Mencari kembali. Saat itu aku hanya seorang anak kecil di tahun 1985. Tidak tahu apa-apa tentang pemimpin kota Lebak. Bahkan kepala RT, RW, atau Lurah sekalipun. Aku pikir sama halnya dengan anak kecil lain yang tersebar di pelosok daerah Lebak. Dahar Modol Ulin (dalam bahasa indonesia:Makan, buang air besar, bermain) menjadi kegiatan yang membahagiakan kala itu.
Waktu itu banyak anak kecil yang memilih menggembala atau sekedar menuruti perintah orang tuanya untuk mengurus kerbau piaraan yang nilainya sebanding dengan warisan, jumlahnya paling sedikit lima ekor atau lebih. Harga jualnya sebanding dengan harga motor baru buatan Jepang, bahkan jika kerbau itu lebih dari satu, maka cukup untuk membeli mobil bak terbuka untuk angkutan getah pohon Karet ke kota. Sekarang nama penampungan getah karet menjadi pabrik sepatu Eagle yang berada di timur kota menuju Pandeglang dan Serang.
Leuwidamar dan sekitarnya menjadi tempat dimana kerbau-kerbau tumbuh subur dan beranak pinak. Rata-rata keluarga di kampungku yang terletak di sisi kota memiliki beragam piaraan dari mulai kerbau, kambing, ayam, anjing, hingga burung. Tetapi mayoritas piaraan saat itu hanyalah kerbau. Kemungkinan selain perawatannya yang mudah, kerbau bisa digunakan juga sebagai alat bajak sawah. Proses menggembalanya relatif mudah, cukup melepaskan kerbau dari kandang dan menempatkannya di lahan datar berumput banyak atau di perbukitan. Kandangnya pun tidak usah bagus-bagus, cukup membuat gubug tak berdinding beratapkan daun kirai. Pada saat mengandangkan, kerbau dibiarkan mandi lumpur agar terhindar dari gigitan nyamuk dan laron, biasanya di samping kandang dibuatkan api unggun dari akar pohon jati dan karet. Menjelang pagi, kerbau-kerbau dimandikan di sungai ditemani penggembalaannya.
Aku di ajak oleh kakak perempuanku untuk melihat kota Rangkasbitung lebih jauh sambil lari pagi. Saat itu dia baru kelas dua SMUN 1 Rangkasbitung. Berjalan di sisi jalan bersebelahan dengan rel kereta api. Aku melihat dari seberang rel sebuah kampung aneh dengan hamparan rumput yang luas diselingi rawa-rawa besar dan beberapa bangunan sekolah diantaranya gedung bertuliskan, Setia Budi, dan SMKN 1 Rangkasbitung. Ada satu tempat yang mencolok di daerah itu. Sebuah bangunan kecil mengeluarkan bau amis, tercium dari seberang jalan kereta sampai jalan raya. Tempat tersebut banyak tertambat kerbau-kerbau. Ada pula terlihat beberapa anak dan remaja duduk menunggu kerbau yang sedang merumput di balik gedung–gedung. Saat itu aku tidak yakin tempat itu sebagai tempat jagal, terlihat biasa-biasa saja. Tetapi menilik kini tempat itu merupakan tempat penyembelihan kerbau yang terjaring dari berbagai daerah pelosok kota.
Ditahun 1998 tempat itu berubah menjadi kompleks pendidikan, lahan rumput luas berubah menjadi pemukiman, tetapi tempat itu tetap terkenal dengan sebutan asal, Budak Jagal (bahasa indonesia: anak muda jagaI). Sekelompok pemuda yang di dominasi dari kampung Barangbang, dipimpin oleh kawanku bernama Philip Douglas yang sering berkelahi di zamannya di tahun 1989. Budak Jagal hilang, muncul kelompok baru anak muda bernama Kamboja yang diketuai oleh si Boy, tahun 1999.
Pemukiman itu memiliki jalan keluar masuk menuju pasar, sekarang jalan itu di sebut Blok M singkatan dari Belokan Miring, dan memiliki jalan keluar melewati Departemen Agama dan Kuburan Cina. Perubahan besar kini, lahan kosong dengan rumput yang tumbuh di sana-sini sekarang hanya tinggal pemukiman yang terkenal sebagai daerah pendidikan. Dari sekolah SMKN 1, MTSN 1, SMPN 2, hingga Universitas Terbuka Setiabudi sudah tidak ada lagi tempat aneh itu. Aku mencoba menelusuri tempat aneh itu kini. Aku mencoba meminta keterangan dari seorang sahabatku Samsail (27 tahun), ia bertempat tinggal di sebelah kuburan Tionghoa tidak jauh dari tempat aneh ini berada. Dia menegaskan, “itu hanya tempat transaksi daging kerbau ditahun 1985, sebetulnya tempat jagalnya ada di belakang MTSN 1 Rangkasbitung. Tempat transaksi itu kalau pagi memang mengeluarkan bau amis yang menyengat, ujarnya. Setiap hari aku main bola di sekitar daerah itu. Maklum saja kakekku dulu seorang pemilik kerbau juga. Keberadaan tempat itu justru tidak aneh bagiku. Ya . . . benar di situlah tempat puluhan kerbau diangon (digembala), dan siap sembelih untul di bawa ke Pasar Lama. Sekarang tempat transaksi itu menjadi kelurahan Ciujung Timur.
