Pameran yang berlangsung di Awanama Art Habitat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, ini dikuratori oleh Andang Kelana. Pengantar Andang dari segi konten dan presentasinya pada karya-karya Abi menjadi menarik, karena latar belakang si kurator sebagai seorang desainer grafis dan sesama pecandu digital. Sebagai contoh, absennya foto karya dalam katalog digantikan dengan kode QR beserta versi pendek tautan dari data gif. Seperti yang saya pernah dengar dari Andang, “Ya, karyanya Abi ada di web semua. “
Dengan karya-karya utamanya yang tak tersentuh, pameran tersebut layaknya seperti lab terbuka, berisi artefak-artefak proses dari pembuatan data gif tersebut. Beberapa karya dibuat dengan beberapa seri, seperti My Kind of Selfie atau Floating Mouse. Sementara pada mural seperti Prude dan Valium, jejak transisi gerakan tampak sengaja disisakan oleh Abi, sebagai bagian dari proses. Ada juga karya yang menampilkan data gif itu sendiri, seperti Night Walker yang ditayangkan melalui televisi.
Tidak hanya pada karya yang kasat mata, data gif sendiri menunjukkan proses berlangsungnya pembuatan. Alih-alih, merekam lukisan secara frontal, beberapa data gif menunjukkan interior dari galeri, sehingga selain mural, bangku dan kaleng cat, misalnya, juga mengalami perubahan gerak.
Abi juga melakukan eksplorasi pada medium yang digunakan untuk membuat data gif. Selain lukisan, terdapat figur yang terbuat dari resin, fotokopi pada kertas kalkir, stiker potong pada neon box, hingga benda temuan, seperti kaleng semprot aerosol. Salah satu medium juga membuat saya bernostalgia, yakni gambar pada kertas tembus pandang yang diproyeksikan dengan OHP (Over Head Projector). OHP sering digunakan pada tugas-tugas presentasi di masa SD dan SMP saya, sebelum proyektor LCD populer di sekolah-sekolah, yang saya rasa, juga sempat dialami Abi.
Berbicara tentang konten karya, Abi mengangkat tema-tema keseharian dan dihadirkan dengan gaya ala komik kartun, dengan setiap figur memiliki alterasi yang menjadi ciri khasnya, bermata empat. Seperti Don’t Forget the Cap, Cruisin with A Plant, Canned Happiness, Night Walker, linear dengan latar belakang Abi yang senang membuat mural di jalanan pada malam hari. Sisi personal dan “generasi kini” hadir pada Skating Fun, Valium, dan My Kind of Selfie. Pada karya-karya seperti Prude, Graphic Interchange, Four Eyed Rat, Mister Gut, dan Floating Mouse, terlihat eksperimentasi Abi pada kemungkinan-kemungkinan artistik untuk karakter-karakter komik, yang beberapa cukup populer, seperti Mickey Mouse dan tengkorak.
Salah satu karya yang paling menggelitik dan menyita perhatian saya adalah Merokok di Tempat Angker. Karya tersebut, menampilkan sesosok pria yang sedang merokok, dengan dua buah tengkorak di sebelahnya, digarap dengan gaya komikal Abi. Gambar ini mengingatkan saya akan salah satu ilustrasi yang kerap saya lihat di bungkus-bungkus rokok. Sebagai fragmen dari keseharian yang akhirnya menginspirasi Abi, karya ini bisa berbicara banyak, sebagai sebuah lemparan lelucon kepada kebijakan pemerintah yang menampilkan gambar-gambar tak mengenakkan di bungkus-bungkus rokok, yang konon diharapkan dapat menurunkan intensitas untuk membeli rokok, atau ingin menyampaikan konsep yang absurd dari salah satu ilustrasi tersebut. Seingat saya, makna dari ilustrasi ini pada bungkusnya adalah merokok dapat menyebabkan kematian. Dua buah tengkorak yang menatap sang pria mungkin simbolisasi dari maut yang akan menyertainya, namun hubungan antara si pria dan tengkorak tersebut diintepretasikan oleh Abi sebagai “merokok di tempat angker.” Biasanya, saya jengah dan bosan dengan gambar-gambar yang menggunakan tengkorak, namun dalam karya ini, keberadaan tengkorak justru menjadi daya tarik bagi saya, karena, terkait judul yang humoris, akhirnya membuat saya berpikir. “Iya, ya, ngapain juga ada tengkorak di samping orang merokok….”
Berdasarkan hasil wawancara saya dengan Abi, konsep pameran ini berangkat dari fenomena banyaknya karya-karya yang ditampilkan di pameran, pada akhirnya muncul juga di internet, bahkan ketika belum selesai. Format data gif, yang dalam sejarahnya, memang dikhususkan untuk internet, menjadi medium yang menawarkan berbagai potensi menarik untuk sebuah pameran seni rupa berbasis internet. Selain juga menjadi media yang kerap digunakan Abi sebagai seniman, Andang melihat interaktivitas yang bisa terbangun dengan menghadirkan gif dan juga artefak prosesnya, yang diperoleh dengan memindai kode QR. Sejalan dengan judul pameran yang diambil dari kepanjangan gif, Graphic Interchange, atau “pertukaran grafis.” “Kalo di galeri karya gak boleh dipegang, kenapa gak sekalian?” ujar Andang.
