Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Jangan Lupakan Hari Esok

Sahib sedang berlatih membuat patung (di tengah)
Avatar
Avatar
Written by Firmansyah, Fuad Fauji

Maaf, kami banyak membicarakan Bapak di waktu senggang. Apa yang Bapak ketahui tentang seni patung? “Saya tidak banyak tahu dan bukan seniman. Saya hanya tukang kebun”. Langit semakin hitam. Pertanda aku harus segera mencari posisi yang bisa melindungi tubuh dari serbuan butir-butir air yang turun dari warna hitam langit.

***

Haji Sahib

Haji Sahib Sujana R.J.

Suatu hari jalan-jalan di Jalan Hardiwinangun, karena penat oleh sempitnya ruangan terkadang membuat sakit kepala. Keluar melihat-lihat patung di Jalan Hardiwinangun, berharap bisa menghibur. Patung publik di Rangkasbitung belum terbentang ceritanya dalam jangka waktu yang panjang. Penuturan tentang temuan menjadi kata sepadan dengan fakta-fakta yang ada sementara ini. Butuh disiplin yang kuat untuk menguak apa yang ada di balik patung penghias Kota Lebak. Dalam rentang waktu yang terlihat panjang tapi sesungguhnya pendek. Belum banyak memang perubahan signifikan pemikiran dalam hal menafsir bentuk dan interpretasi karya seseorang. Diawali dari ketertarikan untuk menyimak bagaimana pandangan kekaguman atas ulet dan terampilnya si pembuat. Rasa penasaran dan kagum pada objek yang memiliki garis dan cekungan objek yang tajam, kami pun mencari ‘Mpunya’.

Sekilas terlihat dari patung-patung publik di Rangkasbitung, semuanya tampak tak bisa lepas dari keinginan mengobarkan spirit revolusi dari sebuah daerah yang terus menerus kisruh oleh konsep nilai. Hari ke bulan, kami menatap detail-detail karya yang belum diketahui siapa pembuatnya teruslah berlangsung. Sadar dengan ketidaksopanan memperhatikan karya tanpa memiliki bekal pengalaman estetik kami urungkan sesaat. Ada baiknya mencari dongeng dari sumbernya. Seni patung adalah cabang seni rupa yang hasil karyanya berwujud tiga dimensi. Biasanya diciptakan dengan cara memahat, modeling (misalnya dengan bahan tanah liat) atau casting (dengan cetakan), baca wikipedia. Seluruh kemampuan kami pusatkan pada sebuah relief di tembok bangunan luar partai berlambang beringin.

Relief yang terdapat di gedung partai

Relief yang terdapat di gedung partai

Semasa kecil, yang kami tahu partai ini begitu berkuasa di daerah ini. Saat ini aku abaikan itu semua karena hanya akan mengganggu pemusatan perhatian pada objek. Figur badan penuh, berupa tua muda atletis dan wanita berbusana seadanya yang praktis sampai sekarang mungkin masih bertahan di Lebak Selatan dan Lebak Tengah. Tanda jelas dalam setiap cekungan relief seperti penghapusan kelas yang kasar. Seperti reproduksi pengalaman visual yang dimiliki, menjadikan pembuatan patung seperti tergesa-gesa. Sepengetahuanku Tempat ini jadi tontonan anak muda, karena tempat ini adalah lembaga pertama yang memiliki alat musik modern (Band)di Rangkasbitung. Lanskap objek menunjukkan tanda luasnya ia belajar pada apa yang ia jumpai. Minimalnya kostum serta atribut kepangkatan dalam setiap figur seolah mengacuhkan situasi runut dengan menempatkan figur-figur begitu naturalis. Dasar keras  raut wajah figur mendekati model sungguhan.

Tugu Papanggo

Tugu Papanggo

Macam jenis patung dan tempatnya tersebar di wilayah kota. Patung manusia mengingatkanku pada dongeng Raja Hindu Jawa dan kini ada di depan mata. Relief patung petani ada di Jalan Hardiwinangun, Rumah Sakit Adjidarmo dan Ciboleger. Sedangkan patung garuda dan harimau putih ada pada bangunan milik militer sipil (polisi). Harimau kuning ada di Lebak Sambel dan Barangbang, patung garuda ada di Kalimati dan Papanggo, Kopi memiliki sekelompok patung kerbau, sedangkan di Mandala terdapat tugu simbol Lebak. Yang terakhir adalah patung Bunda Maria di Narimbang. Patung-patung figur yang mengesankan kekuatan. Hingga masa pemerintahan baru, dalam dua periode kami belum menemukan jejaknya. Setelah melihat dengan seksama patung yang kami kunjungi, tugas selanjutnya sudah menunggu, yaitu  mencari pembuatnya.

