Ketika musim hujan tiba, sungai-sungai kecil akan meluap di Lebak. Hal ini terjadi pada tahun 1895. Bupati di Onderdistrict Seah, District Sajira, Kabupaten Lebak telah kedatangan sekelompok orang tua dari Kampung Hamberang (daerah perkampungan di sebelah Timur Kabupaten Lebak). Mereka menghadap dan berbicara pada Bupati Lebak:
“Kami bertiga adalah warga yang tinggal di pinggir Sungai Ciberang, anak Sungai Ciujung. Aliran sungai kini sudah kecil. Kami mengundang Tuan Bupati untuk datang dan menemani acara warga di musim kemarau mengambil ikan di Ciberang. Semoga Tuan bisa datang. Daerah sungai yang akan diambil, ikannya di sebelah kanan Desa Buluheun yang sudah kesohor banyak ikannya. Jika Tuan Bupati berkenan, maka warga Kampung Hamberang akan segera disuruh menyiapkan sapan (alat pengambil ikan). Ikan-ikan di hulu sungai akan kami giring untuk masuk ke lobang sapan. Tuan Bupati bisa melihat langsung proses pengambilan ikan di sungai sambil jalan-jalan melihat pemandangan.”
Lalu kemudian Bupati menjawab, “Permintaan kalian bertiga saya terima dengan baik. Terima kasih. Tapi saya tidak terlalu suka menemani orang mengambil ikan di sungai. Biasanya orang yang mengambil ikan di sungai itu suka selingkuh dan suka menyembunyikan ikan hasil tangkapan. Saya kira mungkin takut dibagi rata sesama teman-temannya yang tidak mendapatkan ikan tangkapan. Kasihan yang tidak mendapatkan ikan.”
Salah satu dari mereka menjawab, “Perkara itu, Tuan Bupati jangan khawatir, saya yang punya wilayah leuwi (palung sungai) akan memberitahu semua warga kampung yang mengambil Ikan supaya ikan yang mereka dapat agar dikumpulkan dan diperlihatkan. Nantinya bisa dibagi rata untuk warga yang ikut menangkap ikan.”
“Kalau begitu caranya, saya akan ikut menangkap ikan. Tapi menangkap ikannya harus Hari Minggu,” jawab Bupati
“Kalau tidak ada masalah, bagaimana menangkap ikannya Hari Minggu besok saja. Sepulang dari sini, kami semua mau segera membuat sapan. Setelah selesai, kami akan mengingatkan Tuan Bupati kalau Hari Minggu besok ikut menangkap ikan di sungai,” kata salah satu warga yang kemudian diiyakan oleh Bupati.
Ketiga warga Kampung Hamberang segera meninggalkan kantor Kawedanaan (kantor Kabupaten). Warga kampung bersukacita karena akan kedatangan Bupati yang ikut menangkap ikan. Sapan segera dibuat dan waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Bupati datang dengan rombongannya membawa sapan berbaur bersama warga turun ke sungai. Seluruh warga kampung riuh dan tumpah ruah ikut turun ke sungai. Musim kemarau memang membuat aliran sungai kecil. Warga kampung dengan mudahnya mengambil ikan dengan kedalaman hanya seukuran mata kaki orang dewasa.
Rasa gembira berlebihan dan sifat serakah pun muncul. Sebagian warga melemparkan ikan-ikan hasil tangkapan ke ruyuk (semak-semak) di pinggir kanan dan kiri sungai. Cara ini adalah untuk mengelabui Bupati, supaya setoran ikan hasil tangkapan yang nantinya akan dibagi, tidak ada. Setelah acara selesai, mereka akan mengambil ikan-ikan di ruyuk .
Warga dan Bupati yang berada di hilir sungai keheranan. Mata mereka lama menatapi air keruh. Jangankan menangkap ikan, melihatnya saja tidak. Rasa heran belum selesai, tiba-tiba muncul warga dari hulu sungai dan langsung memberi tahu Bupati bahwa tidak akan pernah ada ikan di hilir karena warga yang menangkap ikan di hulu sungai melemparkan ikan-ikan hasil tangkapan ke semak-semak sambil menunjukkan kepada Bupati letak kerumunan warga yang berada di hulu sungai.
