Daerah-daerah terpencil di hulu Sungai Ciujung merupakan penyumbang bambu betung terbesar di Rangkasbitung. Daerah seperti Cimarga, Gunung Kencana dan Sajira tiap bulannya mengirim ratusan bambu ke Rangkasbitung melalui Sungai Ciujung. Selanjutnya, sebagian dibawa truk ke daerah Jakarta dan sekitarnya, dan sebagian lagi dipasarkan ke Serang juga melalui Sungai Ciujung melewati Pamarayan dan Keragilan. Bambu yang dijual beragam jenis, disesuaikan dengan permintaan industri kecil dan menengah di luar Kota Rangkasbitung. Pohon-pohon bambu tumbuh subur di sepanjang tepian Sungai Ciujung, Ciberang dan Cisimeut. Untuk kedua kalinya, setelah tahun 2008, kali ini saya kembali menelusurinya.
Jejak tumbuhan ini dipercaya, menurut beberapa catatan tafsiran sejarah, memiliki keterkaitan dengan nama kota di Lebak. Dalam catatan Wikipedia, bambu tumbuh dengan cara menyebarkan perakaran di bawah tanah. Persebaran bambu ini bisa sangat luas, dan jika tidak dikendalikan bisa menyebabkan tunas tumbuh di tempat yang tidak diinginkan, bahkan berpotensi invasif. Seberapa luas perakaran bambu menyebar ditentukan oleh jenis tanah dan iklim setempat. Bambu merupakan tanaman jenis rumput-rumputan dengan rongga dan ruas di batangnya. Bambu memiliki banyak tipe. Di dunia ini, bambu merupakan salah satu tanaman dengan pertumbuhan paling cepat. Karena memiliki sistem Rhizoma-dependen unik, dalam sehari bambu dapat tumbuh sepanjang 60 cm (24 inchi) bahkan lebih, tergantung pada kondisi tanah dan klimatologi tempat pohon bambu ditanam. Catatan tentang daerah Rangkasbitung sebagai penghasil bambu, tahun demi tahun, berlalu. Dalam kenyataannya, bambu yang tumbuh di sepanjang tepian Sungai Ciujung adalah jenis pohon satu-satunya yang bisa menahan erosi, tetapi perlahan-lahan berubah menjadi pemukiman baru. Di masa depan kelak menyebabkan air sungai mengikis daratan-daratan di tepian sungai dengan mudahnya. Itulah yang terjadi kini di Rangkasbitung.
Pohon-pohon bambu yang menjulang tinggi tumbuh di bagian atas tepian dan sisi-sisi curam bertanah merah rawan longsor di Sungai Ciujung. Pada bulan yang basah tiba, hujan yang turun lebih sering biasanya akan melebatkan pohon bambu. Sementara, pada bulan kemarau, membuatnya sedikit layu. Akan tetapi debit Sungai Ciujung yang luas menyelimuti bentang kota Rangkasbitung menyelamatkan pertumbuhan bambu. Air di Sungai Ciujung dalam kendali penuh bendungan Pamarayan, membuat sungai di musim kemarau tetap stabil sehingga pertumbuhan pohon bambu relatif tidak bermasalah. Amatan saya tentang pemandangan kebun bambu yang tumbuh subur di tepian sungai bukanlah hal yang baru. Para penjual bambu kerap berbicara bagaimana alasan pertumbuhan pasar tetap stabil. Saya pun berkeinginan menelusuri titik-titik daerah penghasil bambu. Menemukan jawaban dari para petani bambu, bahwa usaha penjual bambu dari berbagai pelosok hulu sungai memiliki alas an: menjual pohon bambu dalam skala besar hanya untuk bertahan hidup, tidak lebih. Mereka paham rentang waktu kapan kebun bambu bisa ditebang atau belum. Kapan membuka kebun bambu atau menebangnya. Dari masa ke masa, tepian sungai tidak pernah kehilangan pohon bambu.
Bambu berdatangan sedemikian banyak ketika hari pasar tiba di Sungai Ciujung. Bambu dibawa melalui sungai-sungai kecil seperti tidak ada habisnya tiap minggu. Muara Sungai Ciujung menjadi lokasi pasar bambu. Biasanya, hari pasar datang tiga kali dalam seminggu: Selasa, Kamis dan Sabtu. Bambu yang mereka jual jumlahnya paling sedikit 200 batang. Biasanya, setelah ditebang, bambu langsung diikat menyerupai rakit yang kemudian dibawa melalui arus sungai. Penjual bambu biasanya butuh waktu berhari-hari untuk sampai di muara sungai Rangkasbitung, salah satu tempat yang menjadi titik transaksi bambu.
