Dari kejauhan terlihat para pekerja galian pasir berkumpul di sebuah warung kopi. Warung itu tidak seperti umumnya warung kopi, melainkan gubuk liar yang berjejer di sepanjang jalan Cimarga. Punggung salah satu dari tiga pekerja, memakai baju lusuh, terkena air hujan menghadap ke bukit yang growak. Sementara pekerja lain asik main kartu domino menghadap ke arah jalan yang rusak dipenuhi genangan air hujan. Di balik beko (mobil pengeruk tanah) dan truk pasir, orang berlarian menghindari air hujan sambil membawa segelas kopi. Seseorang dari kerumunan sopir truk yang asik melihat pemandangan hujan lebat lantas segera berlari-lari mengambil sekop, kemudian membuang pasir selokan ke tepi jalan. Endapan pasir terbawa air hujan, menjadi tumpukan pasir yang padat hingga menyebabkan genangan. Airnya naik ke permukaan jalan. Campuran lumpur air berwarna cokelat pekat akan mengalir ke Sungai Cisimeut. Jika musim kemarau tiba, aliran sungai ini memiliki dua warna, hijau dan cokelat. Warna cokelat berasal dari limbah tambang pasir kuarsa, sedangkan warna hijau dihasilkan oleh pantulan warna lumut. Sungai Cisimeut akan menyatu dengan Sungai Ciberang. Hulu sungainya cokelat. Lalu bagaimana dengan warna Sungai Ciujung? Sungai-sungai besar di Lebak berwarna cokelat di hulu maupun di hilir. Sama saja. Dulu, jika musim kemarau, biasanya warna air berubah bening. Kini tidak.
Sudah dua hari Rangkasbitung, Pandeglang, Serang, Cilegon dan Merak diguyur hujan yang tak henti-henti. Seharusnya, Bulan April sudah masuk musim kemarau di Banten. Hulu Sungai Ciujung mulai meluap. Jalanan tertutup oleh air hujan, menyulitkan pengendara bermotor karena sulit melihat jalan berlubang. Saya menelusuri jalan berlumpur menuju sebelah Selatan Kota Rangkasbitung. Tidak jarang, laju motor saya melintir kesana-kemari seperti orang linglung. Bepergian, di tengah kepungan awan hitam dan hujan lebat, mencari tahu aktif atau tidaknya tambang-tambang pasir kuarsa di musim hujan. Biasanya akan sulit masuk ke wilayah tambang pasir karena dijaga tukang pukul. Warga menyebutnya Jawara, tapi bagi saya mereka hanya warga pada umumnya. Jawara zaman sekarang tidak mungkin ada di tambang pasir atau tambang emas. Ada pergeseran pelabelan Jawara oleh masyarakat yang jauh berbeda sekarang. Dahulu, peran Jawara adalah melindungi masyarakat dan para kyai. Kalau sekarang, Jawara jadi kaki tangan para kaum beruang. Bahkan, bisa jadi tangan kanan mereka. Saya berusaha membaur dengan pekerja tambang pasir di tengah guyuran hujan. Bagi para pengusaha tambang pasir, keamanan itu penting. Biasanya untuk menghindari penambang ilegal atau ‘wartawan amplop’. Melindungi tambang pasir sama pentingnya dengan melindungi harta pendapatan mereka.
Serpihan pasir halus terbawa air hujan turun ke jalan raya yang tidak jelas bentuknya. Mengalir dari pebukitan yang mirip bentuk sisaan nasi tumpeng. Terdapat growak di sana-sini. Di daerah Cimarga, tidak sulit menemukan tumpukan pasir kuarsa yang berserakan di pinggir jalan. Wilayah ini termasuk daerah tambang pasir, satu dari sekian banyak tambang pasir di Lebak. Umumnya, orang-orang Pemerintah Daerah dan para wartawan menyebutnya dengan nama ‘Galian C’. Titik-titik persebaran tambang pasir yang saya ketahui berada di daerah Sajira dan Citeras. Jumlahnya puluhan. Kepemilikan usaha tambang rata-rata dimiliki oleh pengusaha luar daerah Lebak. Hasil galian pasir kuarsa dijual ke Serang, Tangerang, Jakarta, dan Bogor. Keterangan ini saya peroleh dari salah satu pekerja galian pasir skala kecil, Pak Hata.
