok kepingin ya bisa nulis seperti ini….
klo boleh kritik-saran, kegiatan yang di cirebon lebih ditonjolkan soalnya saya kurang merasa di cirebon…. informasinya udah cukup “nyampe” sih, tapi tetep aja rasa ingin tahu saya setelah dipancing belum terpuaskan…. jadi menurut saya ini baru pembukaan, masih ada bab-bab lain, kan katanya sebulan…. (atau saya saja yang blm liat keseluruhan blog ini, hehehe, berarti keseluruhan blog ini patut dinikmati juga)
salam
walaupun hanya sebulan, toh sebenarnya bisa saja kie tahu semua karakteristik kota ini..Asal kie udah punya planning..Karna masih banyak lagi sisi lain kota cirebon yang ngga kikie tahu..
mungkin hal” kayak keturunan keraton buat kie ga penting.. tapi lain halnya buat orang lain..
persepsi orang kan beda” kie.. Ralat juga.. Grage bukan Mal pertama.. Kalau ingin tau itu harus survey dulu minimal tanya” sama sepuh yang udah pasti tau gimana daerah itu..mUuph iia.. chy biisanya ngritik.. tapi smoga kritikan chy bisa ngebangun..
gw pernah liat tuh maling yang ambil sepeda kiki… tp yang ini mirip tukang ikan
pa kabarnya li? masih inget kaurang.li di blagedog ker usum lauk peda jeng coel mi denah. mani enak pisan rek nyobaan hente……………bls ya
kapan ni st 12 tampil di sidoarjo?aku pingin ni foto bareng ma st 12,gimana dong?aku fans banget ni ma charli
saya lagi mengumpulkan literatur ttg keluarga kasepuhan Cirebon, sy mau minta bantuan mas Riezky sharingkan buku catatan keluarga.
terima kasih
Irwan
literatur ttg keluarga kasepuhan Cirebon. langsung datang ke keratonan. kalao keraton Kanoman, silakan hub mas Cepy.. insya Allah diterima dengan baik!!!