Sebuah perkampungan kecil dikelilingi persawahan. Hijaunya padi yang baru tumbuh tiga bulan menebar kesejukan penglihat. Dua aliran sungai kecil yang di satu titik tepat tempat aku berdiri menyatu menyerupai huruf Y. Di sisi kirinya terdapat perkampungan kecil. Di atasnya dihiasi perbukitan lebat hutan, sebuah pemukiman warga rapi tersisih di bawah lembah terhalang bukit bebatuan pemakaman umum tempo dulu. Tidak tahu persis, tetapi keterangan warga mengatakan pemakaman tersebut sebuah memiliki sejarah penting. Sisi-sisinya dikelilingi persawahan. Di tengahnya terdapat danau kecil. Kampung Koncet di Leuwidamar, sebuah nama perkampungan yang tidak banyak dikenal.
Menurut cerita Salim (85), daerah ini bekas basis pertahanan tentara rakyat yang dikomandoi oleh Jaro Karis. Siasat berdarah yang tidak tercatat dalam buku sejarah tetapi tumbuh subur menjadi dongeng pelepas tidur turun temurun yang masih hidup hingga kini. Dia adalah tokoh penting di Lebak pada masanya. Hampir semua jalur yang berbelok-belok mengelilingi sisi perbukitan di Lebak Tengah, dibuka menjadi jalan bersama warga dan pengikut setianya dengan sungguh terencana. Kendaraan pengangkut pekerja jalan, yang dulu paling ditakuti anak-anak kecil karena ragam cerita tentang mobil itu, mendapat julukan ‘mobil culik’. Kini mungkin telah menjadi rongsokan tak berguna di gardu yang menjadi titik-titik peristirahatan terakhir. Sedangkan para pekerja jalan itu berasal dari kampung sekitar situ.
Nama Koncet diambil dari kata peuncet, yang dalam Bahasa Sunda artinya memijit sedangkan dalam Bahasa Indonesia, menekan. Aliran dua sungai muda tak henti-hentinya mengalir ketika terik matahari di sisi sungai menjadi panas dan udara di atasnya naik. Sementara udara yang agak sejuk dan padat dari atas air ditarik untuk menggantikannya. Maka hembus angin yang tetap dingin dan kering bertiup ke atas perkampungan, biasanya dari Oktober sampai April. Di Laut Cina dan di bagian utara Samudra Hindia arah angin ini dibelokkan menjadi angin timur laut. Mungkin angin musim panas membawa udara yang menghisap cukup banyak air sewaktu melewati laut. Kedatangannya membanjiri Asia Tenggara sampai ke sini, dengan turun hujan berkepanjangan. Iklim semacam itu hanya mempunyai dua ragam cuaca, basah dalam musim panas, kering dalam musim hujan. Berbeda sekali dengan garis lintang tengah yang selalu berubah-ubah, mungkin itu yang bisa ditangkap atas ceritanya yang rumit untuk diterjemahkan dari primbon dan suara yang keluar dari mulut kakek tua.
Semasa kecil, sungai ini adalah duniaku. Imajinasi dan impianku, betapa sukacitanya hati memandangi jurang-jurang puluhan kilometer dari atas perbukitan. Mataku mencari pemukiman di bawah bayangan pepohonan. Iring-iringan anak kecil menjelang terik matahari membawaku ke sungai muda. Dengan tanpa sadar mengingatkanku pada sebuah permainan puluhan tahun lamanya. Gelak tawa dan canda menghapus jauh dari raut muka selaksa bermuram durja. Jelasnya terdengar tawa mereka seperti melanjutkan kemerdekaan. Dulu berjam-jam lamanya kuperhatikan perubahan bunga tebu yang berjatuhan atau merenungi pohon yang tumbuh menyendiri di tengah padang rumput atau di atas batu membukit, tanpa aku ketahui mengapa sulit memiliki kemampuan menjelaskan perasaan apakah yang merasuk diri masa lampau. Jari-jemari sungai meliuk-liuk mengikis perbukitan menyikap dataran menimbulkan massa dataran tinggi. Sementara itu gerak-gerik air dan udara menghanyutkan tanah kering yang berjatuhan dari perbukitan. Selama ini sungai membabi buta mengikis perbukitan dan mengubah bentuk persawahan yang dibuat atas hasil aliran sungai. Gaya pengikisan sungai mengukir wajah bumi dan menciptakan bentuk-bentuk yang kadang kala indah di mata manusia dan selalu aneh.
