Artikel ini ditulis secara kolaboratif bersama Delva Rahman, Tiara Sasmita, Maria Christina Silalahi, dan Volta Ahmad Jonneva.
Kami menyapa warga di Kampung Jawa, sebuah kelurahan di Kota Solok, lewat kegiatan membuat fotografi tentang rumah dan orang-orangnya. Teman-teman saya, yakni Delva, Volta, dan Maria (ketiganya adalah pegiat Komunitas Gubuak Kopi) di hari Jum’at, 3 Maret 2017, berkeliling di sekitaran Jalan Yos Sudarso untuk mengenal lebih akrabsebagian besar masyarakat setempat di Kampung Jawa, khususnya yang berdekatan lokasinya dengan markas Gubuak Kopi. Delva, Volta, dan Mariadatang dari markas Gubuak Kopi menuju pintu ke pintu rumah setiap warga, meminta izin penghuninya untuk mendokumentasikan bangunan tempat tinggal dan bertanya-tanya tentang pekerjaan atau profesi mereka.
Komunitas Gubuak Kopi sudah tinggal dan berkegiatan di Kampung Jawa selama lebih-kurang satu tahun. Kebetulan hari itu kami ingin menyebarkan undangan kepada warga untuk menghadiri kegiatan “Nyanyi Basamo” (acara karaoke bersama yang diinisiasi oleh Gubuak Kopi, dengan melibatkan warga sebagai partisipan karaokenya), tiga teman sayaitu pun melakuan semacam “sensus penduduk” dalam rangka mengarsipkan gambar-gambar bangunan dan potret beberapa warga yang ditemui.
Setidaknya, ada 51 rumah yang dikunjungi oleh Volta, Delva, dan Maria. Di setiap rumah, didapatkan kesan dan narasi yang berbeda. Dalam prosesnya, berbagai macam tanggapan diterima dari warga. Ada yang mengira teman-teman saya itu melakukan sensus penduduk untuk memberikan bantuan, ada yang menanggapinya dengan lebih serius, ada yang ragu-ragu dan takut menjawab pertanyaan, ada yang sinis, dan ada pula yang mengajak bercanda tawa. Ekspresi warga pun bermacam-macam. Saat akan difoto, ada yang malu-malu, ada yang minta ditunda pengambilan fotonya karena belum mandi, ada yang minta waktu untuk mengenakan jilbab, berdandan dahulu, ada juga yang pasrah tampil apa adanya. Tidak sedikit pula warga yang mengelak ketika akan difoto. Bahkan, ada juga warga yang mengadu ke Pak RT tentang kegiatan “sensus penduduk” yang dilakukan teman-teman saya itu. Memang benar, sih, kami dari Gubuak Kopilupa memberi tahu Pak RTtentang kegiatan ini, karena pada dasarnya kegiatan ini hanya bertujuan untuk bersosialisasi dengan warga dan memperkenalkan apa itu Gubuak Kopi. Kegiatan ini sengaja kami lakukan dengan kesadaran bahwa penting bagi anggota Gubuak Kopi untuk akrab dan dekat dengan warga masyarakat sekitar.
Kegiatan sensus itu dimulai dari Pustaka Nagari Kampung Jawa, yang lokasinya bersebarangan dengan Masjid Nurul Yaqin. Itu adalah bangunan pertama yang didokumentasikan oleh Delva, Volta, dan Maria. Di gedung perpustakaan yang berada di bawah pengelolaan Kelurahan tersebut, Komunitas Gubuak Kopibersama pemuda lokal di Kampung Jawa pernah mengadakan kegiatan yang bertajuk “Babaliak Ka Pustaka Nagari” (Desember 2016 – Januari 2017). Kegiatan itu sendiri diselenggarakan untuk menumbuhkan minat baca masyarakat dan menghidupkan kembali aktivitas Pustaka Nagari yang telah lama terbengkalai.Kami mengawali kegiatan “Babaliak Ka Pustaka Nagari” itu dengan membersihkan perpustakaan, mencat ulang dinding bangunan dan membuat mural-mural baru yang menarik, seperti pesan-pesan tentang pentingnya kegiatan membaca. Pada hari puncak acara, anak-anak muda yang kami libatkan dalam kegiatan ini menampilkan berbagai perunjukan seni dan sastra, seperti pembacaan puisi, pertunjukan musik tradisional talempong, bernyanyi bersama. Pustaka Nagari ini pada hari-hari biasanya hanya aktif menjadi tempat berjualan si penjaga pustaka dan tempat kegiatan arisan ibu-ibu yang aktif di lembaga Bundo Kanduang Kampung Jawa. Selain kegiatan itu, perpustakaan biasanya sepi.Kami bersyukur inisiatif penyelenggaraan kegiatan “Babaliak Ka Pustaka Nagari” mendapatkan respon yang positif karena, setidaknya, kegiatan itu mampu meramaikan kembali perpustakaan meskipun belum berjalan secara reguler.