Rangkasbitung terasa sepi sore ini. Tidak tampak aktivitas sama seperti biasa. Aku terus menuju sebelah timur kota. Membelokkan diri di persimpangan bernama Belokan Miring, memasuki Kompleks Pendidikan melaju terus menuju rumah sisi jembatan kereta api. Perjalanan berhenti di salah satu rumah sederhana dikelilingi pohon rambutan. Dugaan tidaklah meleset karena sebelumnya aku bertanya pada orang di dua rumah sebelum memutuskan berhenti. Rumah sederhana yang sangat mengesankan. Sebelum masuk kaki-kaki harus dibersihkan dulu dengan lap terbuat dari anyaman serabut kelapa. Pintu beranda seperti mempersilakan pada setiap tamu untuk bertukar pikiran. Setelah yakin tidak ada  tombol bel, maka panggilan salam diucapkan dua kali. Pemilik rumah H.Sahib Sujana RJ. muncul dengan ramahnya mempersilahkan duduk. Obrolan dimulai dengan pertanyaan umum ‘dari mana’ serta ‘ada keperluan apa’. Setelah saling bertukar sedikit pembicaraan pembuka, kami pun merasa cukup mengenal siapa yang kami ajak bicara saat itu. Kawan diskusi Fuad tak sabar ingin segera menanyakan sesuatu, hal inti kedatangan.

Fuad: Maaf sebelumnya kami banyak membicarakan Bapak di waktu senggang bersama kawan-kawan. Bapak sepertinya pandai membuat patung. Apa bisa sedikit bercerita tentang seni patung di Lebak?

Sahib: “Saya tidak banyak tahu tentang itu. Kalian sedikit keliru, saya bukan seniman. Saya hanya tukang rawat kebun.”

Aboy: “Kebun siapa?”

Sahib: “Setiap harinya saya menggambar dan membuat patung dari bahan semen untuk keluarga orang Cina, Chong Eng namanya. ”

“Suatu hari di tahun 1970-1973 teman saya memanggil. ‘Hei..Sahid aya lowongan gawe yeuh, sia bisa nyieun patung teu?’ (Hei..Sahid ada lowongan kerja nih, kamu bisa membuat patung tidak?). Saya menghampirinya sambil membawa sendok semen dari pekarangan rumah tempat saya kerja. Spontan saya jawab; ‘Bisa.. kadieu aing gawean.’ (Bisa..cepat bawa ke sini saya kerjain). Ia marah dan menyentak saya; ‘Pan sia mah mamawa sendok semen, etamah lain jeung nyieun patung. Masa alat jeung nyieun patung doang kitu?’ (Kok kamu bawa sendok semen, alat begitu bukan untuk buat patung. Masa alatnya begituan?).  Saya pun marah dan meminta waktu satu jam untuk melihat contoh patung  yang dimaksud (patung es). Cukup 30 menit saya melihat contoh patungnya. Saya langsung membuat lamaran dan contoh karya ke  perhotelan di Jakarta. Bos saya di sana bilang, ‘Kamu kerja dulu tiga bulan, setelah itu baru saya terima’. Pada tahun 1980 saya akhirnya diterima di sebuah Hotel besar di Jakarta. Hotel Hilton namanya. Saya ditempatkan di Departemen Art. Saat itu dua departemen digabung menjadi satu. Saya bagian Departement Art bersama teman-teman dari Jakarta, Bandung, Jogja dan Bali.

Sahib sedang berlatih membuat patung (di tengah)

Sahib sedang berlatih membuat patung (di tengah)

Fuad: Apakah Bapak pernah terlibat di sebuah Art Akademik?””

Sahib: “Tidak juga… Tapi ceritanya panjang.”

Fuad: “Tidak apa, kami senang mendengarnya.”

Sahib: “Pada tahun 1959 saya lulus sekolah setingkat sekolah menengah pertama. Situasi di Rangkasbitung sangatlah sulit. Saya dan almarhum ayah sering makan nasi Bulgur,  sejenis makanan burung campuran biji jagung dan…. saya lupa mengingatnya. setahu saya makanan itu diberikan pemerintah. Krisis pangan yang parah. Saya kira di daerah pesisiran banyak warga yang kelaparan. Beruntung rumah ayah saya di dalam kota, tepatnya Cijoro. Kelaparan baru mereda pada tahun 1960-1965 peristiwa gerakan PKI menguat di Lebak. ”

Aboy: “Apa Bapak terlibat gerakan politik ekonomi saat itu?”

