19 Agustus 2012.
Hari ini tidak seperti biasanya, tanpa takbir dan huru-hara menjelang lebaran, hari dan malam berjalan seperti biasa.
Ramadhan tahun ini saya habiskan di Korea, tepatnya di Ansan. Ansan, sebuah kota di Provinsi Gyeonggi, Korea Selatan. Terletak di sebelah selatan Seoul, dan merupakan bagian dari Seoul National Capital Area.[i] Hari ini, Pukul 05.30 pagi, saya sudah bangun dan bersiap untuk berangkat ke Seoul untuk shalat Ied berjamaah di Kedutaan Besar Indonesia di sana. Jarak tempuh dari tempat saya tinggal ke stasiun terdekat kira-kira 20 menit berjalan kaki ke Stasiun Choji. Dari sana sekitar 1 jam 15 menit menuju Stasiun Saetgang (Jalur No. 9 dan melewati 25 stasiun) dan keluar di koridor nomor 3, Taman Ankara. Kedutaan Besar Indonesia Seoul sekitar 100 meter dari sana. Langit masih mendung, karena dalam beberapa hari ini Kota Ansan hujan. Jalan masih sepi, hanya beberapa mobil terlihat dan bus kota yang sudah mulai beroperasi.
Sebelumnya merujuk pada pemerintah Kota Ansan, Stasiun Gongdan di jalur Ansan (Jalur No. 4) berganti nama menjadi Stasiun Choji, atas upaya Provinsi Gyeonggi dan Kota Ansan. Nama “Gongdan” (yang berarti “kompleks industri” dalam Bahasa Korea) menyebabkan kebingungan di kalangan banyak penumpang yang menggunakan stasiun, sehingga banyak permintaan dari warga untuk mengubah nama stasiun tersebut. Bahkan nama itu tidak cocok secara geografis, karena Stasiun Gongdan jauh dari Kompleks Industri Banwol, sehingga nama tersebut tidak benar-benar melayani tujuannya. Selain itu nama Gongdan menimbulkan konotasi negatif dengan menjadikan area itu kompleks industri. Banyak warga yang menginginkan penggantian nama stasiun itu. Dan banyak juga responden yang menginginkan pergantian nama melalui sebuah survei. Atas latar belakang itu, kota ini memutuskan untuk mengubah nama stasiun sebagai bagian dari upaya meningkatkan citra kota. Menurut hasil survei, nama “Choji” adalah yang paling populer di kalangan responden survei. “Choji” adalah nama lama dari wilayah itu. Jadi kota mengusulkan penggantian nama stasiun menjadi “Stasiun Choji”.[ii]
Sebuah usaha yang sangat baik karena mengikutsertakan warganya untuk penggantian nama sebuah stasiun. Hari itu, saya sudah janjian dengan seorang kawan yang bekerja di sana untuk bertemu di Stasiun Pyeongchon pukul 7. Di Korea jam itu masih sangat pagi, dan stasiun masih terlihat sangat lengang. Dalam kereta dari Choji, sudah terlihat beberapa orang yang memakai batik, jilbab dan peci dalam gerbong-gerbong kereta. Orang Indonesia pikir saya… pasti. Suara terompet terdengar dari pengeras suara stasiun, menandakan akan ada kereta datang. Diiringi penjelasan dengan suara perempuan berbahasa Korea dan Inggris. Di bawah ini saya sertakan suara yang akan anda temukan di tiap stasiun di Korea Selatan.
Suara terompet terdengar dari pengeras suara stasiun, menandakan akan ada kereta datang. (Sumber: http://seoulsounds.wordpress.com/2011/08/17/198-new-seoul-metro-fanfare-announcement/) (Suara terompet terdengar dari pengeras suara stasiun, menandakan akan ada kereta datang. Sumber: http://seoulsounds.wordpress.com/2011/08/17/198-new-seoul-metro-fanfare-announcement/)
Tiba di Stasiun Pyeongchon pukul 07.00, saya turun di sana, tanpa keluar stasiun. Kalau saya keluar stasiun alhasil saya harus membayar lagi tiket masuk. Menurut kawan saya, tunggu saja di sana, di ruang tunggu kereta. Setengah jam berlalu, ia baru datang. “Kesiangan, abis nonton bola…,” katanya. Di selang setengah jam itu, saya berusaha mencari koneksi internet nirkabel, karena di tiap stasiun dan bahkan kereta ada pemancar ini. Ada yang gratis dan ada pula yang berbayar, semenjak saya tidak memiliki kartu SIM korea, saya pun kesulitan mencari koneksi internet. Karena cuma itu yang ada di stasiun, tidak ada telepon umum, hanya beberapa stasiun-stasiun besar saja.
Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Dari Pyeongchon menuju Saetgang, menempuh perjalanan sekitar 45 menit dengan melewati 14 stasiun. Dari Pyeongchon kami harus turun di Stasiun Dongjak (Jalur No. 9), dan transfer kereta untuk menuju Saetgang. Stasiun ini cukup besar dengan eskalator yang sangat tinggi dan jarak tempuh jalan kaki yang lumayan jauh juga. Cukup mudah untuk menjelajahi Korea, karena kemudahan informasi yang ada di tiap jalur transportasi. Terutama dalam Stasiun Subway. Sekelompok warga Indonesia di eskalator tinggi menuju ke KBRI. Di depan pintu keluar stasiun sudah ada beberapa panitia yang menunggu, dengan memberikan informasi bahwa shalat akan dimulai pukul 09.00.
“Ayo, Mas, Mbak, langsung ke dalam. Mau dimulai jam 9,” seru salah satu panitia.
