Jurnal Kota: Depok Provinsi: Jawa Barat

Saat Mengungkap Kota Depok

Masa-masa pengembangan kota Depok
Avatar
Written by Hafiz

Pada tahun 2006, Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, Sutiyoso, menawarkan konsep Megapolitan dengan perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Ibu Kota Negara, untuk mengatasi persoalan sosial kota terpadat di Indonesia ini. Konsep yang melibatkan sebuah sinergi pembangunan dengan cakupan wilayah yang terhubung langsung dengan Jakarta ini, hingga sepuluh tehun lebih, tinggal hanya konsep. Konsep Megapolitan ini  sudah diusung oleh Ali Sadikin pada tahun 1970an. Megapolitan yang dibayangkan oleh Sutiyoso pada waktu itu adalah sebuah pelibatan kebijakan pembangunan bersama dengan kota-kota, wilayah dan kabupaten yang secara langsung berdampak pada perkembangan ibukota,  yaitu; Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur).

Stasiun Depok Lama.

Salah satu wilayah yang masuk dalam Megapolitan dan juga menjadi penyangga Ibu Kota serta mempunyai hubungan langsung secara sosial ekonomi adalah Kota Depok. Wilayah ini berbatasan langsung dengan sisi selatan Jakarta. Tentu dalam tulisan ini saya tidak akan menulis tentang perdebatan konsep Megapolitan pada tahun 2006 itu. Tulisan ini merupakan sedikit catatan saya tentang Depok.

Depok 1990.

Sebagai seorang yang memiliki tanda pengenal, Kartu Tanda Penduduk (KTP) Depok, saya merasa perlu untuk mengingat kembali bagaimana saya bisa menjadi warga Kota Belimbing ini.  Hal ini menarik, karena sebagai warga Depok, saya hampir tidak pernah berdomisili di kota ini. Hanya beberapa bulan saja setelah saya menikah. Identitas kewarganegaraan yang saya punya itu didapat sejak menikah dengan Otty Widasari—yang kebetulan tinggal di Kecamatan Sukmajaya, Depok. Tidak pernah terbayangkan oleh saya, sejak ‘merantau’ ke Jakarta untuk menjadi warga kota ini. Depok yang saya kenal, hanya sebuah ingatan tentang almarhum abang saya yang kebetulan kuliah di Universitas Indonesia pada tahun akhir 1970an. Pertama kali saya menginjakan kaki di Depok, pun saat saya aktif di kegiatan kemahasiswaan melakukan kegiatan yang bekerjasama dengan mahasiswa Universitas Indonesia pada tahun 1990_an.

Saat ini, saya berdomisili di Lenteng Agung. Namun, aktivitas sosial-ekonomi lebih sering berhubungan dengan Depok. Anak kami, Bodas Rancajale, lahir di sebuah rumah sakit di Depok dan mendapatkan Surat Kelahiran dari Pemerintah Kota Depok. Saat tiba waktu untuk masuk sekolah, anak kami pun masuk ke sebuah sekolah swasta di kawasan Depok. Jadi, secara ikatan, sebenarnya saya dan keluarga tak pernah lepas dari identitas resmi yang saya miliki sekarang, yaitu warga Depok.

Almarhum mertua saya (orang tua Otty) tinggal di kawasan Sukmajaya. Mereka menetap di sana sejak tahun 1990_an. Waktu kami pacaran, saya sering mengantar Otty pulang dengan Angkutan Kota (Angkot). Kami berdua, selalu melewati kawasan utama dari kota ini, dari kawasan Margonda Raya hingga Depok Lama, yang merupakan cikal bakal Depok sekarang. Jalur yang saya lalui dari Lenteng Agung ke arah Selatan, yang pasti akan menyusuri jalan utama kota, Margonda Raya (yang saat ini menjadi jantung kegiatan ekonomi saat ini), hingga di ujung jalan, akan bertemu jalan Tole Iskandar—dimana kawasan Depok Lama masih bisa ditemukan.