Sahib: “Saya tidak banyak tahu tentang politik dan ekonomi. Saya dan ayah hanya sibuk mengurus bengkel kendaraan. Orang-orang Rangkasbitung pastilah tahu nasi itu. Ada yang bilang makanan itu untuk kuda. Keluarga memutuskan untuk melanjutkan sekolah saya di Bandung dan tinggal bersama paman di sana. Sekolah saya dulu di dekat Asrama Polisi Kosambi, kabarnya sekarang sudah diganti jadi bangunan mall. ”

Aboy: “Apakah di Bandung bapak sempat kuliah?”

Sahib: “Ya..!! Tidak.. Saya merasakan kuliah hanya dua semester di tahun 1961-1962. Itupun hanya sebatas melihat. Saya belum cukup uang untuk membeli bahan-bahannya. Selama di Bandung saya banyak belajar dari teman-teman tentang lukisan dan patung.”

Fuad: “Bapak sudah membuat karya di sana?”

Sahib: “Tidak saya hanya melihat saja tapi sesekali latihan sendiri di rumah. Di tahun 1970 saya memutuskan pulang ke Rangkasbitung membantu ayah bekerja dan sesekali mempraktikkan melukis dan memahat patung dari kayu. Saat itu, angkutan di Rangkasbitung berupa kendaraan setengah truk disulap menjadi mobil angkot. Atapnya dipayungi karpet hitam. Tidak lama saya bekerja, saya diajak kerja oleh teman di Sumatera. Ada 42 pekerja yang berasal dari Rangkasbitung. Pekerjaan di sana membuka jalan dan membangun jembatan proyek Trans Sumatera. Nama daerahnya kalau tidak salah, Muara Bungo Tebo, Jambi. Kami dipekerjakan selama lima hari dalam seminggu. Waktu istirahat dua hari. Saat itu saya memimpikan jadi supir karena tangan dan kaki sudah tidak kuat memegang cangkul, maksud hati mendapat upah lebih besar. Posisi saya tidak menguntungkan saat itu. Bos kami orang Korea yang sangat menghargai seni. Suatu ketika saya iseng di hari senggang menggambar apa saja yang saya lihat dan pegang. Hari-hari libur, saya gunakan untuk terus menggambar. Hingga suatu hari teman-teman saya melihatnya. Mereka banyak meminta dibuatkan gambar untuk dikirim ke keluarganya di Rangkasbitung. Saat itulah bos menjadi  dekat dengan saya dan meminta saya menggambar mukanya.”

Aboy: “Apa Bapak dibawa ke Korea?”

Sahib: “Tidak!”

Fuad: “Bapak membawa uang banyak ke Rangkasbitung?”

Sahib: “Tidak!! Setelah dari Sumatera saya menganggur beberapa tahun. Berapa tahun ya..? Mungkin antara tahun 1973-1979.”

Sahib sedang mempertunjukkan karyanya

Sahib (di sebelah kanan) sedang mempertunjukkan karyanya di hadapan Presiden Soeharto yang menjabat saat itu

Fuad: “Bagaimana dengan cerita di Hotel Hilton?”

Sahib: “Saya mengakui bahwa tahun itu saya banyak belajar dari apa yang saya kerjakan. Setahu saya Indonesia belum punya juru masak bertaraf internasional. Saya melihat kemahiran orang-orang luar negeri, dan orang pribumi jadi yang mengamati dengan saksama termasuk saya. Dua tahun saya bekerja membuat patung dari mentega dan Es. Suatu hari saya dipanggil oleh ketua juru masak berasal dari Jerman. Perintahnya mengagetkan dan terasa aneh. Saya disuruh mengikuti perlombaan patung es tingkat Asia di Singapura. Ketua saya bilang; ‘kamu harus ikut lomba dan acara pameran se Asia mewakili Hotel Hilton dari Indonesia.’ Saya menolaknya dengan alasan masih banyak yang mahir. Saya hanya orang kampung yang ingin banyak belajar dan bekerja. Bukan karena goblok saya menolak, tapi saya menghargai senior saya. Akhirnya saya ditemani teman dari Bali. Beberapa kali saya coba membicarakan dengan senior tentang kepergian ikut lomba, tetapi mereka semua menjawab ketus. Kalau ingat sekarang, jadi lucu. Hahahaha….”