***
Bertemu Ki Rabin yang tak pernah mengeluh. Di daerah Cikidang, tempat peraduan Sungai Ciberang dan Cisimeut. Jaraknya kurang lebih 2 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Lebak. Saya mulai menelusuri tepian sungai, mencari tahu tempat pohon-pohon bambu tumbuh subur di sepanjang tepian sungai. Satu-satunya informasi yang saya dapat dari wawancara saya dan kawan Saijah 8 tahun lalu, bahwa biasanya bersamaan dengan hari pasar, akan banyak dijumpai penjual bambu di arah hulu sungai. Maka, sampailah saya di tempat peraduan sungai di daerah sentral, tepian Sungai Ciberang. Pagi itu, saya sudah hampir putus asa karena tidak menemukan penjual bambu yang sebelumnya sering saya lihat. Padahal, perjalanan saat itu bertepatan dengan hari pasar bambu. Saya menelusuri tepian sungai Ciberang sampai akhirnya terlihat tiga orang penjual bambu sedang sibuk menjatuhkan batang pohon bambu ke sungai.
Seorang kakek terlihat duduk di tepian sungai. Rokok kretek di bibir seperti tidak pernah habis. Baju koko menjuntai dipundaknya hingga ke pinggang, menutupi golok terikat kencang di pinggang. Ia sibuk melihat dua anak muda mengikat bambu yang mengapung di aliran sungai yang keruh dan tenang. Ia seperti merenungkan berbagai jenis bambu yang sudah ia pisah sesuai dengan jenis dan ukurannya. Sesekali ia berteriak, “Heh dak…awi bitung jeung awi mayan ulah dihijikeun nyah!” (Hei kalian.. bambu bitung dan bambu mayan jangan dicampur).
Ratusan batang pohon bambu berdenyit ketika diikat kedua ujungnya. Saya mulai mendekatinya, bertukar sapa dengan Ki Rabin. Saya sudah kenal beliau 8 tahun lalu saat saya pertama kali ke pasar bambu. Ki Rabin mengaku bambu-bambu yang sudah diikat itu ditebang dari kebun pribadi. Menurut pengakuannya, selain berkebun bambu di tepian Sungai Ciberang, ia memiliki sepetak sawah di daerah Sentral. Semua bambu miliknya dianggap kulitasnya bagus, menurut matanya sendiri. Di pasar bambu, dia akan mati-matian bernegosiasi dengan tengkulak. Disitulah ujung pembuktian apakah bambunya dianggap berkualitas baik atau jelek.
“Bambu-bambu yang berderet itu sepenuhnya diambil dari kebun bambu, tidak jauh dari sungai,” kata Ki Rabin. Kebun bambunya kini mulai sedikit. Ia sudah tidak mampu lagi menjual bambu. Keluarganya bukan orang kaya dan bukan pula orang yang miskin. Tinggal bambu itu saja yang ia miliki dan akan dijual.
Ki Rabin yang sudah berjualan bambu selama 30 tahun merasa masih sehat dan akan terus menjual bambu sebisanya. Usianya kini sudah 70 tahun lebih. Menurutnya, sebagai penjual bambu yang sudah tua, ia selalu dibantu anaknya untuk menebang bambu dengan sistem tebang pilih. Belum lama ini, Ki Rabin terbiasa mengurus sepetak kebun kacang tanah milik anaknya di tepian sungai. Ini adalah tugas sampingan setelah mengurus kebun bambu miliknya yang kian menipis. Ia tidak pernah sengaja menanam pohon bambu. Bambu tumbuh dengan sendirinya di sepanjang tepian sungai. Pertumbuhannya sangat cepat karena mendapat pasokan air dari sungai. Sungai Ciujung satu-satunya sumber air untuk pohon bambu selain air hujan. Jika tidak ada pohon bambu di tepian sungai maka sungai tersebut akan mengalir deras karena tidak ada penahan untuk mengendalikan arus sungai secara alami. Manipulasi pertumbuhan pohon bambu tersebut punya konsekuensi yang tidak diharapkan. Lama-kelamaan, bendungan Pamarayan bisa membuat tingkat salinitas meningkat. Kelak akan sebaliknya meracuni lahan basah dan mengubahnya menjadi tidak cocok untuk pertumbuhan bambu. Sementara, di Sungai Ciujung, hal itu tidak terjadi karena terus menerus tanah yang terseret sungai umumnya mengandung kesuburan tanah yang tinggi, terbawa dari pegunungan.