Masa Lalu Depok dan Sekarang

Dari beberapa sumber tulisan yang saya temukan, asal kata ‘Depok’, ternyata dari De Eerste Protestante Organisatie van Christenen (Organisasi Kristen Protestan Pertama), disingkat ‘DEPOC’, yang berubah menjadi Depok. Namun, ada juga yang menyebutkan bahwa kata Depok berasal dari De Eerste Protestants Onderdaan Kerk (Gereja Protestan Nasional Pertama). Kawasan ini berkembang dalam kegiatan ekonomi kolonial, sejak seorang saudagar kaya jaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur), Cornelis Chastelein (1657-1714), membeli ratusan hektar tanah di selatan Batavia pada tahun 1696. Pria yang juga seorang misionaris agama Kristen Protestan ini adalah mantan pegawai VOC, yang memutuskan berhenti dari perusahaan multinasional pertama di dunia itu, dan kemudian membentuk sebuah kawasan perkebunan, peternakan dengan kekuasan yang otonom. Pada waktu itu Chastelein membeli tanah seluas 12,44 KM persegi (6,2% luas Kota Depok saat ini) dengan harga 700 ringgit. Status tanah yang dibeli oleh Chastelein merupakan tanah partikelir atau terlepas dari kekuasaan Kolonial Belanda. Ia menjadi Tuan Tanah, yang kemudian memiliki pemerintahan sendiri. Daerah otonomi Chastelein  ini kemudian dikenal dengan Het Gemeente Bestuur van Het Particuliere Land Depok (Dewan Kota Kepemilikan Swasta Depok).

Ilustrasi Depok tahun 1900 (Sumber: gutenberg.org).

Hervormde Kerk Depok (Sumber: javapost.files.wordpress.com)

Sebuah rumah di Depok pada tahun 1935 (Sumber: kolomkita.detik.com)

Keluarga Loen,1932 (Sumber: kolomkita.detik.com)

Otopet (Sumber: kolomkita.detik.com)

Foto orang-orang Depok pada tahun 1932 (Sumber: bloguez.com)

Batavia untuk Depok (Sumber: MULO Ned Indie, 1924)

Dewan Kota Depok pimpinan Chastelein, mendatangkan para pekerja/budak dari Bali, Makassar, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Jawa, Pulau Rote, Batavia serta Filipina. Selain bekerja untuk sang Tuan Tanah, para budak ini juga diwajibkan untuk memeluk agama Kristen Protestan sebagai bagian dari kesepakatan. Wilayah otonom ini kemudian berkembang menjadi kawasan yang kaya, dengan jaminan sosial-ekonomi dari Chastelein. Ia memberikan fasilitas belajar dan kesehatan bagi budak dan para pekerjanya. Beberapa bulan sebelum wafat, 13 Maret 1714, ia menulis surat wasiat yang isinya mewariskan tanah Depok kepada para pekerjanya yang terdiri dari 12 Marga. Dengan surat itulah, para pekerja bebas dari menjadi manusia merdeka. Pada saat kematiannya pada 28 Juni 1714, ia membagikan uang 16 ringgit pada setiap keluarga. Mewariskan 300 ekor kerbau dan dua perangkat gamelan yang berlapis emas. Semua warisan yang tak ternilai itu (berupa gamelan emas dan beberapa tombak perak) hilang ketika masa Revolusi 1945an.  Pada masa Revolusi itu pula terjadi penjarahan dan pengambilalihan lahan-lahan 12 Marga oleh pribumi yang merasa tidak menjadi bagian dari kekayaan yang diwariskan Chastelein. Ada banyak keturunan pekerja dan budak Chastelein terbunuh pada waktu itu. Nama Chastelein saat ini diabadikan dalam Lembaga Cornelis Chastelein (LCC).

Setelah masa kemerdekaan, Depok menjadi sebuah kecamatan di bawah Kewedanaan (Pembantu Bupati) wilayah Parung, Kabupaten Bogor. Menurut situs resmi Pemerintah Kota Depok, www.depok.go.id, perkembangan Kecamatan Depok dimulai ketika pada tahun 1976, Perum Perumnas mulai membangun rumah di kawasan ini. Kemudian oleh pembangunan Kampus Universitas Indonesia, yang diikuti oleh berkembangnya perdagangan dan jasa sebagai penggerak utama perkembangan ekonomi di Depok.

Map Depok (googelearth).

Ilustrasi jalan utama Bogor-Depok pada tahun 1903

Pada tahun 1981 Pemerintah Pusat membentuk Kota Administratif Depok berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1981 yang peresmiannya pada tanggal 18 Maret 1982 oleh Menteri dalam Negeri (H. Amir Machmud) yang terdiri dari 3 Kecamatan dan 17 (tujuh belas) Desa, yaitu : (1) Kecamatan Pancoran Mas; (2) Kecamatan Beji; dan (3) Kecamatan Sukmajaya, yang kemudian pada tahun 2007 terjadi pemekaran berdasarkan Perda Kota Depok Nomor 08 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Kota Depok dan bertambah 8 kecamatan; (4) Kecamatan Cipayung; (5) Kecamatan Cilodong; (6) Kecamatan Limo; (7) Kecamatan Cinere; (8) Kecamatan Cimanggis; (9) Kecamatan Tapos; (10) Kecamatan Sawangan; dan (11) Kecamatan Bojongsari.