Mendengar pengaduan seorang warga, lantas Bupati berdiri di atas batu. Bupati melihat ke warga yang melemparkan ikan-ikan ke ruyuk. Mereka yang melemparkan ikan ke ruyuk dibiarkan saja. Bupati merasa kasihan kepada orang-orang yang menangkap ikan, tetapi tidak dapat. Apalagi orang-orang yang berada di hilir sungai yang tidak beruntung. Bupati menaruh kedua lengan di dadanya, bersedekap. Bupati bergumam, “Hai, Batu! Jika kamu ada penunggunya, coba datangkan banjir supaya seluruh warga yang menangkap ikan pada lari ke darat!!”
Sesudah berkata demikian lantas Bupati dan asistennya pergi dari batu itu menuju ke dalam Desa Buluheun. Sekonyong-konyong langit gelap dan turun hujan angin. Terdengar suara gemuruh air banjir dari hulu sungai sehingga semua orang yang menangkap ikan kaget dan berlarian ke daratan. Banyak orang kehilangan perkakas alat penangkap ikan karena tidak sempat terbawa. Akibat banjir besar itu, ikan-ikan yang dilempar ke ruyuk ikut hanyut terbawa ke tengah aliran sungai. Semua warga yang menangkap ikan sungai hanya bisa gigit jari. Di depan warga, Bupati berkata, “Seperti itulah buktinya! Manusia terlalu serakah karena mau hidup sendiri di dunia!”
***
Cerita banjir ini mungkin tidak memberikan penjelasan utuh bencana di masa lalu. Apalagi untuk rujukan mencari tahu dampak luas tentang kondisi banjir Sungai Ciujung pada masa kekuasaan Belanda di Lebak. Ada banyak teks lainnya yang saya dapat dari Koran De Banten-Bode (1928-1930), bisa menjadi penelitian khusus tentang fungsi dan kegunaan Sungai Ciujung. Koran-koran yang diterbitkan orang Belanda di Banten itu tersebar ke beberapa distrik. Selain menjadi distribusi informasi dan menjadi alat propaganda, dampaknya besar ke persoalan kemanusiaan hingga ekonomi dan politik. Biasanya, mereka merekrut dan mempekerjakan kaum pribumi untuk menulis di koran sebagai laporan atas situasi di pedalaman.
Terbitan koran De Banten-Bode juga memberikan kolom khusus untuk para Bupati di daerah Banten. Diantaranya temuan teks surat terbuka Bupati Lebak terpilih, Gondosapoetro, saat itu. Isi tulisannya memberikan puja-puji setinggi langit kepada Ratu Welhelm dan pemerintahan Belanda di Banten. Masih dalam tulisannya, menceritakan bencana banjir Sungai Ciujung tahun 1929. Banjir menimbulkan banyak penyakit dan kehancuran lahan-lahan perkebunan dan persawahan. Penderitaan masyarakat Banten semakin parah karena pemerintahan yang berkuasa malah menaikkan pajak tinggi. Pemerintahan Belanda sendiri sudah berusaha mengendalikan sungai dengan membuat bendungan di Pamarayan tahun 1905. Usaha ini belum cukup berhasil karena debit air semakin besar dan tak terkendali kala musim hujan datang di tiap tahunnya.
Di sisi lain, Pemerintah Belanda melihat fungsi lebih perairan atau sungai-sungai di Banten, khususnya Ciujung, Lebak, dengan berusaha mempercepat dan membuat pilihan lain pengangkutan hasil bumi dari Lebak ke pelabuhan Banten. Kemudian, membuat sistem-sistem angkutan barang dari Lebak menuju pelabuhan dengan membuat jalan darat yang panjang dan lebar. Meskipun demikian, karena tidak mungkin semua barang-barang hasil bumi diangkut lewat jalur darat, maka dibuatlah alternatif untuk memperluas jalur angkutan darat dengan membuat perahu-perahu kecil yang berfungsi melintasi perbukitan dan menelusuri aliran sungai masuk ke Lebak. Akan tetapi persoalan arus sungai yang tidak terkendali di musim hujan dan kemarau, membuat kesulitan pengangkutan yang kemudian menjadi tantangan serius yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh Belanda.
