Ide pendirian saung ini awalnya bermula pada Bulan Ramadhan, tahun 2013. Selepas menunaikan ibadah shalat sunnah tarawih, ayahku berbincang-bincang dengan Pak Kadus, Pak Rusta, Pak Beni, A Ceceng, Pak Durahman dan beberapa warga lainnya berdiskusi sambil ngopi di teras rumah Mak Haji Fatimah. Mereka berencana membuat tempat untuk berkumpul dan berdiskusi sesama warga. Dari perbincangan itu, tercetuslah ide untuk membuat saung yang dibangun di pekarangan rumahku. Kemudian, ide itu direalisasikan dan dikelola oleh ayahku, Iing Solihin.
Saung Ciranggon itu, yang berada di antara rumahku dan rumah Pak Kadus, berjumlah 5 saung. Empat saung kecil dan sebuah saung utama dengan ukuran yang cukup besar. Awalnya, berdirinya saung ini hanya bertujuan untuk menjadi tempat diskusi saja. Tapi, akhirnya juga digunakan untuk hal lain. Setiap malam, warga yang dijadwalkan meronda bergiliran setiap malam, menjadikan Saung Ciranggon sebagai basecamp.
Setiap menjalankan tugas siskamling atau ronda pada malam hari, ketika perut terasa lapar, bapak-bapak yang ronda setiap malam ini selalu membuat nasi liwet seadanya dengan bertemankan ikan asin dan tahu tempe saja. Nikmat bukan? Jelaslah terasa nikmat! Bukan karena rasanya saja, liwet ini terasa nikmat karena disantap dan dinikmati bersama-sama di atas daun pisang. Kebersamaan inilah yang menjadi bumbu rahasia nasi liwet itu. Dan yang membuat nasi liwet itu adalah ayahku sendiri. Dari sinilah terpikirkan untuk membuat bisnis kuliner Nasi Liwet Saung Ciranggon di Kampung Wates.
“Daripada saung mung diangge kanggo ngobrol teu puguh, mending kumaha carana nya ameh saung teh janten langkung bermanfaat,” ujar ayahku. “Kumaha nya pami saung dijantenkeun tempat kuliner wae?” (Daripada saung cuma dipakai untuk ngobrol nggak jelas, mending gimana caranya supaya saung bisa jadi lebih bermanfaat. Bagaimana kalau saung dijadikan tempat kuliner saja).
Bisnis Nasi Liwet Saung Ciranggon, saung kuliner lesehan di Kampung Wates, memiliki menu andalan berupa nasi liwet dan pepes peda. Kata Pak Kadus, “Rencana tujuan kedepannya maunya, sih didirikan saung di setiap rumah yang memiliki halaman yang luas. Dan itu terus sampai ke halaman rumah-rumah yang ada di pinggir jalan raya.”
Tenaga pemasak tidak didatangkan dari luar daerah, apalagi luar negeri, melainkan para ibu-ibu yang ada di Kampung Wates ini. Meskipun begitu, hasil masakan mereka ini, dalam soal citarasa, bisa diadu kualitasnya. Mungkin, karena belum banyak orang yang tahu, Nasi Liwet Saung Ciranggon ini hanya menerima pesanan makanan dengan menu sesuai keinginan si pemesan. Bangunan saung itu sendiri tidak berubah menjadi restoran sehingga masih tetap bisa digunakan seperti sebelumnya. Selain sebagai semacam simbol usaha kuliner di lingkungan rumahku, Saung Ciranggon kini juga dijadikan tempat bagi anak-anak Kampung Wates menimba ilmu agama seusai menunaikan ibadah shalat magrib. Seringpula digunakan sebagai tempat musyawarah mufakat warga Kampung Wates.