Jika kita melalui jalan utama Kota Depok sekarang, rasanya tidak ada beda dengan lokasi-lokasi lain di Ibu Kota. Depok telah berubah menjadi kawasan bisnis dan jasa dengan motor penggerak ekonomi utamanya adalah Universitas Indonesia, Universitas Gunadarma dan berbagai sekolah yang ada di sekitar kawasan ini. Selain itu di kawasan Jalan Raya Bogor, terdapat banyak pabrik-pabrik yang juga menjadi penggerak aktivitas ekonomi kawasan.

Masa-masa pengembangan kota Depok.

Perkembangan pesat Kota Depok terjadi sejak wilayah ini menjadi kotamadya secara penuh yaitu melalui Undang–Undang Nomor 15 Tahun 1999, tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok yang ditetapkan pada tanggal 20 April 1999, dan diresmikan tanggal 27 April 1999 berbarengan dengan Pelantikan Penjabat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Depok yang dipercayakan kepada Drs. H. Badrul Kamal. Menurut data dari situ pemerintah Kota Depok (www.depok.go.id),  jumlah penduduk di kota ini pada tahun 2005 mencapai 1.374.522 jiwa, terdiri atas laki-laki 696.329 jiwa (50,66%) dan perempuan 678.193 jiwa (49,34%) dengan luas wilayah hanya 200,29 KM2. Pada tahun 1999 jumlah penduduk masih di bawah 1 juta jiwa dan pada tahun 2005 telah mencapai 1.374.522 jiwa, sehingga perkembangan rata-rata 4,23 % per tahun. Peningkatan tersebut disebabkan tingginya angka migrasi setiap tahunnya. Pada tahun 2010, diperkirakan jumlah penduduk akan mencapai jumlah 1.610.000 jiwa dan kepadatan penduduk mencapai 7.877 jiwa per KM2.

Kawasan Sumber Air dan Resapan

Jika dikaitkan keterhubungan antara Jakarta dengan Kota Depok, sangat jelas bahwa kota ini menjadi daerah penyangga dan kawasan resapan air yang mengalir ke wilayah Utara (Jakarta). Ibu Kota sangat bergantung dengan bagaimana pemerintah Kota Depok mengelola sumber air yang besar di kawasan ini. Secara umum sungai-sungai di Kota Depok termasuk kedalam dua satuan Wilayah Sungai besar, yaitu sungai Ciliwung dan Cisadane. Dua sungai itu kemudian terbagi dalam 13 satuan aliran sungai, yaitu Ciliwung, Kali Baru, Pesanggrahan, Angke, Sugutamu, Cipinang, Cijantung, Sunter, Krukut, Saluran Cabang Barat, Saluran Cabang Tengah dan Caringin. Selain iut Kota Depok memiliki 25 situ yang tersebar di wilayah Timur, Barat dan Tengah. Luas keseluruhan situ yang ada di Kota Depok berdasarkan data tahun 2005 adalah seluas 169,68 Ha, atau sekitar 0,84 % luas Kota Depok. Kondisi situ-situ yang sangat vital sebagai penyangga dan resapan air ini, sebagian besar memprihatinkan. Ada banyak mengalami pendangkalan dan alih fungsi.

Ilustrasi masa lalu Sungai Ciliwung Depok (Sumber: gutenberg.org)

Ilustrasi peternakan di Depok pada masa Kolonial Belanda (Sumber: indonesiamedia.com)

Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Kota Depok telah memulai membuat aturan tentang pemanfaatan lahan untuk keberlanjutan. Dalam pernyataannya, Pemerintah Kota Depok akan memproyeksikan luas kawasan terbangun sampai dengan tahun 2010 diproyeksikan mencapai 10.720,59 ha (53,28%) atau meningkat 3,63 % dari data tahun 2005. Sementara luas  ruang terbuka (hijau) pada tahun 2010 diproyeksikan seluas 9.399,41 ha (46,72%) atau menyusut 3,63 % dari tahun 2005.