Lewat kegiatan “sensus penduduk” yang dilakukan oleh Delva, Volta, dan Maria, kami menjadi tahu bahwa Jalan Yos Sudarso dahulunya bernama Jalan Maharadin. “Tapi sekarang orang-orang juga tetap tahu kalau ini namanya Jalan Maharadin,” kata Ibu Neli, salah seorang warga yang ditemui ketiga teman saya itu.
Ketiga teman saya juga mengatakan bahwa rumah-rumah warga di sekitaran Jalan Yos Sudarso pada hari Jum’at itu banyak yang kosong. Mungkin karena kegiatan itu dilakukan di waktu siang pada hari jum’at, masih hari kerja, sehingga banyak warga yang tidak berada di rumah. Rata-rata warga di sini berprofesi sebagai pegawai dan pedagang. Seperti yang diketahui juga, warga di sini rata-rata adalah kaum pendatang, baik yang berasal dari luar Sumatera Barat maupun dari kota-kota lain di luar Solok. Menurut cerita dari warga di sini, secara umum Kampung Jawa terdiri dari empat etnis, yakni Jawa, Batak, Minang, dan “Kaliang” (warga keturunan India). Keempat etnis itu biasa disingkat dengan sebutan “JAMBAK”.
Mengambil beberapa contoh kisah yang lain, misalnya narasi tentang sebuah kontrakan yang dihuni tiga kepala keluarga. Kontrakan yang dimaksud terletak di samping kiri bangunan Pustaka Nagari(jika kita berdiri menghadap perpustakaan dari depan Masjid Nurul Yaqin). Di dekat sana, ada rel kereta api yang melintas. Kabarnya, area kontrakan itu (termasuk area perpustakaan) akan dibongkar oleh pihak PT KAI sehingga membuat ketiga keluarga ini kebinggungan harus tinggal di mana. Tiga teman saya mendengar informasi itu dari Ibu Dewi, salah satu pemilik rumah tersebut. Menariknya, Maria bercerita kepada saya bahwa ia merasa seakan melihat seorang aktris papan atas era 80-an ketika bertemu dengan Ibu Dewi. Saat ditanya alasannya, Maria berpendapat bahwa gaya penampilan Ibu Dewi itu berbeda dengan citra iklan kecantikan yang umum di masa sekarang.
Ketiga teman saya juga bertemu dengan Ibu Nita, salah seorang warga keturunan India yang sudah turun-temurun tinggal di Kampung Jawa. Delva bercerita bahwa Ibu Nita orang yang baik. Kesan itu didapatkan dari perlakuan Ibu Nita yang mempersilakan ketiga teman saya untuk masuk ke rumahnya dan menawarkan makan siang. Tapi ketiga teman saya menolak karena harus mengejar target mengambil foto rumah dan warga yang lainnya. Ibu Nita sempat bertanya tentang tujuan kegiatan “sensus penduduk” kami. Ketiga teman saya menjawab bahwa kegiatan sensus itu dilakukan sebagai bagian dari riset tentang warga di Kampung Jawa. Ibu Nita sempat pula menyebut bahwa saya, Raenal, juga pernah datang ke rumahnya untuk bertanya-tanya tentang kisah “rang kaliang”. Ibu Nita pun tidak keberatan saat ketiga teman saya itu mengambil potret dirinya.
Selain Ibu Dewi dan Ibu Nita, ada juga Uda Roni, seorang pedagang burung, yang tokonya berada di samping kontrakan yang akan dibongkar oleh PT KAI itu. Awalnya, Uda Roni mengaku bahwa ia berasal dari Sumatera Utara dan merantau ke Kota Solok. Tapi, setelah kami klarifikasi sekali lagi, ternyata Uda Roni ini lahir dan besar di Kota Solok. Yang orang rantauan adalah ayahnya, yang merantau dari Pulau Nias. Uda Roni mengklarifikasi jawaban asalnya dengan tertawa. “Lagian, nanya saat lagi kerja…” katanya, tertawa. “Ya jawabnya asal-asalan…” Uda Roni juga mengaku bahwa dia telah berdagang menjual burung selama empat tahun di Kampung Jawa. Dia menjual burung-burung itu untuk para peminat lomba burung. Burung-burung yang ia jual, antara lainnuri, murai, kenari, dan kacer. Uda Roni juga sempat menyebut nama burung “labert” (yang setelah kami cek di Google, barangkali yang dia maksud adalah burung Lovebird). Karena di Solok sering diadakan perlombaan suara indah burung, Uda Roni mengambil peluang ini sebagai pedagang.
