Saya sempat mendapat pertanyaan terkait pasal mana yang paling berbahaya dalam RKUHP yang hendak disahkan itu. Namun pada esensinya, seluruh keresahan masyarakat yang tertuang dalam aksi adalah valid, saya tidak dapat memilih mana yang paling penting atau genting. Hanya saja, saya pribadi memang menitikberatkan penolakan saya pada sejumlah pasal. Melalui catatan ini, saya akan bercerita sedikit mengenai hal itu.
Kurang lebih begini: Secara umum, ketika kita hendak membuat KUHP baru, seharusnya prinsip yang paling dasar yang perlu disadari oleh para anggota dewan ialah membuat KUHP yang lebih baik ketimbang KUHP yang diwariskan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Barangkali terdengar klise, namun sepenting itulah posisi kesadaran dalam upaya merevisinya. Kita tahu bahwa bahkan di Kerajaan Belanda sendiri kitab serupa sudah diubah secara signifikan, menyesuaikan konteks zaman dan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan. Begitu terlambat, memang, upaya revisi terhadap KUHP dilakukan di Indonesia. Namun, tak berarti semangat anti kolonialisme, yang menjadi salah satu landasan dari upaya ini, kemudian disalahpahami pada nilai-nilai keindonesiaan yang salah diterjemahkan sebagaimana yang dilakukan oleh Panitia Kerja RKUHP. Kesalahan terjemahan ini membuat RKUHP menjadi berbahaya, terkhusus pada perkembangan ilmu pengetahuan dan kritisisme publik.
Lantas apa yang membuat RKUHP ini berbahaya? Adalah ia, sebagai produk hukum, bukan saja tidak lebih baik ketimbang pendahulunya, namun jauh lebih buruk dari yang sudah ada. Bahkan, melaluinya kita dapat melihat perkembangan tentang ide-ide dan bentuk kolonialisasi yang lebih kontemporer. Melihat kembali KUHP yang sudah ada, kita sudah tahu di dalamnya terkandung sejumlah pasal yang bermasalah. Bermasalah dalam arti ia menimbulkan kerugian bagi publik dalam sejumlah aspek kehidupan bermasyarakat. Dalam draft RKUHP yang telah tersebar di masyarakat, pasal-pasal semacam ini tidak lantas dihapuskan. Sebut saja yang terkait dengan pembatasan ide, terkait dengan marxisme, komunisme, dan leninisme. Mengapa itu merugikan publik? Begitu jelas pasal ini membatasi kebebasan warga untuk melakukan kegiatan-kegiatan ilmiah, menutup keran kebebasan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, bahkan pada taraf yang paling dasar: membaca. Bias dan kesalahan logika paling umum dalam perspektif negara dan aparaturnya ialah, bahwa, jika kita mendukung sirkulasi ide dan pengetahuan akan ideologi tertentu, lantas kita dilabel sebagai pendukung dari ideologinya, salah sama sekali.
Pasal lain yang bermasalah adalah yang terkait dengan penodaan agama, namun saya akan jelaskan kemudian. Ini hanya sebagian kecil sebagai contoh saja. Pasal-pasal ini, secara teoretis maupun praktikal sudah diketahui bermasalah, sudah diketahui merugikan publik, namun mereka tetap ada di RKUHP. Menjadi lebih mengerikan jika kita melihat pasal-pasal yang baru untuk ditambahkan. Misalnya, perluasan terkait perzinaan. Pertama, persoalan urgensi; apa urgensinya tiba-tiba pasal perzinaan diperluas…? Saya mengambil contoh pasal yang kurang-lebih menyatakan bahwa orang yang melakukan aktivitas seks di luar nikah bisa dilaporkan oleh orang tuanya, atau oleh anaknya, jika orang tua mereka sudah bercerai. Sebelumnya, pasal perzinaan hanya mengikat orang yang sudah menikah. Jadi, kalau salah seorang di antara sepasang suami-istri berselingkuh, dapat dianggap zina dalam definisi hukum pidana kita. Namun kini, setiap orang, siapa pun, seorang lajang dengan lajang lainnya yang sudah dewasa, yang melakukan consensual sex di luar nikah, dapat pula dipidana atas aduan dari orang tua. Pasal ini begitu konyol karena negara gagap dalam komitmennya untuk memisahkan urusan di ruang publik dan ruang privat.
Dari sedikit contoh di atas, kemudian kita dapat menduga, apa yang diakomodasi oleh RKUHP ini. Tentu di antaranya, tak lain, ialah intervensi individu lain kepada pilihan hidup individu lainnya. Orang tua lantas dibenarkan secara hukum untuk mengintervensi kehidupan seks anak-anaknya. Saya perlu menekankan bahwa kata “anak” yang sedari tadi saya gunakan adalah anak yang sudah dewasa. Artinya, beda dengan definisi “anak” menurut Undang-Undang lain, misalnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tentu kasusnya berbeda jika seseorang termasuk dalam kategori usia “anak”. “Anak” dalam definisi hukum tersebut mungkin belum bisa memutuskan untuk dirinya sendiri dan lain sebagainya sehingga kemudian kita mengenal terminologi “kejahatan terhadap anak” dan semacamnya. Di sini, kita tengah membicarakan tentang anak dalam kategori usia dewasa. Bayangkan saja, manusia dewasa, usia 25, 30, 40 tahun, bisa diintervensi oleh orang tuanya.