Air jernih tanpa ikan menelan tubuh kurus anak-anak yang kegerahan. Lompat sana-sini, menghempaskan air sungai ke tepian yang dihiasi pasir hasil gerusan air pada bebatuan. Rerumputan tumbuh subur menghiasi sepanjang aliran sungai. Perhatianku tertuju pada sebuah pohon yang dikerumuni anak-anak. Dari bentuknya menyerupai pohon mint. Tangkai bunganya bergerigi mirip gergaji. Pohonnya tidaklah tinggi, paling tinggi hanya sebatas lutut orang dewasa. Dedaunannya kasar tetapi mengeluarkan wangi. Jika dicium wangi daunnya mengingatkan kita pada aroma agar-agar. Jika bunga menua di pohon, batang pohonnya tetap tegar tetapi tangkainya terkulai dan hanya bunga-bunganya sajalah yang berjatuhan ke tanah. Saat itu anak-anak begitu tenang duduk di bebatuan memainkan sebuah permainan jarog. Sedangkan sebagian lainnya memainkan air sungai begitu riangnya. Wangi bunga dalam permainan jarog seperti bunga selasih.
Permainan ini diduga hanya ada di daerah tepian kota. Permainan berupa menjatuhkan bunga-bunga dengan titah dan perintah. Setangkai bunga itu diapit oleh kedua telapak tangan merapat menyerupai penghormatan bawahan terhadap atasan. Pandangan difokuskan pada sebuah tangkai bunga-bunga berwarna putih. Setelah itu dikeluarkanlah mantera dengan suara setengah bergumam. Suara dari mulut mereka berupa mantra mengenaskan: “Jarog… Jarog.. geura balik, sia, Jarog!” (Jarog… Jarog… cepatlah pulang kau!). Tutur mantera itu diulang sampai tiga kali. Bunyinya seolah pemanggilan yang begitu penting dan mendesak. Setelah tiga kali memanggil mantera, selanjutnya diucapkan kembali mantera: “Jarog, geura balik, sia… Jarog.. Jarog, bapak sia paeh dirog-rog!” (Jarog, cepat pulang kau.. Jarog… Jarog… ayahmu mati dirong-rong). Dalam permainan, jika perintah dan titah itu terdengar oleh Si Jarog, maka bunga di tangkai satu-persatu berjatuhan ke permukaan sungai hanyut terbawa arus air ke hilir. Ke sebuah reruntuhan irigasi tua di hilir sungai. Menandakan Jarog mendengarkannya. Tetapi jika bunga di tangkai itu tidak berjatuhan, maka perintah itu dinyatakan gagal dan si pemain dinyatakan kalah, selanjutnya mendapatkan hukuman untuk menyelam ke dalam sungai. Kepala-kepala mereka kini berada dalam air, tenang dan tanpa sangkaan yang bukan-bukan, membayangkan kemarin malam. Permainan ini diikuti anak-anak perempuan dan laki-laki. Tidak peduli menghabiskan banyak waktu untuk memainkan arus sungai dan Permainan jarog, mungkin bagi mereka kegiatan itu terasa jauh lebih menyenangkan. Tetapi aku yang melihat terbahak, tertawa girang bercampur rasa ngantuk karena udara saat itu terlampau sejuk.
Aku menatap diri di riak air mirip tokoh penyerobot, keji tidak berbudi, namun tanpa gaya kemegahan seperti segumpal getah karet atau paling bantar sepotong tahi kecil yang mengalir di kali. Sekalipun anak kecil bersuka cita berpuas hati, tetapi tampak setelah bermain mereka bermuka masam dimarahi ibunya yang angkuh berdiri di hilir. Anak-anak yang bermain di sungai kelihatannya kurang ajar dan nakal karena berbisik-bisik melihatku, kemudian tercebur di tempat pemandian warga. “Sungai di Lebak ini haram jadah, yang sejak dalam kandungan telah menghinakan dan mengaibkan semua orang,” gumamku karena terpeleset batu sungai saat melompati bebatuan di tengah sungai. Selang jatuh terhuyung-huyung dan bangun kembali masih sempat mengingat mereka. Mungkin orang tua mereka begitu khawatir kalau-kalau anak-anak dihinggapi penyakit murung setelah bermain jarog. Aku tersenyum bimbang sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kudengar kala itu pemenang permainan jarog mendapat musuh banyak. Kata bibiku, di daerah ini nyatanya banyak orang diperbudak oleh tuan tanah. Tapi aku yakin mental itu tidak ada hubungannya dengan permainan ‘titah-perintah’ yang sudah mereka kenal sejak kecil.
dalam waktu ini saya sangat senang meng explor cerita nyata para tokoh p[ejuang tanpa pamrih dan betul2 merasakan ada hal yang berbeda dengan orang2 pada zaman sekarang.
sungguh artikel yang mengagumkan, sukses buat agan
iyee mahh kampung urang tercinta kp.koncet
ARECCO Thea