Aboy: “Sepertinya lombanya sangat seru?”

Sahib: “Benar! Dua hari dua malam saya tidak tidur karena harus menyelesaikan karya. Saya sempat salah paham dengan orang Bali karena berpendapat terlalu berani membuat tarian dari Bali. Dia bilang ke saya; ‘Kamu tahu apa tentang Tari Bali.?’ Saya menjawab; ‘Benar saya tidak tahu tentang Bali. Tapi bukankah kita berdua wakil dari Indonesia?’ Ia diam. ‘Saya percaya kamu bisa membimbing saya menjelaskan detail-detail tari itu.’ Padahal di hati saya sempat ragu dengan perkataan itu. Setelah dipamerkan, Alhamdulillah akhirnya saya dapat medali emas. Besoknya saya di panggil bos; ‘Hari ke empat kamu harus ikut lagi lomba patung es, siap tidak?’ saya jawab ‘Siap, bosss!’. Bos masih ragu karena lomba selanjutnya ada perwakilan dari Jepang yang terkenal memiliki keahlian di atas rata-rata untuk soal patung es. Bos seolah minta diyakinkan; ‘Mau buat apa kamu?’ ‘Saya mau buat patung Garuda. Masa orang Indonesia tidak bisa membuat patung garuda’, saya coba meyakinkan hati bos. ‘Ah…, bisa aja kamu,’ kata bos. ‘Waktu lomba 25 menit, harus beres’. ‘Siap, Bos’, jawab saya. Saya dengar bocoran dari kawan-kawan peserta, untuk berhati-hati dengan peserta dari Jepang. Setelah karya selesai, saya mendapat perak dan peserta dari Jepang dapat medali emas. pertandingan saat itu terasa emosional karena saya dan Orang Jepang sama-sama membuat patung burung.  Setelah perlombaan itu berlalu akhirnya saya banyak bepergian ke luar negeri mengikuti lomba dan pameran. Pada tahun 1986 saya pindah kerja ke Hotel Mandarin, hingga suatu waktu saya ingin pulang ke Rangkasbitung. Bahasa angkuhnya, panggilan jiwa, ini saatnya saya mengabdikan diri di tanah kelahiran.”

Sahib sedang berfoto bersama lawannya dalam lomba membuat patung (kedua dari kiri)

Sahib sedang berfoto bersama lawannya dalam lomba membuat patung (kedua dari kiri)

Fuad: “Saya dengar dari orang patung Baduy ada hubungannya sama Bapak?”

Sahib: “Benar, Ayah saya punya bengkel, maka kebanyakan pemilik kendaraan di Rangkasbitung mengenal saya. Hj. Ii pemilik angkutan Pasir Bungur memanggil. Saya ada di rumah untuk membuat patung di Ciboleger atas titah bupati sebelum Bupati Yas’a. Sesampainya di sana saya menanyai Orang Ciboleger; ‘Adakah Orang Baduy yang bermuka gagah?’ Kata mereka ada. Namanya Pu’un Alim (pemimpin suku adat). ‘Apa ciri-cirinya?’ Mereka menyebutkan, kulitnya putih hidungnya mancung dan badannya tinggi. Cepat saya menyiapkan kerangka besi dan langsung bekerja. Baru sampai pinggang patung, saya sudah dipanggil oleh Orang Baduy. Saya heran. Tahu dari mana mereka? Usut punya cerita, mereka mengirim intel untuk mencari tahu, siapa yang mau membuat patung Pu’un dan akan hukum. Tidak hanya pemerintah saja yang punya intel, Orang Baduy juga punya intel. Saya pun disidang oleh Orang Baduy. Warga Ciboleger tidak tinggal diam, mereka mendukung saya. Sesepuh Baduy bilang; ‘Kalau kamu melanjutkan pekerjaan membuat patung saya maka saya akan robohkan bangunan itu’. Tiba-tiba di belakang saya ada menjawab, ‘Sebelum menghancurkan pekerjaan bapak ini, lewati dulu mayat kami’. Situasi tegang. Muncul tiba-tiba Pak Camat Leuwidamar melerai. Orang itu ternyata teman saya semasa sekolah. Kami pun bicara banyak saat itu. Ternyata dia diutus bupati untuk menunda pembangunan patung karena Kantor Kabupaten didatangi sesepuh Baduy meminta segera diubah konsep patung yang akan dibuat. Maka saya ubah patung itu jadi mengenakan topi petani dan cangkul. Sebelumnya patung itu berbentuk Orang Baduy yang mengenakan ikat kepala adat (lomar). Saat itu Lebak sudah makmur. Tidak ada kekurangan pangan.”