Kita ingat pernyataan dari Atiatul Muqtadir, Presiden BEM UGM di acara Indonesia Lawyers Club, 24 September 2019 malam silam, bahwa dalam demokrasi, kita seharusnya menghasilkan hukum yang responsif dengan tiga kriteria: partisipatif, aspiratif, dan presisi. Kemudian, saya bertanya, apa yang hendak direspons oleh sejumlah pasal karet di RKHUP ini? Tidak ada. Justru, mereka hanya menambah permasalahan baru dengan mengakomodir pemikiran-pemikiran di masyarakat yang jelas-jelas harus diubah. Paradigma di sebagian masyarakat kita yang begitu bergairah untuk mengintervensi kehidupan individu seharusnya perlu diubah. RKUHP, bagi saya, malah semakin mengakomodasi nilai-nilai masyarakat yang intervensionis terhadap pilihan hidup individu itu. Terkait pula dengan definisi yang secara spesifik menyebut bahwa “dua orang” yang melakukan seks di luar nikah, maka secara tak langsung turut menjerat seorang homoseksual sebagai subjek hukumnya. Secara yuridis, homoseksual tidak bisa menikah di Indonesia. Artinya, ini juga merupakan kriminalisasi kepada seks sesama jenis, sekaligus. Ketika mereka dilaporkan orang tuanya, mereka bisa dipidana. Tidak hendak menggeneralisasi situasi di Indonesia, namun kita begitu sadar bahwa orang-orang tua di Indonesia, sebagai bagian dari dampak struktural, tidak mendapat edukasi yang cukup perihal seks dan gender. Dampaknya, menjadi sangat mudah bagi orang tua sekarang untuk mengintervensi, bahkan mem-persekusi anaknya sendiri, yang dalam pemahamannya dianggap menyimpang. Tak lelahnya saya menyampaikan kembali bahwa, secara saintifik, homoseksualitas hanyalah varian preferensi seksual secara biologis saja.[1]Lihat International Classification of Diseases, 11th Revision yang diterbitkan oleh WHO.
Berdasarkan paparan di muka, lantas kita bisa menduga bahwa spirit yang dikandung oleh RKUHP ini cenderung “anti-sains.” Sepengetahuan saya, ini adalah kemenangan kaum konservatif terbesar dalam sejarah Indonesia. Terang bagi saya langkah revisi KUHP ini memukul mundur peradaban dalam konteks kritisisme dan ilmu pengetahuan. Bukan sebaliknya.
Pasal Penodaan Agama
Sekarang, secara khusus saya akan memaparkan pandangan saya mengenai pasal penodaan agama dan mengapa pasal ini menjadi perhatian utama saya sebagai individu. Sebelumnya, perlu saya tegaskan dulu bahwa, menurut amatan saya, dalam proses berlangsungnya demonstrasi kemarin, semua massa aksi sepakat untuk menolak pengesahan RKUHP, namun setiap orang punya perhatian yang mungkin berbeda terkait pasal-pasal yang ada di dalamnya. Akan tetapi, dengan memperhatikan secara seksama sajian visual di hadapan saya, secara umum yang menjadi gelombang besar ekspresi, jika dilihat dari poster-poster yang diusung di tanggal 24 kemarin, memang perihal intervensi ruang privat. Hal-hal yang terkait dengan kohabitasi, seks di luar nikah, juga terkait dengan edukasi seks dan kesehatan reproduksi. Intinya, pasal-pasal seputar hal itu, seperti saya, orang-orang punya perhatiannya masing-masing dan intinya sebagian besar massa menuntut perbaikan atas RKUHP.Mengapa saya fokus pada pasal terkait penodaan agama? Dalam bacaan saya, pasal penodaan agama sudah terbukti berulang kali merusak iklim kebebasan ilmu pengetahuan. Di antara yang lain, ilmu pengetahuan senantiasa berbasis pada kritik, falsifikasi, dan kebebasan untuk mendialog-kan apa saja. Jika kita merefleksi kasus terdahulu, di mana letak permasalahannya? Permintaan Meliana untuk mengecilkan volume pengeras suara sebuah masjid di Tanjungbalai Kota I pada Juli 2016 silam, misalnya, adalah sebuah kritik. Tapi apa yang terjadi? Atas kritiknya, ia dipidana dengan tuduhan penodaan agama. Jauh sebelum itu, akibat laporan terkait sebuah hasil jajak pendapat yang diterbitkan di Tabloid Monitor edisi 15 Oktober 1990 yang berjudul “50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca,” Arswendo Atmowiloto dipenjara 5 tahun. Padahal, survei yang dilakukannya adalah sebuah aktivitas intelektual, mencari data, observasi, lumrah dalam konteks ilmiah. Lebih lawas lagi, sebuah cerpen berjudul “Langit Makin Mendung” yang diterbitkan Agustus 1968 di majalah Sastra membuat HB Jassin sebagai penyuntingnya dipenjara 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun.[2]Lihat artikel yang diterbikan oleh Tirto.id berjudul Mereka Dipenjara Karena Didakwa Menista Agama Ini begitu mengkhawatirkan, orang membuat karya sastra, karya literatur, seharusnya punya kebebasan untuk mendialog-kan apa saja. Jadi, sudah berkali-kali terbukti bahwa pasal penodaan agama menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.