Sisi Kota
Tidak bermaksud membandingkan situasi Lebak dulu dan kini, aku hanyalah manusia yang melewati masa itu dan tumbuh kembang di masa 2000an. Masa kini yang mengharuskan diriku terus mencatat apa yang sebetulnya terjadi dan di mana keterlibatanku pada kejadian itu sangatlah dekat. Menggembala kerbau tak bertali yang hanya mengandalkan satu batang pohon kopi yang dipercantik oleh pisau raut di sisi kota. Aku bukan si penggembala kerbau tetapi teman dari si penggembala, dan aku saat itu hanya menggembala kambing kurus tiga ekor.
Sebaiknya aku awali sedikit dengan catatan dan pengamatan kini tentang kerbau-kerbau itu berada dan didatangkan ke Pasar. Kerbau didatangkan dari Warung Gunung, Cimarga, Gunung Kencana, Sudamanik, Leuwidamar, Bojongmanik, Sajira, Gajrug, dan Pontang, yang lalu oleh tengkulak dibawa ke tempat jagal. Tempat jagal itu sekarang berada di kompleks pendidikan belakang MTSN 1 Rangkasbitung. Kerbau di angkut oleh kendaraan bak terbuka, sesampainya di tempat jagal, kerbau disembelih dan dikuliti dan diangkut ke mobil untuk dibawa ke pasar, peristiwa itu terjadi pagi hari.
Singkat waktu, aku menemukan tempat di mana banyak kerbau-kerbau itu berada. Sekitar tahun 1980-an kerbau-kerbau itu berada di sisi jantung kota Rangkasbitung sebelah timur Pengadilan. Kebanyakan orang menyebutnya sebagai Kampung Jagal.
Menilik dari pengamatan kini, pemanfaatan daging Kerbau biasanya diolah menjadi makanan sehari-hari bagi orang-orang mampu, tetapi bagiku hanya bisa dinikmati di hari-hari tertentu saja misal hari Idul Fitri, Idul Adha, dan di hari-hari besar Islam lainya. Biasanya warga kampung iuran membeli daging kerbau. Jelasnya, satu kerbau dagingnya bisa dibagi ke sepuluh kepala keluarga. Daging kerbau diolah menjadi dendeng, sate, rendang, daging panggang, dan opor. Mengutip perkataan si penjual, “Iyeu anu narangtung di gigir aing, tukang bakso kabeh anu arek meli daging,” (“Ini yang berada di sisi saya tiga orang mau pada beli daging kerbau untuk Bakso,”), berarti menambah satu pengolahan daging kerbau menjadi Bakso.
Harga daging kerbau saat ini yang dijual di pasar Rangkasbitung berkisar Rp.60.000,-/1 kg, sedikit murah dari daging sapi yang mencapai Rp.70.000,-/1 kg. Rata-rata, menurut salah satu penjual kerbau di pasar, Arif (34 tahun) biasannya ada tiga sampai enam ekor kerbau setiap harinya yang disembelih dan siap jual di pasar. Pasar daging kerbau dibuka sekitar pukul setengah empat pagi sampai siang. Pembeli biasanya dari sekitar kota, tetapi ada juga yang dari luar kota misalkan; Warunggunung, Gunung Kencana, Cimarga, dan Leuwidamar. Sedangkan kerbau-kerbau didatangkan dari berbagai daerah, misalkan Bojongmanik, Sudamanik, Sajira, Gajrug, Pontang, Leuwidamar, dan Warunggunung.
Hingga tulisan ini dimuat kami terus meneliti lebih detail tentang kerbau-kerbau di Lebak dan hubungannya dengan MAx Havelaar yang masih belum terjawab.
saya suka tulisn mu yang ini..
fuad sayang
membaca kumpulan ingatan yang kamu rangkum di sini membuat ada perasaan hangat yang mengalir di dada saya
lalu saya berandai, jika saja kamu lebih memperhatikan struktur penulisan dan juga berbahasa dengan lebih tertata. pasti perasaan hangat itu akan menjelma menjadi beautiness… oke fuad
teruskan perjuanganmu sebagai aku yang massa seeh…jangan mumet terus ya ad..salam.
Ku natikan artikel lainnya tentang rangkasbitung, teruslah berkarya
Silakan kunjungi blog di wisnuvegetarianorganic.wordpress.com/