Di sepanjang halte tersebut terdapat beberapa orang yang bermukim, salah satunya Pak Buang. Bapak dari sembilan orang anak ini awalnya berprofesi sebagai tukang becak, tetapi saat ini ia sudah tidak bisa mengayuh becak lagi karena kondisi fisik yang termakan umur. Kini ia hanya beraktivitas di pinggir jalan depan Jembatan Merah Plaza, Surabaya, sambil membuka lapak tambal ban di sana.
Tinggal dan menetap di sepanjang halte tersebut merupakan sebuah kenikmatan tersendiri bagi Pak Buang dan keluarga. Kebersamaan hidup secara berdampingan adalah modal awal keluarga Pak Buang yang telah bertahan sejak tahun 1970.
Ketika saya berkunjung ke tempat itu, nampak istri Pak Buang sedang asyik menguliti bawang merah untuk dijual di Pasar Pabean ketika malam hari nanti. Sementara itu, cucu–cucu Pak Buang sedang asyik bermain dan bersenda-gurau satu sama lain di sepanjang trotoar halte. Walaupun sore itu cuaca sangat panas, saya tetap seru melanjutkan obrolan bersama Pak Buang, rekan saya pun asyik dengan kameranya untuk memotret wajah–wajah ceria yang muncul dari cucu–cucu Pak Buang.
Biasanya halte ini sepi dan ramai pada jam–jam tertentu, yaitu ketika banyak orang menunggu dan turun dari bus atau angkot yang ditumpanginya. Namun, sekarang keadaan sudah berubah. Halte tersebut kini menjadi tempat para pedagang berjualan bunga dan keperluan tanam–menanam lainnya. Nampak banyak sekali pedagang yang memajang barang dagangannya untuk ditawarkan ke calon pembeli yang turun dari bus dan angkot, atau kepada pejalan kaki yang melewati halte tersebut. Ada pula yang berjualan helm dan membuka warung.
Kalau hari sudah menjelang sore, anak laki-laki Pak Buang bersama teman–temannya asyik bermain air di sungai sambil mencari ikan untuk dimasak bersama keluarga. “Lumayan Mas, buat lauk makan keluarga,” kata Pak Buang sambil tertawa.
Awalnya Pak Buang sempat takut ketika saya berkunjung menemuinya, karena dulu sering sekali ia didatangi oleh orang–orang yang tidak dikenal dan mencari informasi mengenai beliau. Lalu beberapa hari kemudian sejumlah aparat dari pemerintah kota mengobrak-abrik dan mengusir kediamannya secara tiba–tiba dan tanpa pemberitahuan awal. Tapi ia tetap sabar menjalaninya dan kembali bermukim di tempat tersebut.
Ketika malam hari Pak Buang dan keluarga nampak kompak dalam menata ruang tidur. Tempat tidur yang mereka pakai adalah tempat parkir biro jasa kepemilikan tanah yang ada di sebelah kiri halte menuju ke arah Tugu Pahlawan, Surabaya. Meskipun beberapa anak Pak Buang sudah berkeluarga dan mempunyai tempat tinggal sendiri, terkadang sebagian cucu–cucu Pak Buang sering kali tidak mau pulang dan senang tidur bersama di tempat itu.
Di bagian belakang tempat tinggal Pak Buang terlihat dapur yang biasa dipakai untuk masak-memasak. Karena tempatnya yang menjorok ke sungai, maka sangat terlihat sampah atau limbah cucian yang berserakan di situ. Di seberang dapur terlihat truk-truk besar sedang bongkar-muat barang dan ke luar masuk gudang.
Tepat di sebelah kiri tempat Pak Buang bermukim terdapat tempat parkir yang sering ramai ketika orang–orang datang untuk menitipkan motor sebelum berangkat kerja, karena kebanyakan orang-orang tersebut bekerja di luar Kota Surabaya seperti Gresik, Lamongan, Babat, dan sebagainya. Mereka menitipkan motornya di situ untuk kemudian naik angkot maupun bus sesuai dengan tujuan yang diinginkan, mungkin untuk menghemat tenaga dan biaya.
Hingga kini Pak Buang masih menghabiskan waktunya bersama keluarga untuk tinggal di bawah halte tersebut. Entah sampai kapan mereka bertahan dan mempunyai keinginan untuk pindah ke tempat lain.
Selamat berjuang, Pak…!
Membaca kemiskinan dan ditulis dengan optimis begini sangat menggugah…Saya sangat senang…semoga kawan-kawan akumassa lainnya dapat menuliskan ‘aku-aku’ lainnya…yang selama ini tidak pernah dilihat sebagai bagian dari kita oleh media arus besar. Selama Yoyo…good writing.
kita selalu mencoba untuk merekam ketidak keterlihatan itu,, karena surabaya sangat perlu untuk dilihat dan diperlihatkan ,, 🙂
iya bang,
mksh byk bang hafiz.