Ki Rabin hanya mengurus sawah dan kebun bambu setiap hari. “Sekarang saya jarang pergi ke pasar bambu karena sudah masuk musim panen padi”, ujarnya sambil berjalan menaiki bambu yang sudah siap jalan ke hilir sungai, meninggalkan pemandangan rimbun semak-semak lengang tepian sungai tanpa pepohonan.
Kelangkaan nyata pohon bambu untuk beberapa bulan ke depan yang terpampang di hadapan saya. Tak jauh dari bekas bambu yang di ikat Ki Rabin dan dua anak muda, terdapat sepetak kebun cabai yang tertimpa batang bambu. Jika pemiliknya melihat, pasti akan terjadi cekcok hebat dengan Ki Rabin. Tidak ada tempat yang pas untuk mengikat bambu sebelum dibawa melalui sungai. Semua penjual bambu akan menentukan tempat yang paling dekat sumber bambu untuk dibawa ke sungai.
Di lain tempat, saya menemui tempat tengkulak bambu yang masih bertahan di daerah Rancasema, Rangkasbitung. Letaknya di bawah tebing, persis peraduan Sungai Ciberang dan Ciujung. Tempat ini satu dari dua tempat tengkulak dan pasar bambu yang tersisa di Rangkasbitung. Pak Ues adalah pemilik tempat tengkulak yang diwariskan ke anaknya. Ditempat ini, saya bertemu kembali dengan Ki Rabin dan para penjual bambu lainya yang membicarakan banyak hal tentang bambu dan masalahnya.
Masalahnya sekarang adalah sumber bambu sudah jarang. Akibatnya, pemilik bambu harus menjual lebih mahal karena sekarang banyak didatangi pengusaha Jakarta yang langsung ke rumah pemilik pohon bambu. Para penjual bambu musiman bergantung pada debit air Sungai Ciujung. Misalnya, untuk membedakan musim subur untuk bambu dan musim yang tidak cocok untuk menebangnya. Daerah tepian sungai yang subur untuk tanaman bambu yang ada di Cimarga, Sajira hingga ke Kampung Keong, sekarang sudah jarang. Daerah basah di tepian sungai kini banyak dihuni pemukiman warga. Bahaya kekurangan pohon bambu dan ancaman erosi tanah tepian sungai sudah biasa. Hingga pada akhirnya, sebuah batas yang menandai tepian sungai berkecukupan curah hujan bagi tanaman bambu tidak lagi ada. Di musim kemarau, tanah dan rerumputan berubah menjadi tanah yang bersemak gersang.
Pemerintahan Lebak perlu menyadari kenyataan tersebut. Daerah tepian sungai awalnya telah digarap orang-orang optimis yang tidak takut menjalani kehidupan (penjual bambu). Pohon bambu sebagai ekosistem bernutrisi tinggi dengan tanah membutuhkan air lebih banyak. Di sisi lain, para penjual bambu yang menebangi bambu, terbuai dengan tumbuhnya bambu yang begitu luas sehingga jarang menggunakan sistem tebang pilih karena tergiur keuntungan. Obrolan kesana-kemari ini membuat kami berpikir, bahwa penjual bambu tidak menemukan mata pencaharian baru. Sejujurnya, menurut anggapan awam saya, mereka hanya mengikuti kebiasaan penjual bambu pendahulunya. Musim mendirikan pemukiman baru dan sikap menebangi kurang lebih ribuan pohon bambu tiap tahunnya, tanpa menyadari bahwa penebangan di tepian sungai dapat menggangu kepadatan tanah di tepian sungai. Penebangan pohon bambu tak berkesudahan, disisi lain, mendorong berkah bagi warga. Pohon bambu menjadi tali penyelamat erosi. Sungai memiliki makna mitologis bagi warga karena sebagai tali penyelamat ekonomi. Sungai Ciujung telah dimekanismekan oleh semua pihak terdiri atas bendungan, warga sekitar tepian, penjual bambu, sehingga aliran sungai dapat memberi keuntungan berkelanjutan dan bisa berhenti seketika.
