Pak Gaek berasal dari Bukittinggi yang telah berdomisili di Kota Solok kurang lebih sejak empat puluh tahun yang lalu. Pak Gaek telah meninggal dunia, dan rumahnya kini ditempati oleh Ante Mar (Tante Mar), anaknya. Pak Gaek mempunyai enam orang anak, selain Ante Mare, yang lainnya adalah Edi, Neh, Kar, Saf, dan Lim.
Tanggal 3 Maret 2017, saya, Maria, dan Tiara mengunjungi rumah Ante Mar. Tujuan saya mengunjungi rumah Ante Mar adalah untuk bertanya-tanya tentang aia daun kacang. Ia dulu sering membantu orang tuanya menyiapkan dagangan. Sewaktu saya kecil, saya sering bermain dan melihat cara pembuatan aia daun kacang di rumahnya.
Saudara-saudara Ante Mar sampai sekarang masih berjualan aia daun kacang. Pak Edi jualan di dekat Tugu Carano, Pak Kar dan Pak Neh jualan di depan Pertokoan Bundo Kandung, Da Saf jualan di Jalan Cengkeh, dan Da Lim jualan di dekat parkiran Pasar Solok, Simpang Berok. Mereka mendapatkan resep-resep dan cara pembuatan aia daun kacang dari Pak Gaek. Pak Gaek sendiri berjualan aia daun kacang sejak almarhum masih sangat muda, dan kini usaha itu dilanjutkan oleh keturunannya.
Di dalam gerobak dorong jamu malam, biasanya ada beberapa macam nama dan ramuan tradisional Minang, antara lain aia daun kacang, cincau (agar-agar cincau), kundua batang (labu putih), ampadu tanah (sambiloto), temulawak, teh talua (teh telur), dan beberapa obat-obatan seperti obat pelancar datang bulan, dan obat kuat. Aia daun kacang diolah dari daun tujuh kacang, cincau dari daun akar kalimpanang, kundua batang dari labu putih, ampadu tanah dari daun sambiloto, dan teh talua dari telur ayam kampung atau telur itik. Cara pembuatannya pun masih dilakukan dengan cara tradisional. Alasan mereka tidak memakai alat yang praktis dan tidak banyak menguras tenaga karena mereka masih mempertahankan kenikmatan rasa yang dihasilkan melalui racikan tangan atas ramuan herbal tersebut.
Berdasarkan cerita dan contoh yang ditunjukkan Ante Mar, penyajian aia daun kacang, cincau, dan kundua batang biasanya ditambah dengan sedikit perasan jeruk nipis. Khasiat dari jamu-jamu tersebut adalah untuk meredakan panas dalam. Itu berbeda dengan ampadu tanah. Jamu jenis ini rasanya begitu pahit sehingga wajar saja orang-orang jarang ingin membelinya. Tapi, khasiat ampadu tanah bisa menyembuhkan demam berdarah, tipus, dan radang tenggorokan. Selain jamu-jamu itu, ada juga minuman lain yang tak kalah terkenal, yakni teh talua. Minuman yang terakhir ini dianggap sebagai puding bagi orang yang sedang kelelahan. Yang paling laris di antara ramu-ramuan tersebut, menurut pengamatan saya, adalah aia daun kacang, cincau, kundua batang, dan teh talua.
Di masa-masa ketika saya sering bermain di rumah Ante Mar, banyak hal yang ia ceritakan, salah satunya tentang pengalaman Pak Gaek selama berjualan jamu. Awalnya, almarhum mendapatkan resep jamu dari Inyiak. Inyiak, yang berarti ‘nenek’, adalah nenek dari Ante Mar. Sebelumnya, almarhum Pak Gaek berjualan di Bukittiggi cukup lama, tapi setelah Pak Gaek sudah bisa berdagang dan sering membantu Inyiak, akhirnya Pak Gaek memutuskan untuk berdagang dengan menggunakan bakul. Almarhum berjalan mengelilingi Pasar Aur Kuning, Bukittinggi. Setelah Pak Gaek menikah, ia memutuskan untuk pindah ke Solok dan masih melanjutkan berjualan jamu. Di Kota Solok Pak Gaek menggunakan gerobak untuk dagangannya.
Saat Pak Gaek masih hidup dan aktif berjualan jamu, biasanya pagi hari Ante Mar sudah bersiap-siap ke Pasar Raya Solok dengan menggunakan sepeda ontel untuk membeli ramu-ramuan jamu yang akan didagangkan. Setelah pulang dari pasar, Pak Gaek dan Enek, panggilan untuk istrinya (almarhum juga) mulai menyiapkan bahan-bahan yang akan diolah. Mereka bekerja sama membuat jamu. Gerobak dorong yang ada di rumah Pak Gaek ada dua, satu untuk dagangan Pak Gaek dan yang satu lagi untuk dagangan Uda Saf. Mereka selalu beriringan ketika hendak jalan ke Pasar. Pak Gaek dulu membuka lapak dagangannya di dekat perhentian bendi (delman) Tanah Garam yang sekarang sudah menjadi Pangkalan Ojek, di area Pasar Seni Modern, sedangkan Da Saf berjualan di depan Taman Kota (Syech Kukut).
Seperti yang kita tahu, Indonesia mempunyai dua musim, yakni panas dan hujan. Ketika musim hujan telah tiba, para pedagang aia daun kacang biasanya sepi pengunjung, kadang para pedagang jamu malam lebih memilih untuk tidak berjualan. Kalau pun masih tetap berdagang jamu, mereka akan mengurangi stok botol-botol jamunya. Tapi sebaliknya, ketika cuaca panas, mereka bisa melebihi dagangan dari pada yang biasanya.
Di tahun 2017 ini, ada sepuluh orang yang berdagang aia daun kacang di Kota Solok. Pedagang jamu malam lainnya yang saya tahu adalah Pak Gaul. Saya memanggilnya Pak Gaul karena gerobak Pak Gaul beda dari gerobak yang lain. Ia adalah perantau dari Bukittingi dan menyulap gerobak dagangannya seperti mobil transformer. Pak Gaul berjualan aia daun kacang sudah sejak tahun 1993, dan sekarang lapaknya sering berdiri di lahan parkir Pasar Raya Solok dekat Tugu Carano. Seperti biasa, Pak Gaul berangkat dari rumah jam 17:00. Selama perjalanan dari rumah ke pasar, biasanya ada banyak orang yang memberhentikan gerobak mobil transformer itu untuk membeli jamu Pak Gaul. Karena lama di perjalanan, ia bisa sampai di pasar sekitar pukul 18:30. Jarak tempuh dari rumah Pak Andi, nama asli Pak Gaul, ke Pasar Solok sebenarnya tidaklah jauh, hanya sekitar satu setengah kilometer. Biasanya, ia pulang pukul 00:00 setelah semua isi-isi botol di gerobak itu habis. Hanya botol-botol kosong yang dibawa pulang oleh Pak Gaul. Jika ada tanggul (polisi tidur) di jalanan yang ditempuh gerobak Pak Gaul, suara dentingan botol pun terdengar.
Jadi, dengan adanya jamu malam, ini bisa sangat membantu warga masyarakat yang membutuhkan minuman-minuam berkhasiat. Karena menurut saya, itu bisa menjadi alternatif bagi orang-orang yang mempunyai masalah dengan kesehatan. Selain itu, lahan parkir yang digunakan dari pagi sampai sore hari bisa dimanfaatkan pula. Saya berharap aia daun kacang dan jamu tradisional lainnya akan terus dilanjutkan oleh generasi selanjutnya.