Patung Garuda yang ada di Tugu Papanggo

Patung Garuda yang ada di Tugu Papanggo

Fuad: “Setahu saya saat itu banyak pejabat Pemerintahan Presiden Soeharto datang ke Lebak, apa ada hubungannya dengan Bapak?”

Sahib: “Benar… Saat itu Presiden RI masih Soeharto. Rangkasbitung masih ikut Propinsi Jawa Barat. Oya, benar pada masa itu sebelumnya saya diminta membuat relief patung di dinding Gedung Golkar. Itu karya saya yang pertama. Maaf saya lupa lagi.”

Dari dalam ruangan yang sedikit tertutup daun pintu datang seorang perempuan muda. Dengan ramahnya berlutut meletakkan satu persatu gelas kecil, mempersilahkan minum. “Silahkan diminum, maaf tidak ada makanan apa-apa”, katanya lembut. Air teh di gelas keramik bermotif daun saga berwarna biru tua menebarkan wangi seolah datang dari hati pembuatnya. Pak Sahib memberikan nasehat dan kegembiraannya atas kedatangan kami. Dia berkata; ‘Jangan pernah mengeluh dan jangan lupakan hari esok. Sukar sekarang mencari anak muda yang konsisten menatap masa depan lewat sebuah karya’. Tak sadar sore akan habis, hujan terus turun. Sepertinya bumi sudah kehabisan pembicaraan. Aku ajukan pertanyaan penutup.

Aboy: “Apa obsesi Bapak sekarang?”

Sahib: “Saya sudah tua, tetapi masih memiliki semangat berbuat sesuatu untuk tempat kelahiran. Obsesi saya membuat monumen atau tugu peringatan di Bayah. Tempat pembantaian besar-besaran para Romusha (pekerja paksa Jepang). Jika anda punya suara sampaikan pesan ini untuk Bupati atau pejabat yang merasa ingin mengabdi untuk daerahnya.”

About the author

Avatar

Firmansyah

Pria asli Lebak, Banten kelahiran 7 Juni 1988 ini akrab disapa Aboy. Terakhir ia menamatkan pendidikannya di SMAN 3 Rangkasbitung. Selain berwirausaha, sekarang ia aktif di kegiatan jurnalisme warga akumassa.org sebagai penulis aktif dan pemantau media lokal di Lebak, Banten. Di wilayah tempat tinggalnya, ia juga aktif bersama Saidjah Forum.

About the author

Avatar

Fuad Fauji

Dilahirkan di Lebak, 10 Maret 1983. Fuad Fauji menetap di Forum Lenteng Jakarta sebagai periset dan penulis seni rupa. Tahun 2005 ia dan kawan-kawan lainnya terlibat mendirikan komunitas Saidjah. Kerja video pertamanya adalah “Saidjah Project”, 2005. Pada tahun 2007 akhir, ia mendapatkan gelar S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, konsentrasi Jurnalistik. Film fiksi pertamanya “Maria”, hasil project workshop Cerpen ke Filem yang diadakan Forum Lenteng, 2008. Dia dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Kedua orang tuanya petani musiman di Leuwidamar. Kadang bertani kadang tidak. Ayahnya telah meninggal bersamaan dengan kerja residensi pertamanya di Tanjung Priuk tahun 2009. Terlibat dalam produksi teks dan video dokumenter di akumassa. Sejak tahun 2010 hingga sekarang ia bekerja dengan Dewan Kesenian Jakarta sebagai peneliti kritik seni rupa Indonesia. Bersama program akumassa dan Saidjah Forum, karya-karyanya telah diputar di berbagai perhelatan filem dan seni rupa, antara lain; Festival Film Dokumenter ke-9 (2009); The Loss of The Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2010); Decompression #10, Expanding Space and Public, ruangrupa, Galeri Nasional Indonesia – Jakarta (2010); The Decade of Reformation: Indonesian Film/Video, Artsonje Arthall, Korea Selatan; 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada; Selametan Digital, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko (2011).

3 Comments

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.