Dalam beberapa catatan yang ditemukan dalam situs Pemerintah Kota Depok, kondisi umum Kota Depok saat ini adalah; (1) Adanya tekanan yang sangat berat terhadap kondisi geomorfologi dan lingkungan hidup Kota Depok saat ini, akibat pertumbuhan penduduk; (2) Jumlah angkatan kerja dan juga tingkat pendidikan tenaga kerja yang tersedia masih didominasi tingkat pendidikan rendah, hampir 38,30% tenaga kerja yang tersedia masih berpendidikan SD ke bawah sedangkan yang berpendidikan diploma keatas hanya mencapai 11,10%; (3) Kondisi ekonomi dan sumberdaya alam Kota Depok saat ini, yang sudah mengerucut pada struktur ekonomi tertentu, yaitu struktur ekonomi moderen yang bertumpu pada sektor tersier dan didukung sektor sekunder; (4) Kondisi sosial budaya Kota Depok  yang saat ini sudah mengarah pada budaya metropolis yang multi etnis dan dari berbagai tingkat intelektualitas; dan (5) Pertumbuhan jumlah penduduk dengan pertumbuhan jumlah sarana dan prasarana umum yang tidak seimbang.

AKUMASSA Kota Depok

Dari berbagai catatan di atas, Forum Lenteng merasa perlu untuk menjadikan Kota Depok sebagai salah satu situs Program akumassa. Program ini dikelola oleh Forum Lenteng yang bekerjasama dengan beberapa mahasiswa yang berdomisili di kawasan ini. Pentingnya memilih Kota Depok sebagai bagian dari program pemberdayaan masyarakat melalui media, adalah, kami melihat perkembangan yang begitu cepat dari kawasan yang hanya 10 menit dari Lenteng Agung (markas Forum Lenteng) ini.  Ada banyak perubahan yang mungkin tidak pernah dibayangkan oleh saya pribadi sebelumnya. Secara tiba-tiba dalam sepuluh tahun terakhir berdiri sebuah Masjid berkubah Emas, yang menjadi daya tarik bagi masyarakat dari berbagai kota di Indonesia. Masjid ini menjadi salah satu daya tarik ‘wisata religius’ yang menyedot ribuan pengunjung. Selain itu, perlu sebuah identifikasi persoalan-persoalan masyarakat yang selama ini tidak terungkap di level media arus besar. Kota Depok sebagai ‘kota satelit yang metropolis’ sudah terlanjur menjadi ‘besar’ dalam pengungkapan berbagai persoalan, sehingga ada banyak persoalan-persoalan kecil yang perlu dicatat dan didistribusikan ke masyarakat. Begitu juga dengan pembacaan kembali sejarah Kota Depok—yang terkenal dengan Belanda Depok—yang sepertinya tidak terlalu banyak diungkap, karena terkait dengan agama tertentu yang sangat dominan. Program akumassa tidak ingin terjebak dalam pembacaan dalam pandangan satu pihak. Kami mencoba membuka kemungkinan cerita-cerita lain tentang ‘Depok’ yang selama ini tidak terungkap.

Demikianlah, semoga rekaman dan catatan yang dihasilkan oleh Program akumassa Kota Depok ini dapat memberikan kontribusi pada pengetahuan kita tentang sebuah wilayah yang saat ini menjadi magnet ekonomi di kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi).

Selamat Membaca.

Salam!

Hafiz
Ketua Forum Lenteng

About the author

Avatar

Hafiz

Hafiz dilahirkan di Pekanbaru, perupa dan pembuat video ini menyelesaikan studi Seni Murni di Institut Kesenian Jakarta tahun 1994. Ia salah satu pendiri Forum Lenteng (2003), dan menjadi ketua organisasi tersebut.

6 Comments

  • menarik, kalo berdasar data2 tulisan di atas, depok bermakna sebagai tempat missionaris protestan bersemayam, sedangkan sekarang menjadi kota ‘islam’. :p

    dari beberapa sumber, entah disebut sebagai folklore atau sejarah, depok bermakna sebagai pa-depok-an para jawara2 daerah banten dan bogor, yang memang mengabdi pada meneer belanda ketika masa kolonial.

    akan lebih menarik ketika kondisi aktuil depok kini yang konon katanya menjadi markas tarbiyah PK* juga dipaparkan di sini. 😀

  • Salut utk penulis, semoga bermanfaat bagi orang-orang yang rindu akan sejarah kota Depok. Saya sudah tinggal di Depok sejak tahun 1975 tepatnya di Kp. Baru, dekat Cagar Alam (sebuah hutan lindung). menikah, melahirkan ke 3 putra kami juga di Depok.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.