Nasi liwet milik Saung Ciranggon ini terbuat dari beras yang dicampur dengan bumbu rempah-rempah, seperti bawang merah, salam, sereh, dan ikan teri jambal roti. Bumbu rempah-rempah ini sebagian besar didapat dari hasil bercocok tanam di lingkungan Saung Ciranggon, menggunakan polybag dengan sistem pemupukan organik. Nasi liwet ini dimasak di dalam panci dengan api kecil. Karena dimasak dalam panci, nasi liwet ini menyisakan intip di bagian dasar panci. Bahan rempah yang dicampur ke dalam nasi membuat rasa nasi liwetnya menjadi lebih gurih.
Nasi liwet sangat cocok bila dipadukan dengan ikan asin, tahu-tempe, sambal terasi dan pepes peda. Semua bahan-bahan pelengkap nasi liwet ini didapat dari Pasar Ciborelang, yang jaraknya lima menit menggunakan sepeda motor dari rumahku. Seperti yang sudah kusebutkan sebelumnya, nasi liwet akan lebih enak jika dinikmati dan dimakan di atas daun pisang. Pohon pisang yang dimanfaatkan daunnya ini sebenarnya ada di belakang rumahku. Tapi, karena jumlahnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan alas nasi liwet dan bungkusan pepesan, mau tak mau, daun pisang pun dibeli di Pasar Ciborelang juga.
“Kita akan menanam pohon pisang yang banyak agar tidak perlu lagi membeli daun pisang di pasar,” ayahku pernah berkata, walaupun hingga sekarang belum sempat jadi kenyataan.
Teman makan nasi liwet sejenis pepesan, tidaklah hanya pepes ikan peda saja. Saung Ciranggon juga menyediakan pepes tahu, pepes ayam dan pepes ikan mas. Pembuatan pepesan ini membutuhkan daun pisang sebagai bahan dasar yang banyak untuk membungkus tahu, ayam dan ikan mas. Setelah dibungkus daun pisang dan dikukus, pembuatan pepes terus berlanjut hingga dibakar untuk mendapatkan rasa yang enak.
Di Kampung Wates, untuk bisnis ini, orang-orang membuat nasi liwet di rumahku. Selain karena isteri dari Pak Iing yang mengelola Saung Ciranggon, alasan mengapa ibu-ibu di Kampung Wates ini memilih rumahku adalah karena kedekatan ibuku dengan warga sekitar.
“Bu Yati orangnya baik, pintar memasak dan alat memasaknya lengkap,” kata Bu Kadus. “Jadi, ibu-ibu lebih nyaman jika memasaknya di rumah Bu Yati.”
Karena belum bisa berjualan setiap hari, kegiatan masak-memasak liwet ini hanya dilakukan setiap ada pesanan saja. Untuk bisa menikmati nasi liwet Saung Ciranggon, kami menerima pemesanan nasi liwet terlebih dahulu. Proses pemesanannya, biasanya, melalui panggilan ke ponsel ayahku. Nomor kontak diketahui oleh para pemesan dari mulut ke mulut. Setelah memesan, mereka bisa datang ke saung dan makan nasi liwet yang sudah dibuatkan. Bagi beberapa orang yang tidak tahu nomor telepon Saung Ciranggon, ada yang memilih untuk langsung datang kerumahku dan memesan untuk keperluan di hari yang mereka ingin.
Pernah suatu hari, Saung Ciranggon kedatangan ibu-ibu komunitas rias salon pengantin dalam sebuah acara arisan. Dalam acara itu, ibu-ibu salon memilih menu nasi liwet untuk 30 orang dengan lauk berupa pepes peda, pepes ayam, pepes ikan mas, pepes tahu dan sambel lalap. Sambil acara arisan berlangsung, ibu-ibu tersebut menyantap nasi liwet yang telah dipesan sebelumnya. Salah seorang ibu perias pengantin berkata, bahwa orang yang akan membayar semua biayanya adalah yang memenangkan arisan. Biasanya, arisan ibu-ibu itu diadakan di salah satu rumah anggota yang terpilih. Akan tetapi, sejak mereka tahu ada tempat yang nyaman untuk berkumpul dan menyediakan menu makanan yang cocok, ibu-ibu perias pengantin ini pun memilih Saung Ciranggon sebagai tempat melangsungkan arisannya.