Selayaknya mandor, saya memandangi aliran sungai yang keruh di gubuk dekat peraduan Sungai Cisiimeut dan Sungai Ciberang. Seorang pekerja galian pasir sedang istirahat setelah menancapkan sekop di atas tumpukan sisa pasir yang habis diangkut truk bermuatan satu ton. Saat itu, semangat hujan sama besar dengan aliran sungai. Tempat galian pasir terasa bagai perpanjangan kuasa pengusaha yang ingin mengambil untung sebanyak-banyaknya. Saya berada tidak jauh darinya, sedang mengambil gambar dengan kamera di ponsel saya. Melihat kamera ponsel mulai berembun, buru-buru saya ikut berteduh.
Ketika saya memperkenalkan diri, awalnya dicurigai sebagai mata-mata usaha tambang sebelah.”Maklum usaha tambang sebelahnya membanting harga jual pasir ke titik terendah,” kata Hata, pekerja tambang yang lebih memilih berhenti dari perusahaan tambang. Ia warga yang berasal dari Cikedung. Untuk bertahan hidup sekarang dia hanya mengumpulkan limbah galian dari selokan, menumpuknya di sisi jalan untuk dijual. Harganya Rp.30.000 per meter kubik dengan ukuran satu truk colt diesel 4×4, bisa berisi 6 hingga 7 meter kubik.
Ketika saya menunjuk ke lokasi tambang dan bertanya mengenai rata-rata produksi galian pasir semasa ia bekerja di perusahaan, Ia berpikir sejenak, kemudian menjawab, “Berapa, yak??? Saya lupa! Mungkin kurang lebih mencapai 40.000 ton per bulan. Pasir yang diangkut masih dalam kondisi basah, geh, Pak. Jadinya berat.”
Saya menunjuk sembulan daratan pasir bekas aliran sungai, yang sering disebut ‘tanah timbul’. Orang Rangkas menyebutnya bungin, yang kini menjadi kebun bambu di samping galian pasir milik Hata. Saya menanyakan peristiwa lampau konflik tanah hasil pergeseran aliran sungai.
“Kadang perkara tanah tepian sungai jadi keributan. Jangankan tanah timbul, tanah milik pun suka jadi masalah. Seandainya air sungai bisa diperintah, rasanya saya puas jika tanah itu digerus lagi oleh sungai. Tanah itu dulu memang pernah jadi sengketa. Gara-gara H. Asbulloh merasa tanah itu miliknya. Sekarang tanah itu dikelola sama anaknya, H. Assam. Anak dan bapak, sama rakusnya. Ada lagi tanah anaknya yang berada di dekat makam Surakman. Bukannya tanah makam dilindungi, eh… malah dikeruk sedikit-sedikit untuk pelebaran sawah. Sekarang sawah meluas, sedangkan tanah makam mengecil. Kalau Bapak mau dapat keterangan lengkap soal tambang pasir di Cimarga, mungkin jelasnya Bapak mesti tanya ke pemilik perusahaan. Biasanya, seminggu sekali Si Kokoh datang ke lokasi. Hampir semua usaha tambang pasir kebanyakan milik orang luar Lebak.”
Setahu saya, daerah perbukitan ini tempat kumpulnya perampok. Tiap ceritanya membuat merinding pengendara yang akan melintasi daerah tersebut. Sebelah kanan jalan dari arah Kecamatan Cimarga menuju Leuwidamar, ada perbukitan yang dipenuhi pohon kelapa dan semak-semak tinggi. Sedangkan di sisi kiri, adalah tepian sungai. Tanah berwarna cokelat banyak terlihat di wilayah tepian sungai berdasarkan struktur dan komposisi batuan yang sudah mengendap karena hasil gerusan sungai. Tebing-tebing sungai terdiri atas tanah yang miring ke sungai. Umumnya, di bagian pedalaman Lebak, pemandangan seperti ini banyak ditemui. Pada dasarnya, pasir kuarsa merupakan bagian bahan baku utama kala mendirikan bangunan. Pasir kuarsa dipakai oleh industri bangunan untuk tembok pengecoran bangunan. Pasir kuarsa juga dikenal dengan nama pasir putih, merupakan hasil pelapukan batuan. Penambangan pasir kuarsa di Lebak dilakukan dengan metode tambang terbuka atau tambang semprot. Airnya disedot dari Sungai Ciujung mengunakan mesin diesel. Tergantung pada letak dan penyebaran endapan berada. Pengerukan tanah penutup perbukitan galian pasir kuarsa, pembongkaran, pemuatan dan pengangkutan amat tidak terkendali di area tepian Sungai Ciujung.