Kawan saya masih di dalam stasiun untuk melakukan rutinitas paginya di toilet, jadi saya lebih dulu keluar. Sampai di atas, di Taman Ankara, sedikit saya merekam aktivitas di dekat pintu keluar dan sesekali merokok.
“Darimana, Mas?” tanya saya ke salah satu panitia yang memakai batik dan rambut panjang terikat.
“Lombok, Mas,” jawabnya.
“Ooo, berapa orang nih, Mas, kira-kira yang dateng ke sini?” tanya saya lagi sembari merekam orang-orang yang banyak juga ternyata.
“Kalau panitia di sini sih memperikirakan lima ribu-an orang, Mas, mungkin lebih. Makanya panitia menyediakan makanan segitu juga,” imbuhnya.
Biasanya KBRI menyediakan bungkusan berupa makanan kecil atau semacamnya, dan bisa dibawa pulang. Semacam besek sepulang selamatan. 5.000 orang banyak juga menurut saya, mengingat sangat banyak orang Indonesia yang berada di Korea, baik itu bekerja, bisnis ataupun sekolah. Saat ini diperkirakan 35.000 orang Korea yang berdiam di Indonesia, yang merupakan komunitas asing terbesar yang bermukim di Indonesia. Sedangkan sekitar 30.000 pekerja Indonesia yang bekerja di Korea. Menurut catatan KBRI Seoul, jumlah WNI yang tinggal/berada di Republik Korea per Desember 2008 telah mencapai angka 37.051 orang, terdiri dari TKI program pengiriman G to G (dengan visa E-9) yang mencapai angka lebih dari 19.000 orang. TKI berstatus ilegal mencapai jumlah sekitar 6.500 orang. Komposisi sebagian besar adalah TKI dan sisanya adalah mahasiswa/pekerja profesional, ibu rumah tangga. Domisili para TKI tersebar di seluruh Korea dengan beberapa konsentrasi pekerja asing antara lain di wilayah Ansan, Suwon, Bucheon, Taegu, Taejon, Uijeongbu, Ulsan dan Busan.[iii]
Kurang 15 menit lagi menuju dimulainya shalat Ied, kawan saya sudah muncul di pintu keluar, bersama 3 orang kawannya juga, kami berlima menuju KBRI, sekitar 100 meter dari pintu keluar stasiun. Sudah banyak orang-orang yang bergerak menuju ke dalam, sementara yang lainnya masih duduk-duduk di taman. Sambil merokok. Dan papan pengumuman di taman itu bertuliskan, “Dilarang Merokok”. Saya pun sudah sampai di pintu masuk samping KBRI, dan alhasil sudah penuh. Masuk ke dalam pun sulit, kawan saya bilang, tahun lalu jam 7 pun ia sudah sampai sini tetap tidak kebagian tempat. Baiklah, kami berlima hanya menunggu di sana, sementara petugas dengan kotak amal memutari kami dan orang-orang di sekitar itu. Bungkusan makanan pun sudah siap diambil selepas shalat nanti. Untung saya bawa koran, seperti biasa di rumah dulu, untuk alas sajadah agar tidak kotor.
Beberapa hari itu di Korea sedang hujan, dan saya kuatir saat Idul Fitri nanti akan hujan juga. Langit memang mendung saat mau memulai shalat, sedangkan suara takbir dan tahlil hanya sayup-sayup terdengar dari depan podium. Karena posisi kami cukup jauh di belakang. Terhalangi oleh gedung utama KBRI. Oke, orang-orang sudah mulai berdiri. Kami pun, dan orang-orang yang lain berebut tempat untuk membentuk shaf shalat, sulit juga untuk berdiri apalagi sujud. Tampaknya orang-orang sudah melakukan takbir awal, tapi suara imam tidak terdengar sama sekali. Aku hanya mengikuti sampai selesai. Dan di awal shalat, hujan pun turun. Untung hanya sebentar.
Selesai solat kami bersalaman, tak ada halal bihalal seperti biasa di rumah. Hanya kalau sesekali bertemu muka dan dekat kami pun bersalaman. Setelah itu kami bergegas keluar, sementara hujan turun lagi dan kami meneduh di samping KBRI di jajaran toko-toko. Di sana ada pendeta warga Indonesia yang berjualan nasi rendang seharga 9.000 Won dan Es The 3.000 Won. Kalau dirupiahkan masing-masing kurang lebih Rp. 73.000 dan Rp. 24.000, murah kalau kita berpikir seperti orang Korea dan sangat mahal kalau kita tetap berpikir dengan harga di Indonesia.
Selepas makan, kami pun pulang dengan jalur kereta yang sama. Menarik suasana sekarang, cukup baru, tapi saya rindu lebaran di rumah.
anyong haseong.. kamsa hamida.. samiallahuliman hamidaaa..
Amasing ya punya pengalamn berlebaran di negeri orang. Indahnya persaudaraan. :’)
jadi ngiri banget baca artikelnya pengen banget ke Korea, kan saya juga suka baca informasi wisata korea di Fanpage Korea Tourism Organization Indonesia. Asli deh jadi pengen banget bisa ke Korea.hhmmmm tapi kapan ya???
Salam kenal Pak Andang
Perkenalkan, saya Paul Yoanda, reporter Harian Rakyat Merdeka (Jakarta).
Saya ingin mengajukan permohonan untuk MEMPUBLIKASIKAN tulisan ini, di Harian Rakyat Merdeka.
Demikian permohonan ini, atas kesediaan Ibu, saya ucapkan banyak terima kasih, dan selamat beribadah.
Salam