Randublatung tidak begitu besar seperti desa-desa yang lainnya. Saat aku mengintip data tentang statistik Randublatung, desa ini penduduknya kurang dari 6000 jiwa. Desa ini mempunyai lima dukuh yaitu, Randu, Keruk, Pojok, Blatung dan Sawahan. Pada jaman Belanda, desa ini sudah dijadikan pusat pemerintahan yang disebut Kwedanan Randublatung, karena akses jalan satu-satunya yang ada di selatan bagian dari Kabupaten Blora. Kemungkinan pada waktu jaman Belanda, Randublatung merupakan pusat kontrol bagi pergerakan ekonomi yang ada di hutan belantara Kawedanan Randu. Setelah jaman mulai berkembang, pusat pemerintahan yang dulunya Kawedanan sekarang kini diganti dengan Kecamatan Randublatung.
Desa Randu kini dipimpin oleh Bapak Sutaat. Kegemarannya adalah mengumpulkan akar-akar kayu jati untuk dijadikan karya seni pahat patung dan relief. Kini nama dan usahanya menjadi lebih besar bahkan sampai terdengar di telinga para kolektor dari luar negeri. Pak Sutaat adalah seseorang yang tahu dan cepat merespon apa yang dikeluhkan warganya. Seperti halnya pembangunan jalan lorong-lorong kampung dan lapangan sepakbola. sebelumnya pemuda Randublatung selalu bermain sepakbola di pinggir sungai yang terdapat di dukuh sawahan.
Lapangan Krido Mudo yang terletak di pojok dari belakang arah jalan kantor Kecamatan Randublatung ini dulunya adalah sawah bengkok (milik) lurah yang sedang menjabat. Sejak duduk dibangku SD, aku sering main di sekitar Bengkok Lurah yang dulunya adalah lahan yang produktif. Seingatku disana masih ditanami padi meskipun hasil panennya tidak terlalu bagus. Di Desa Randu sangat sulit mendapatkan air, khususnya dilahan Bengkok Lurah yang kini dijadikan lapangan sepakbola. Hasil pertanian pun tidak sesuai dengan apa yang diinginkan para penggarap. Dahulu, di sekitar lapangan sepakbola ada perusahaan kayu yang besar milik Pak Agung. Dulu ia sangat disegani di Kabupaten Blora, karena merupakan salah satu orang kepercayaan keluarga Cendana. Seingat aku, lahan yang dekat dengan lapangan sepakbola itu dulunya merupakan hutan milik Pak Agung, namun sekitar tahun 2005 yang lalu justru dijadikan perkampungan penduduk.
Sebuah lapangan sepakbola yang diberi nama KRIDO MUDO yang menurut bahasa Jawa berarti “Tempat Pemuda” didirikan sekitar tahun 2004 lalu. Peresmian lapangan ini diawali dengan diadakannya turnamen Lurah Cup I. Waktu itu yang pertama kali berlaga di lapangan ini adalah kesebelasan Tlogo Tirto melawan Ngembak FC yang dimenangkan oleh Kesebelasan Tlogo Tirto dari Sulur Sari. Turnamen ini memperebutkan hadiah sebesar tiga juta rupiah sebagai uang pembinaan dan piala bergilir. Hingga saat ini turnamen Lurah Cup berlanjut setiap tahunnya.
Lapangan Krido Mudo telah memunculkan talenta-talenta pemuda Randublatung. Lapangan ini dapat dilihat langsung dari tiga sisi. Ketiga sisi itu tepat didepan rumah penduduk kampung baru, sedangkan sisi yang lain masih berupa area persawahan warga yang pada musim kemarau tampak seperti tanah kosong yang membentang kering di sebelah lapangan (beronan).
Kini arena pemuda telah tersedia di desa kami, hampir setiap hari lapangan ini dijadikan tempat latihan anak-anak kampung sekitar yang tergabung dalam kesebelasan Pusaka Sakti. Namun tidak semua pemuda menyukai sepakbola. Lapangan yang cukup luas ini bisa saja dijadikan pusat kegiatan yang lain seperti festival musik. Sampai saat ini belum ada konser musik yang diadakan di kampung kami. Andai saja ada promotor atau pihak Pemda yang mau mengadakan acara festival musik. Atau mungkin ada band-band papan atas tingkat nasional seperti Padi, Boomerang, Pas band atau malah Campur Sari yang banyak digemari masyarakat disini. Saya jamin tidak akan terjadi keributan dan kerusuhan jika diadakan festival/konser musik di Randublatung. Karena walau iklim disini cukup panas, namun warganya biasa hidup tentram dan sangat menyukai perdamaian.
ono sing kurang… lapangan krido mudo di waktu malam hehe…. seken…nulis maneh sing uakeh bab randu….
tetap muda bung!!!
he…he….iyo kang!!!!