Pengetahuan dangkal saya yang masih rapuh atas bacaan buku sejarah teks Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Denis Lombard, Claude Guillot, dan Husaen Djayadiningrat, membuat saya belum menemukan sumber teks yang secara khusus melakukan penelitian sejarah tentang fungsi Sungai Ciujung pada masa penjajahan dan sebelumnya. Penilaian saya soal keuntungan difungsikannya aliran Sungai Ciujung sebagai jalur angkutan pada masa penjajahan Belanda, bukan hanya mengurangi beban biaya angkutan jalur darat, tetapi juga lebih kepada gagasan bahwa menggunakan jalur air sudah ada dari jaman kerajaan Banten.
Dengan segala keterbatasan, pengendalian Sungai Ciujung harusnya menjadi pekerjaan rumah Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi Banten. Akan tetapi, faktanya, kadang kedua belah pihak saling menunjuk hidung masing-masing. Sementara Bendungan Pamarayan menjadi satu-satunya bendungan untuk mengendalikan sungai, tetapi beberapa tahun belakangan debit Sungai Ciujung sering diambang batas kapasitas daya tampung bendungan yang mengakibatkan bencana datang tiap tahun. Ditambah lagi pemerintahan Banten yang tidak memiliki alat ukuran pasti mengenai ketinggian air laut pada saat curah hujan di hulu sungai yang tinggi. Persoalan banjir tahunan terkadang memakan korban jiwa, harta benda dan kerusakan parah. Arus sungai merusak apa saja yang dilewati, seperti bidang tanah, pepohonan, jembatan, saluran irigasi hingga rumah di tepian sungai. Suara gemuruh air banjir pada malam hari bisa terdengar bergemuruh menyerupai suara mesin pesawat.
Meringkas keterangan dari tesis yang disusun oleh Rizal Zaenal Mutaqin dalam Kajian Pengendalian Banjir Das Ciujung, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2014, permasalahan banjir pada Sungai Ciujung telah tercatat sejak tahun 1977 dan sampai dengan saat ini. Dalam dekade terakhir pada tanggal 13-15 Januari, 2012. Pada masa Pemerintahan Soeharto, sungai Ciujung menjadi perhatian khusus Pemerintahan Pusat. Satu-satunya bendungan yang dibangun Belanda di Pamarayan dibangun ulang. Sedangkan bangunan bendungan sebelumnya dijadikan cagar budaya. Posisi Bendungan Pamarayan berada di batas administrasi Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang. Antara Kota Rangkasbitung dan Kecamatan Kragilan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan irigasi dan air baku serta difungsikan sebagai sistem peringatan dini terhadap banjir.
Beberapa proyek pembangunan irigasi dibangun di beberapa pelosok daerah Lebak yang berdekatan dengan anak sungai. Kegunaan irigasi ini selain mengurangi debit air yang mengalir ke Sungai Ciujung, juga untuk mengairi sawah. Setelah pergantian kekuasaan, proyek ini berhenti dan bangunan irigasi menjadi terbengkalai. Banjir besar pada Bulan Januari 2012 menjadi ulasan terbanyak media lokal di Banten, seperti Kabar Banten dan Radar Banten. Dua koran Grup Pikiran Rakyat dan Jawa Pos ini menjadi banjir langganan redaksi tiap tahun. Isinya sangat beragam, mulai dari yang disebabkan oleh meluapnya tiga anak sungai utama, di bagian hulu, hingga tentang korban banjir. Tak jarang, koran-koran tersebut menulis ulasan meruncing pada penilaian siapa yang harus bertanggung jawab, siapa yang disalahkan. Tak jarang juga, mereka menyinggung melalui pendapat, karena kesalahan masyarakatnya sendiri, pemerintah, pengusaha, sampai kekeliruan pengelolaan daerah aliran sungai. Dampak yang nantinya akan merambat, menjadi persoalan kesehatan, ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan budaya lokal skala daerah yang tak kunjung selesai.
