Akan tetapi, dorongan dalam mengungkapkan gambaran-gambaran mengenai realitas dengan cara berbeda-beda, dan juga terdapatnya pandangan-pandangan yang bersifat ke-aku-an, dapat menimbulkan penolakan terhadap pandangan mengenai representasi realitas itu sendiri. Sebab, pada dasarnya prespektif setiap individu akan berbeda dalam membaca dan menyaring gambaran-gambaran setiap persoalan.
Namun demikian, media tanpa disadari telah berada pada tingkat kemapanan tertentu. Dalam arti kata, media dapat mengaburkan perspektif setiap individu dalam membaca persoalan-persoalan sosial karena sifatnya yang dapat memanipulasi ruang, waktu dan hal-hal yang sangat kontekstual. Hal inilah yang dimanfaatkan individu maupun kelompok dalam menegaskan keinginan dan menyebarluaskan pandangan-pandangan, yang nantinya akan membentuk suatu pemahaman yang tunggal (satu arah).
Teknologi sebagai alat (medium) dapat membentuk pemahaman tunggal dan juga bisa sebaliknya. Maksud dari kata ‘sebaliknya’ bukan pada pertentangan dari sebaran gambar-gambar yang sarat akan pemahaman tunggal, tetapi bagaimana menempatkan pandangan pada tafsir yang horizontal. Berbagi dan saling membaca persoalan tanpa mengedepankan konflik atau keinginan individu, seperti wahana bermain di taman bermain, yang mana semua orang dengan bebas bersuara dan mengakses setiap detil wahana tersebut. Menempatkan teknologi sebagai wahana, seperti bagaimana kita menempatkan diri pada begitu banyak persoalan dan peristiwa.
Pelacakan (melihat), pencetakan (memori) dan pendistribusian (sebaran) dengan gampang dilakukan dengan teknologi media. Sebagaimana yang terjadi pada wahana, bagaimana kita melihat, mengingat dan menceritakan ulang kepada orang lain.
Sebagai contoh, teknologi telepon seluler (ponsel) mempunyai kemungkinan melakukan ketiga hal tersebut. Dengan tersedianya kamera berukuran kecil pada teknologi tersebut, ‘kita’, pengguna, sangat dimudahkan dalam melihat peristiwa, mendokumentasikan dan berbagi informasi mengenainya. Tumpukan data di dalam kartu penyimpan, baik internal maupun eksternal, tanpa disadari menjadi rekaman peristiwa yang sangat penting dalam membaca lingkungan kultural dan dengan segala bentuk perubahannya.
***
Kecendrungan pemotretan secara naluriah menjadikan hasil lebih objektif. Hal ini sangat terlihat dari hasil pemotretan yang dilakukan anak-anak (usia 4 hingga 12 tahun), ditandai dengan ciri visualnya, yaitu pilihan membuat bentuk dan warna. Bahkan, pilihan tema atau pokok bahasan yang bersumber dari peristiwa setempat. sangatlah ditentukan melaui perasaan mereka saat itu.Cara anak-anak merepresentasikan imajinasi ke dalam gambar hasil pemotretan, bersumber dari lingkungannya melalui jalan menghidupkan memori atau daya ingat. Dengan kata lain, lingkungan kultural inilah yang secara semiotis diserap oleh anak-anak dan menjadi bahasa atau gaya ungkap visual.
Menyerap, melihat dan mengolahnya dalam bentukan imajinasi yang pada akhirnya dicetak dalam bingkai-bingkai kamera, menjadikan objek pemotretan oleh anak-anak terlihat sangat unik. Sebab, tingkat kesadaran anak-anak akan tangkapan mengenai peristiwa sangat berbeda dengan orang dewasa, yang pada dasarnya sangatlah konstruktif. Perlakuan terhadap kamera dan tangkapan oleh anak-anak tidak terpaku pada hal-hal yang menjadi dasar dari fotografi itu sendiri.
Pameran Fotografi Karya Anak-anak Paseban yang dilaksanakan di Kelurahan Paseban, 7 November 2013—sebagai hasil dari workshop fotografi oleh akumassa ad hoc, 25-28 Oktober 2013—adalah representasi dari tangkapan fotografis oleh anak-anak Paseban dalam melihat kampung (lingkungan kultural) mereka. Kolaborasi antara para pendamping (tim akumassa ad hoc) dan anak-anak peserta workshop berlangsung dalam proses pembuatan karya foto dan penataan presentasi karya, yang mana kegiatan tersebut menjadi aksi pertunjukan sebagai bagian integral dari karya seni fotografi dalam pameran ini.
Pameran Fotografi Karya Anak-anak Paseban adalah narasi atau kepingan peristiwa dan objek-objek yang tertangkap secara naluriah melalui tangkapan fotografis. Bermain-main dengan medium dan tidak terpaku dengan bingkaian yang konstruktif adalah ciri teknis yang dikedepankan atau tanpa disadari menjadi spesifikasi dari anak-anak pada pameran ini. *
Tulisan ini sudah dimuat di dalam Jurnal Akumassa Ad Hoc, berjudul “Seni di Batas Senen” (Forum Lenteng, 2013). Jurnal tersebut merupakan salah satu karya hasil kolaborasi para penulis dari beberapa komunitas yang terlibat dalam proyej akumassa ad hoc yang diinisiasi oleh Program akumassa Forum Lenteng, dalam rangka berpartisipasi dalam Jakarta Biennale 2013 – SIASAT.