Bentuk permukaan dataran (morfologi) daerah tepian sungai-sungai di Lebak didominasi oleh perbukitan terjal dengan banyak lembah. Bentuk permukaan tanah seperti ini menunjukkan wilayah rawan abrasi dan longsor. Lebak mempunyai potensi bahan ‘Galian C’ (pasir kuarsa) yang sangat besar dan berlimpah. Pada masa Orde Baru, galian golongan C tidak tersentuh karena warga fokus ke galian pasir di dalam sungai. Kalaupun ada, tidak dengan skala besar. Perlu dicatat, sungai saat itu masih tertolong oleh pepohonan yang kaya resapan air, yang tumbuh di hulu sampai hilir sungai. Pada masa Pemerintahan Belanda, berbagai misi ekspedisi masuk ke pedalaman untuk mencari daerah galian kategori A (galian tambang emas), yang ada di Cikotok wilayah Selatan, daerah yang dikenal sebagai tambang emas di Lebak. Namun, untuk bahan galian golongan A, sudah berulangkali dieksplorasi. Sekarang, namanya saja yang ‘A’, tapi sebenarnya hanya tambang biasa berupa lubang-lubang galian kecil yang dikelola oleh warga secara tradisional.
Galian pasir kuarsa golongan C di Kabupaten Lebak dulu dianggap terbatas. Hampir kebanyakan digunakan untuk bangunan rumah. Kini, kebutuhan dan permintaanya kebanyakan untuk bahan bangunan dan industri di pusat-pusat kota. Jika melihat titik-titik wilayah galian yang tersebar, memang Lebak memiliki potensi yang sangat besar, hingga menjadi sasaran empuk pengusaha dari luar. Sekarang, tidaklah sulit melihat lokasi ‘Galian C’ skala besar. Bisa ditemui dengan ukuran puluhan hektar, menyisakan tebing-tebing curam dan genangan air, seperti danau buatan. Jumlah cadangannya mempunyai potensi besar di wilayah kecamatan-kecamatan di Lebak. Hasil penelusuran saya, penambangan pasir dan batu cukup banyak di Lebak. Diantaranya yang saya temui di tepian hulu Sungai Ciujung. Berada di Kecamatan Cimarga, Sajira, dan Citeras. Pasir kuarsa di Rangkasbitung umumnya disebut pasir putih. Tebing tergerus dan terbawa air sungai, kemudian terendap di tepi-tepi sungai.
***
Penjualan pasir kuarsa di Rangkasbitung hanya ada dua jenis. Jenis pasir berkualitas super, berwarna putih, harganya Rp. 150 000 per meter kubik. Sedangkan pasir kuarsa yang berwarna cokelat Rp. 109 000. Transaksi biasanya dilakukan di daerah tambang dan langsung diantar ke penerima. Harga pasir belum termasuk ongkos kirim.
“Bahan pasir kami menggunakan lapisan saringan sebelum diantar. Pasir yang digali terlebih dulu disaring sehingga menghasilkan pasir berkualitas baik. Tahap selanjutnya adalah proses pencucian membuat pasir tidak tercampur dengan batu koral dan bersih dari lumpur. Makanya, tiap truk pesanan akan mengucurkan air cucian dari bak truk. Harga ini masih murah dibanding dengan harga di tempat sebelah,” jelas Oka, pengusaha muda tambang pasir.