Kasus yang paling kontemporer, sebuah karya ilmiah yang mulai dituduh dan dinarasikan sebagai aksi penodaan agama adalah disertasi karya Abduh Aziz, yang sempat menjadi kontroversi. Narasi terkait ini di antaranya digaungkan oleh Politikus PKS, Al Muzzammil Yusuf, seorang anggota DPR RI Fraksi PKS; dia mengatakan bahwa disertasi itu adalah virus dan bentuk penistaan agama berkedok ilmiah yang melegalkan hubungan seks di luar nikah. Narasi-narasi “anti-sains” semacam inilah omong kosong yang seharusnya sudah tak perlu lagi hadir jikalau kita hapus pasal penodaan agama. Namun, bagaimana kenyataannya? Di RKUHP, pasal ini tetap ada.
Sejumlah pasal yang telah saya singgung sama sekali tak mencerminkan upaya pencerdasan bangsa. Sebab apa? Kritisisme tidak mendapatkan tempat yang semestinya dalam arena pertarungan wacana kita. Itu mengapa saya mengusung poster dengan teks bertuliskan “RKUHP dapat mengkriminalisasi pengajaran sains dan logika.” Bagaimana tidak? Contoh serampangan saja, jika pasal penodaan agama tetap ada dan suatu hari kita bicara kencang-kencang tentang teori evolusi, apa kita tak akan dituduh melakukan aksi penistaan terhadap agama?
Yang juga absurd adalah pasal yang menyatakan bahwa setiap orang dapat dipidana penjara jika dianggap menghasut orang lain yang kemudian berakhir pada peniadaan kepercayaan orang tersebut pada agama yang sah di Indonesia. Ini aneh sekali. Dan persoalan sains ini bukan hanya yang berkaitan dengan teori evolusi, jika kelak kita bicara sesuatu dari perspektif historis-kritis dan ia bertentangan dengan tafsir-tafsir agama yang selama ini diterima dan mapan, bisa saja dianggap melakukan penistaan. Selain itu, bagaimana kepercayaan baru yang hendak berkembang? Lagi, perlu saya tegaskan, bukan berarti saya bagian dari mereka, namun saya berhak bicara tentang hak-hak mereka, jika ada orang yang berkehendak membuat agama baru semacam Lia Eden tempo lalu, yang dengan konsep keagamaannya sendiri lantas menyebut dirinya sebagai nabi, maka jadilah dia auto-penista. Maka, keganjilan yang dikandung RKHUP bukan hanya berbahaya bagi sains dan logika, sebetulnya. Akan tetapi, juga bagi keberagaman pada umumya; dia membatasi semua ruang gerak keberagaman ide, keberagaman ekspresi dan kepercayaan, keberagaman ekspresi dan pemikiran. Di sinilah letak kolonialisme pada level pemikiran yang berkedok pada nilai-nilai keindonesiaan. Sejumlah pasal yang anti-sains dan perkembangan ilmu pengetahuan mutlak harus dihapuskan.
Sebagai penutup dari catatan ini, saya hendak menegaskan beberapa ide pokok. Bahwa, semua dimulai dari pikiran, jika kebebasan berpikir dibatasi, menurut saya, inilah yang paling berbahaya. Semua masalah berawal dari pola pikir. Lantas, bagaimana bisa mengubah pola pikir jika kritik-kritik yang mungkin mengubah itu serta merta dikriminalisasi…? Maka selesai sudah, kita akan stuck dengan status quo yang ada, dengan nilai-nilai yang sudah kacau ini, yang sudah salah kaprah ini, dan tidak bisa dikritik, tidak bisa diperbaiki. Sedangkan, lagi-lagi, dalam sains, fondasi dari segala macam dialog itu memang harus bebas dan segala sesuatu itu harus bisa difalsifikasi. Baik KUHP maupun RKUHP membuat agama memiliki imunitas dari dialog intelektual ini.
Berikut saya sertakan sebuah konten di akun Instagram saya:
Ketika supremasi pemerintah, agama-agama besar, dan nilai-nilai arus utama sudah di depan mata, hanya ada satu kata: LAWAN! (*)
___
Editor: Dhuha Ramadhani dan Manshur Zikri
Footnote
1. | ⇑ | Lihat International Classification of Diseases, 11th Revision yang diterbitkan oleh WHO. |
2. | ⇑ | Lihat artikel yang diterbikan oleh Tirto.id berjudul Mereka Dipenjara Karena Didakwa Menista Agama |