Ketiga teman saya juga bertemu dengan Mas Yan, seorang perantaudari pulau Jawa, yang rumahnya berada di seberang toko Uda Roni. Mas Yan berprofesi sebagai penjual bakso, dan menjadikan sebagian area rumahnya sebagai tempat berdagang. Dia merantau dari Jawa pada tahun 1976, membuka usaha bakso di Padang, lalu pindah ke Solok pada tahun 1986 dan meneruskan usaha baksonya. Harga baksoMas Yan per porsinya adalah Rp 5000,-. Bagi Maria yang biasanya tinggal di Jakarta, harga tersebut sangat murah. Sebagaimana keterangan dari teman saya yang lain, Zikri (yang juga tinggal di Jakarta), umumnya harga makanan di Jakarta berkisar antara sepuluh hingga dua puluh ribu rupiah.
Maria yang orang Jakarta, mengaku mendapatkan pengalaman menarik selama ikut berkegiatan “sensus penduduk” ala Gubuak Kopi. Delva dan Volta selalu bercakap menggunakan bahasa Minang dengan warga-warga yang mereka temui, sehingga membuat Maria kebingungan. Saat ia mencoba ikut bercakap menggunakan bahasa Minang yang terbata-bata, warga yang diajak berbincang pasti bertanya, “Asalnya dari mana?”. Tapi, jika Maria memperkenalkan diri dan bertanya dengan bahasa Indonesia, warga justru menjawabnya dengan bahasa Minang.
Dalam kegiatan “sensus penduduk” kali itu, ketiga teman saya umumnya bertemu dengan kaum ibu. Ada yang bernama Ibu Vevi, yang rumahnya berdekatan dengan Ibu Dewi. Ibu Vevi bersedia diambil potret dirinya, dan bahkan mau berpose dengan percaya dirinya di depan kamera. Ibu Vevi juga menjawab setiap pertanyaan teman-teman saya. Ibu Vevi mengaku baru dua bulan menetap di wilayah Kampung Jawa karena ingin melanjutkan kontrakan milik kakaknya. Dia membuka warung di rumahnya itu. Selain Ibu Vevi, ibu-ibu yang juga berprofesi sebagai pedagang adalah Ibu Tati, yang rumahnya berada di samping Madrasah Ibtidaiyah Swasta Kampung Jawa. Ibu Tati mempunyai toko yang menjual perabotan rumah tangga di depan SD N 02/04, Kelurahan Pasar Pandan Air Mati. Saat akan difoto, Ibu Tati mengelak dengan alasan dirinya belum mandi, dan menyuruh Delva, Volta, dan Maria mengambil potret temannya saja.
Dalam proses “sensus penduduk” ini, tiga teman saya tersebut juga bertemu dengan anak-anak kecil yang dulu sering main ke markas Gubuak Kopi. Sama halnya dengan ibu-ibu dan bapak-bapak yang ditemui, anak-anak ini juga bertanya perihal kegiatan “sensus penduduk” yang kami lakukan. Tapi ketiga teman saya tak berbincang banyak dengan mereka.
Ada juga rumah yang kami ambil gambarnya merupakan bangunan kosong tidak berpenghuni karena pemiliknya sudah meninggal. Pemiliknya dahulu adalah seorang lelaki tua, dan warga tidak mengetahui kondisinya ketika meninggal. Menurut Volta, biasanya lelaki tua ini sering ikut menonton televisi di rumah tetangga, tetapi di suatu waktu si bapak tidak pernah muncul (lebih kurang tiga hari). Karena penasaran, akhirnya warga memeriksa ke rumahnya, dan ternyata si bapak sudah berpulang. Kini, bangunan kosongnya itu kabarnya akan digusur juga dan akan dijadikan mini market. Informasi ini didapatkan dari Ibu Desmawati, warga yang merupakan tetangga rumah kosong tersebut.
Dari setiap rumah yang dikunjungi, banyak warga yang memberikan saran dan pendapat tentang keberadaan Komunitas Gubuak Kopi. Beberapa di antaranyamerasa bangga,ada jugayang mengingatkantentang tanggung jawab besar yang musti kami emban sebagai pemuda yang bergerak di wilayah kegiatan pemberdayaan berbasis komunitas untuk mengembangkan Kampung Jawa, khususnya, dan Solok, umumnya.***