Oka lalu menjelaskan kalau perusahaannya juga legal. Sudah dapat izin usaha dari Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi. “Jangan kira kami tidak bayar retribusi. Kalau dihitung kasar, sejujurnya usaha begini habis di jalan, pungli (pungutan liar). Maksudnya, banyak setoran ke pihak-pihak Pemerintah. Di sini ada pula usaha milik salah satu pekerja Pemerintah, mantan Bupati Lebak, lahan, dan alat angkut pasir punya pribadi,” lanjutnya.
Resiko usaha tambang dan gejala alam sudah biasa. Abrasi, erosi, dan longsor sering terjadi. Bagi para pengusaha ‘Galian C’. Bencana alam itu bukan urusan mereka bersama. Yang menjadi urusan mereka adalah bagaimana menyiasati masalah ‘pelicin’ perizinan ke pihak-pihak yang menghambat usaha. Penambangan pasir kuarsa yang legal pun bisa bermasalah, apalagi ilegal. Usaha tambang pasir sering merugikan banyak pihak ketika musim hujan turun. Dari mana masalah ini muncul? Saiapa yang harus disalahkan? Siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah ada alasan lain selain ‘alasan perut’?
Peraturan tinggal peraturan. Di daerah seperti Lebak, Banten, peraturan sepertinya untuk dilanggar. Sudah seringkali Perda dibuat. Ada beberapa peraturan yang terkait dengan perijinan penambangan pasir kuarsa. Di antaranya: Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No.7, tahun 2004, tentang Pengelolaan Pertambangan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak tahun 2004 No.11 seri B) yang tidak diberlakukan lagi sepanjang mengenai pajak pengambilan bahan galian golongan C. Muncul kembali Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No.6 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah, dan pasal 57 ayat 2 Tahun 2010 tentang Objek Pajak Bumi dan Pertambangan, serta pasal 1 ayat 4 mengenai Retribusi Perusahaan Tambang.
Ketika bencana dan kerusakan sektor jalan terasa, maka peraturan ini menjadi kutipan yang paling banyak dimuat di media sebagai bentuk kritik atas dalih hukum yang dibuat Pemerintah. Lantas bagaimana sikap Pemerintahan Daerah dan Pemerintah Provinsi? Perda ini cuma hitam di atas putih. Hanya teks penghias saja. Dinas-dinas daerah malah seperti membangun lumbung proyek ketika kerusakan dampak lingkungan terjadi di sana-sini. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa jalan-jalan di Lebak rusak. Daerah ini seperti sengaja diisolasi dari pusat-pusat kota. Kalaupun diperbaiki, sebatas syarat saja, alias membangun jalan dengan aspal kualitas paling rendah. Ketika jalan semakin parah dan mendapat liputan massif dari media, kedua pihak saling tuding dan memberi penjelasan kalau jalan itu milik Kabupaten atau Provinsi. Bagi saya, warga, menjadi terasa samar karena tidak tahu-menahu mana yang jalan Kabupaten dan mana jalan Provinsi.
***
Saya ingat kisah seorang kawan ketika menjadi mahasiswa paling kritis di Lebak, saat ia dan kelompoknya mati-matian mendesak penutupan galian pasir. Mereka datang langsung ke Dinas Pertambangan dan Energi Lebak. Ia meminta pertambangan galian pasir ditutup saja karena merusak jalan. Disusul seminggu kemudian, protes sekelompok mahasiswa ini diliput media lokal. Dalam wawancaranya, ia berkata akan menyita pasir jika pemilik pangkalan itu melanggar Perda. Protes berlanjut, mendesak Distamben (Dinas Pertambangan dan Energi) Provinsi untuk menutup kegiatan penambangan galian pasir yang melanggar Perda K-3, yang mengatur usaha pertambangan.
Peristiwa itu terjadi ketika saya masih sering pulang-pergi Lebak-Jakarta. Tahun 2008, banyak pengusaha penambangan pasir yang tidak melakukan penghijauan. Harusnya, soal penghijauan merupakan kewajiban setelah penambangan pasir selesai. Kini, kondisi lingkungan di daerah bekas tambang pasir rusak. Setelah emas, batubara dan batu bahan keramik, kini pasir kuarsa menjadi idola.