***
Ketika saya mengklarifikasi persoalan proyek relokasi pemukiman tepian Sungai Ciujung ke Pemerintah Lebak, ternyata hanya ada dua lembaga dari sekian banyak lembaga yang terlibat dalam proyek tersebut, yang mau bertukar informasi. Kedua lembaga yang mau memberikan keterangan tersebut adalah BAPEDA (Badan Pemerintahan Daerah) dan Dinas Perairan Lebak. Mereka meminta saya untuk tidak memuat data-data proyek dalam tulisan. Keterangan lisan saya dapat dari salah satu pekerja Dinas Perairan, bahwa rencana proyek ini sudah pasti dan targetnya akan selesai pada tahun 2017. Keterangannya seolah-olah ingin memastikan saya supaya percaya pada apa yang ia jelaskan itu baik untuk masyarakat Lebak.
“Nanti, orang-orang yang datang dari Jakarta ke Lebak yang menggunakan kereta api akan melihat dengan jelas pemandangan tepian dan Sungai Ciujung yang indah dari Stasiun. Peraturannya, kan sudah jelas, 20 meter dari tepian sungai tidak boleh mendirikan bangunan. Kami sudah melakukan pengukuran lahan gusuran tiap tahunnya, menanam patok. Kadang, kita sesama manusia merasa sedih mendengar pendapat cerita di lapangan. Bayangkan saja, seorang kakek bicara dan bertanya kalau tempat ini dulunya ditakuti warga, banyak ular dan setannya. Jangankan membangun rumah, melewatinya saja orang sudah takut karena angker dan seram. Kenapa pemerintah membiarkan saja pemandangan tepian sungai tidak terurus puluhan tahun? Giliran tempat ini bersih dan nyaman untuk dilewati bahkan ditinggali, eeh… kami malah diusir,” cerita salah satu pekerja Dinas Perairan Lebak.
Di tempat terpisah, pekerja BAPEDA memberikan keterangan di kediamannya, “Daerah pemukiman warga sepanjang bantaran Sungai Ciujung akan direlokasi ke rumah susun yang akan disediakan Pemerintah. Rencananya, proyek ini sudah lama dan harusnya sudah dimulai pada masa jabatan Bupati Jaya Baya. Prosesnya tertunda karena butuh kajian sosial dan dampak lingkungan mendalam. Kendalanya bukan perihal persetujuan warga, tetapi tentang adaptasi budaya di kita yang terbiasa memiliki rumah dan tanah kepemilikan. Bukan perkara gampang membiasakan tinggal di rumah susun. Ada banyak pergeseran perilaku dan kebiasaan nantinya. Kita ini daerah bukannya metropolitan. Ide proyek ini bukan asal bangun dan asal pindah rumah saja, tetapi bagaimana menata kota dengan baik. Pemerintah tidak ingin terulang lagi pengalaman relokasi yang ujung-ujungnya warga pindah dan membangun rumah lagi di tepian Sungai Ciujung. Set plan proyek ini untuk kepentingan masyarakat Lebak juga, kok! Kalau kotanya bagus, rumahnya rapi dan sungainya bersih, siapa yang diuntungkan?”
***
_________________________________
Sumber kutipan:
De Banten-Bode, 1920_11_Januari _No.02_7e JAARGanG_Hal.03_Kol.03
De Banten-Bode, 1930_01_Agustus _No.31 _7e JAARGANG_Hal.02_Kol.4-5
Kajian Pengendalian Banjir Das Ciujung , Rizal Zaenal Mutaqin, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2014, di unggah oleh http://etd.repository.ugm.ac.id/
http://kabar-banten.com/
http://www.radarbanten.com/
Sumber Foto
http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/grid/form/advanced?q_searchfield=Rangkasbitoeng
http://collectie.tropenmuseum.nl/default.aspx?lang=en
Arsip Koran Lama_Perpustakaan Nasional