***
Obrolan siang hari dengan Pak Ivan. Ia anak dari keturunan pertama Pak Ues, tengkulak paling lama di Rangkasbitung. “Hari ini sedang tidak ada orang, ditambah bambu sekarang sudah jarang,” ujarnya. “Lihat! Mobil-mobil itu saja belum jalan…”
Lalu saya bertanya mengenai ratusan bambu yang diikat dan bersandar di batang pohon Waru.
“Bambu yang belum dimuat itu akan dibawa ke Jakarta. Tahun ini penjual bambu panjang yang ada diseberang sungai saja sudah tidak ada (merujuk ke daerah pasar bambu di Kebon Kelapa—red). Sekarang, kebanyakan penjual bambu menjual jenis bambu berukuran pendek saja. Harga pasaran bambu sekarang berkisar Rp.5.500 sampai Rp.6000, dengan ukuran 7-8 cm. Untuk bambu berukuran tanggung, kami menyebutnya bambu bencong,” kata salah satu penjual bambu yang sedang duduk di bawah pohon. Panjang bambu 7 meter lebih banyak, tetapi tidak diminati oleh pabrik mebel di Jakarta.
Hari-hari pasar Selasa, Kamis dan Sabtu sudah jarang. Biasanya, kalau cuaca buruk, hari pasar menjadi beralih ke hari Jumat dan Sabtu. “Sampai sekarang, bambu, sih, ada saja yang jual, biasanya prosesnya lama untuk sampai ke sini karena kebun bambu lumayan jauh dari sungai. Butuh waktu lama untuk dibawa ke sungai. Ditambah, bulan April sekarang, sebentar-sebentar sungai Ciujung Banjir. Orang-orang (penjual bambu—re) tidak berani membawa bambu saat sungai banjir. Mereka akan beristirahat di tepian,” kata Pak Ivan.
Sekarang, tengkulak-tengkulak dari Serang dan Jakarta datang langsung ke pemiik bambu di pedalaman. Mereka menjatuhkan harga pasaran bambu sambil mematok harga Rp.8000 /batang. Imbasnya, harga berantakan dan tidak terkendali.
“Saya saja selalu beli dari petani bambu Rp.5.500, itu termasuk harga normal dan tidak merugikan penjual dan pembeli. Tapi, jika kualitas bambunya bagus, saya biasanya menaikannya menjadi Rp.7.000. Tengkulak Jakarta memukul harga bambu Rp.8000. Situasinya sudah bisa ditebak, penjual bambu akan tergoda dengan uang 2000 perak. Pasti petani bambu memilih melepasnya ketimbang capek-capek bawa bambu melalui sungai ke sini,” Jelas Pak Ivan.
Dan tidak berhenti di situ saja, tengkulak dari Jakarta bisanya langsung membawa mobilnya ke darat (langsung ke rumah penjual bamboo). Bagi mereka, pembeliannya yang membutuhkan waktu sedikit lama, tidaklah apa-apa. Apesnya, mereka beli cuma beberapa kali saja, sagerebegan. Begitulah penyebabnya mengapa pasar bambu di Rangkasbitung, tahun ke tahun, semakin berantakan.
“Bambu yang saya beli, biasanya dibawa ke Jatinegara atau Mangarai, Serang dan Cileungsi Bogor. Harga pasaran bambu dijual ke industri bambu satu batang Rp.6000. Kalau saya jual ke Jakarta, harga bisa mencapai Rp.10.000. Ayah saya yang memulai usaha ini tahun 1960-an. Waktu dia, membeli dari petani bambu sangat lancar. Giliran saya yang mengelola, harus putar otak. Maklumlah, usaha ini turunan ayah saya yang sudah 40 tahun lamanya membeli bambu. Bambu yang saya beli berasal dari Kadu Guling. Bambu dari Cileles sekarang sudah jarang padahal bisanya paling rutin menjual bambu,” cerita Pak Ivan.
Penjual bambu yang paling rutin tiap minggu datang sekarang hanya dua orang, Rais dan Ki Rabin. Keduanya petani bambu yang rajin dan rutin kirim bambu ke Pak Ivan. Biasanya mereka bertemu di Muara ketika hari pasar. Rais biasanya datang bersama anaknya lewat sungai. Bambu yang dikirim lewat Sungai Ciujung dan Ciberang, seminggu bisa tiga sampai empat kali. Di daerah ByPass, ada juga tempat pembeli bambu, namanya H.Aswali, dia orang Sinday, kampung dekat Ciberang, yang buka usaha di Rangkasbitung sejak lama. Pembeli bambu di Keragilan dan Pontang, Serang, juga berasal dari Rangkasbitung. Asal tahu saja, di Pamarayan juga banyak ‘pemainnya’ (tengkulak bambu). Tapi kata teman saya, sekarang sudah jarang karena bambu sudah jarang yang dibawa ke Serang.