Saung Ciranggon juga pernah menjadi tempat yang dipilih oleh alumni siswa-siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Jatiwangi, dalam rangka acara reuni alumni SMAN 1 Jatiwangi. Karena salah satu alumni peserta reuninya berasal dari Kampung Wates, ia menyarankan agar acara reuninya dilangsungkan di Saung Ciranggon. Dalam acara tersebut, selain memasan makanan, para alumni ini juga meminta didatangkan organ tunggal, lengkap dengan penyanyinya. Dan kebetulan, salah satu warga Kampung Wates, bernama Pak Dedi, memiliki alat musik keyboard dan mahir memainkannya. Jadi, kami tidak perlu susah dalam mencari pemusik yang diminta oleh para alumni tersebut.
Selain menerima pesanan, kami juga pernah mengikuti bazar desa di alun-alun Desa Jatisura dalam rangka memperingati hari jadi Desa Jatisura pada tahun 2013 dan 2014. Warga dari setiap blok di Desa Jatisura ikut berpartisipasi dalam bazar. Masing-masing perwakilan dari setiap blok menyuguhkan menu yang berbeda, mulai dari empal gentong, aneka gorengan, bermacam-macam minuman, baik itu beragam minuman dingin maupun hangat.
Saung Ciranggon juga pernah mengikuti bazar di alun-alun Kecamatan Jatiwangi, dalam rangka memperingati hari Jadi kabupaten Majalengka pada tahun yang sama. Bazar itu dilakukan tiga hari berturut-turut. Peserta bazar yang berasal dari Kecamatan Jatiwangi datang dari berbagai desa se-Kecamatan Jatiwangi. Saung Ciranggon menjadi salah satu yang mewakili desa Jatisura.
Ketika bazar berlangsung, orang berbondong-bondong untuk membeli dan menikmati liwet kami, seakan memang telah dinanti-nanti oleh warga yang datang ke bazar. Saung Ciranggon yang mewakili Desa Jatisura selalu datang paling terlambat ke tempat bazar daripada desa yang lain disebabkan oleh persiapan memasak liwet yang membutuhkan waktu yang cukup lama. Meski begitu, stand Nasi Liwet Saung Ciranggonlah yang justru pertama kali habis.
Saya pernah bertanya kepada beberapa orang pelanggan nasi liwet ini tentang rasa nasi liwet buatan Saung Ciranggon.
“Enak bangeeet…! Tidak ada duanya. Kami jadi ketagihan untuk membeli nasi liwet Saung Ciranggon lagi,” seru salah seorang yang aku lupa namanya. “Malah kami berharap agar waktu bazar diperpanjang, jangan 3 hari saja,” katanya lagi, seraya tertawa.
Hingga kini Saung Ciranggon masih aktif dalam menjalankan bisnis nasi liwetnya. Jika bisnis ini dan fasilitas saung sudah lebih lengkap, para pelanggan tidak perlu lagi memesan, cukup langsung datang saja ke tempat Saung Ciranggon berada, di Jalan Lanud S. Sukani, No. 21, RT 03, RW 11, Kampung Wates, Desa Jatisura, Jatiwangi. Kami pasti siap! Saya pribadi berharap, ke depannya Saung Ciranggon bisa lebih maju dan bisnis liwet ini semakin memiliki banyak pelanggan.
Nasi liwet merupakan makanan khas Sunda. Ketika kita makan nasi liwet dengan seadanya, kita dengan bersamaan akan belajar untuk hidup sederhana. Jadi jangan malu dan segan untuk menikmati dan menyantap nasi liwet. Kalau perlu, pesan Nasi Liwet Saung Ciranggon. Mantaaaaaaaaaaaaaaaaap !
Dari sebuah tempat sederhana itu ada cerita yang menarik sekali..
Terima kasih, Ovan, atas tanggapannya.
#asyek