Mobile, interactivity, dan internet based menjadi kata kunci bagi pameran ini. Dengan dekatnya dan cepatnya penggunaan media sosial di masa sekarang, Abi dan Andang melihatnya sebagai arena bermain dari keseluruhan konsep pameran. “Seperti e-poster, itu sebenarnya udah lima kali diganti ketika disebar, tapi orang-orang pada gak sadar, hahaha,” kata Andang. Perubahan itu terdapat pada warna dan pergerakan mata dari dua tengkorak yang menjadi ilustrasi pada publikasi. Sebelum pameran dimulai pun, publik mendapati esensi dari data gif yang diangkat Abi, 2-6 frame dari sebuah gambar yang serupa tapi tak sama.
Dalam hitungan tahun ataupun bulan, Indonesia disuguhi dengan berbagai teknologi baru, yang disambut dengan sukacita oleh rakyatnya, terutama di ibukota dan kota-kota besar lainnya. Memiliki gawai paling mutakhir, atau setidaknya tahu, nyaris seperti kewajiban. Yang sedikit disayangkan adalah bahwa negara kita bukanlah produsen utamanya, sekalipun kita sangat melakukan selebrasi terhadap serbuan tersebut dengan perilaku konsumtif. Hal ini tidak menjadi masalah, apabila kesadaran akan media terbangun dalam diri para penggunanya. Kesadaran tersebut malahan biasanya dipelopori oleh ranah-ranah alternatif semisal komunitas atau individu kreatif seperti Abi, bukannya pemerintah. Kesadaran ini terlihat dan diukur dari pengolahan akan potensi-potensi teknologi tersebut, seperti yang dilakukan oleh Abi dan Andang.
“Penghormatan” terhadap teknologi yang lama juga ditampilkan dalam Pameran Graphic Interchange ini, seperti OHP, yang dianggap Abi sebagai nenek moyang dari digital. Beragamnya medium juga berasal dari sisi geek Abi, yang menggemari fiksi ilmiah, komik, dan seni digital. “Semua yang gue suka ada di sana,” aku Abi.
Pameran ini juga ingin mengukuhkan posisinya yang tidak ingin dilihat sebagai seorang seniman street art. Ia juga menentang anonimitas, yang sering dipakai oleh seniman-seniman jalanan lain. Menurutnya, dengan hukum yang belum jelas mengenai legal atau ilegalnya mencoret-coret tembok di ruang publik, anonimitas menjadi tidak begitu penting. “Di luar negeri kan hukumnya jelas, makanya pada anonim supaya gak ketangkep. Kalo di sini, misalnya, ada tagging-tagging-an Boedoet, yah, tinggal samperin sekolahnya, bisa ketauan siapa. Seanonim-anonimnya, pasti ketauan juga,” jelas Abi.
Terdapat pemisahan akan nama yang dibawanya, antara Abi Rama dan Lykerex. Dalam pameran ini, sebagai seniman, ia menggunakan Abi Rama, dan Lykerex adalah sebutan bagi karya-karyanya, yang didominasi dengan karakter bermata empat, sebagaimana ditulis dalam kuratorial “…alasannya sederhana, karena (Abi) berkacamata.”
Wacana kontemporer hadir pada tema-tema keseharian yang digunakan Abi dalam tiap karya, salah satunya, bisa terbaca pada Merokok di Tempat Angker. “Itu fenomena yang sekarang banget,” kata Abi. “Gambar itu yang paling gak serem dibanding yang lain, yang bikin orang-orang kalo beli rokok milih gambar yang itu.” Menurut Abi, kebutuhan orang untuk merokok tidak terpengaruh dengan ilustrasi-ilustrasi menyeramkan yang ada di bungkus-bungkus rokok sekarang, yang akhirnya, direspon dengan maraknya penjualan kotak-kotak rokok modifikasi sendiri.
Presentasi juga menawarkan sesuatu yang baru, yang belum saya temui sama sekali di pameran-pameran ibukota lainnya. “Sejauh ini belum ada,” klaim Andang. Kode QR telah jauh lama ada di Jepang dan data gif telah ada seiiring dengan mengglobalnya internet, namun perkawinan akan keduanya menjadi segar dan menunjukkan kesadaran media yang tidak terjebak dalam perilaku konsumtif yang telah disebutkan di atas. Meskipun saya sebagai spektator telah menganggap presentasi ini inovatif, ternyata Abi dan Andang juga memiliki konsep yang jauh lebih “gila” lagi namun belum tercapai, yakni augmented reality. Konsep ini menghadirkan sebuah kenyataan lain dari objek yang kita lihat secara langsung, melalui layar ponsel, misalnya. Dalam pameran ini, kenyataan ini baru sebatas diberikan melalui kode QR, sedangkan pada karya-karya augmented reality, tampilan lain bisa disaksikan dengan langsung memindai objek.
Pameran ini berlangsung dari tanggal 11-18 Oktober 2014 lalu. Karya-karya data gif-nya masih dapat dilihat sampai sekarang, sebagaimana kata Abi, setiap karya pada ujungnya akan berakhir di internet.
_____________________________
Beberapa tautan menuju karya gif Abi:
Dokumentasi milik Andang Kelana dan Abi Rama.