“Perusahan Abah Ketok yang bareng sama usaha ayah saya, sudah tidak ada. Menurut ayah saya, dari jaman Belanda, penjual bambu di Rangkasbitung sudah ada. Waktu saya masih anak-anak, Ciujung jamannya bungin (daratan di tengah sungai—red),” lanjut Pak Ivan.
“Kemarin bambu sudah ada dua truk, Pak. Giliran mau dibawa, mobilnya malah rusak,” ungkap penjual bambu dari Cimarga ke Pak Ivan.
“Sudah telepon bos belum?” tanya Pak Ivan.
Penjual menjawab, “Belum.”
“Kalau barangnya sudah siap, tanya saja nama dan kampungnya. Kita langsung datang saja bawa mobil ke sana. Soalnya, takut diduluin orang lain, lumayan ada dua mobil,” lanjut Pak Ivan sambil menulis jumlah pembelian di buku kecil.
Kami melanjutkan obrolan tentang peminat bambu dari Rangkasbitung. Pak Ivan menjelaskan, bahwa bambu Mayan khsusus untuk ekspor mebel, sekarang ini banyak diminta perusahaan di Jakarta, sedangkan di Cilengsi, bambu hitam banyak dibutuhkan, sekali dua kali saja bisa kirim dalam sebulan. “Karena bambu sudah jarang, saya tidak melayani permintaan terlalu banyak. Resikonya, suka dikembalikan dan tidak dihitung kalau ada bambu yang jelek. Kalau pengiriman lancer, sebulan penghasilan bisa 10 juta. Satu mobil bisa untung bersih Rp.800.000. Bambu itu tanaman liar, tidak dilindungi kecuali punya perorangan,” katanya. Namun kabarnya, bambu mau dilestarikan oleh pemerintah.
Warga Rangkasbitung tidak ada yang kreatif untuk mengelola usaha. Kalaupun ada, tidak dalam jangka panjang alias langsung bangkrut. Kalau soal pesan bahan bambu, biasanya dari Ona juga ada, tapi tidak rutin.
“Saya kadang ingin punya partner usaha biar pengiriman rutin dan jangka panjang. Jadi, saya tidak banyak mikir tapi fokus ke perusahaan bahan mentah saja. Pernah kirim ke pengrajin bambu di Kebayoran, Ibu Ganwan. Sayang cuma pernah sekali saja, selebihnya putus hubungan. Pernah ada juga dari perusahaan besar cabang Cileungsi di Ona. Mereka telepon saya minta diorder bambu sampai nangis-nangis. Giliran saya kasih bambu, ehh… selanjutnya gak ada pembicaraan lagi. Saya bingung, sampai telepon apakah bambu saya tidak memenuhi kualitas atau ada pemasok bambu lain yang harganya murah. Sampai sekarang, tidak pernah dibalas. Saya binggung, mereka maunya apa. Takutnya, ada yang menjatuhkan harga. Tapi harusnya ada fair dan bicara ke saya. Yak, begitulah resiko usaha…” ujarnya.
“Kerajinan bambu di Rangkasbitung ada, sayang penggarapannya masih rumahan. Biasanya tergantung pesanan. Karyawannya juga cuma khusus nampung pesanan saja. Pernah ada juga pabrik besar, model pabrik sumpit. Dulu, ada di Citeras, Tajur dan Cinanggung, lagi-lagi hanya sebentar beroperasinya, paling setahun atau tiga tahun bertahan. Pemerintah Lebak tidak jelas, sewaktu kampanye bupati mau buat maju usaha masyarakat. Buktinya mana? Cuma banyak bicara saja,” cerita Pak Ivan panjang lebar
Sadar Pak Ivan menumpahkan rasa kekecewaan, saya hanya mengiyakan saja sambil melihat bambu betung yang masih muda ditutupi oleh lapisan kulit bambu berwarna cokelat yang memiliki tekstur seperti kain beludru sedang dibersihkan pekerja di depan kami.
***
Selamat siang mas mau tanya bisa kah ada link u pembelian bambu u di kirim ke daerah serang dan saya u pemakaian sendiri aja mas,paling saya mau pesen 300-350 batang saja mas u bambu apus saja..
Kaloe ada link boleh dimasih tau mas terima kasih