Menjelang sore selepas tengah hari. Dimulailah perjalananku ke selatan Rangkasbitung. Niat mencari sebuah topi adalah penyebab kepergian. Ada beberapa kawan yang memesannya. Perdagangan topi gaya laken jenis anyam telah hilang dari pasaran kerajinan tangan di Kota Lebak. Topi yang terbuat dari daun bengkoang itu memiliki bentuk melebar. Sekilas menyerupai bentuk topi yang dikenakan orang Mexico. Dulu banyak terdapat di pelosok Lebak. Para penjualnya lazim berjualan dari kampung yang satu ke kampung lainnya. Tetapi kini sudah amat jarang terlihat.
Hari Minggu di bulan Mei 2009, kendaraan setengah bus membawaku ke satu perkampungan kecil di dasar lembah perbukitan. Rimbun pepohonan meneduhi sepanjang jalan. Manakala kendaraan melambat, terdengar suara gemerisik daun bambu tertiup angin. Tanah sisi jalan ini milik Dinas Perhutanan. Lima tahun yang lalu tempat ini sering dikunjungi.
Arah ke barat menuju sebuah desa bernama Cisimeut (simeut dalam bahasa Indonesia: belalang), dan arah timur mengarah ke daerah Muncang (dalam bahasa Indonesia: kemiri). Desa Cisimeut dulunya terkenal karena populasi besar jenis serangga itu. Sedangkan Muncang, sebagaimana namanya dalam bahasa Sunda, terkenal dengan perkebunan kemirinya. Aku sendiri saat itu menuju arah timur lalu berkelok ke jalan berbatu dan muncul dari arah Muncang. Teranglah arah jalur ini bakal melewati dua pohon beringin besar yang begitu dikenal kemistisannya. Menurut warga sekitar, tempat kedua pohon itu banyak dihuni setan dan dedemit dari zaman Belanda. Beringin-beringin itu sudah ratusan tahun usianya. Bentuknya menyerupai pintu gerbang kesultanan. Kiara Lawang, begitu orang banyak menyebutnya. Tapi aku tidak dari arah sana dalam perjalanan ini. Sekadar satu pandangan kecil dari kaca jendela kendaraan. Kini kedua pohon besar itu sudah uzur. Dan tidak lagi dua, melainkan tinggal satu. Wilayah di sini terkenal rawan oleh watak keras warganya dan membuat kedua daerah itu, Cisimeut dan Muncang, banyak terdengar sampai ke Kota Rangkasbitung. Dulunya sering dituturkan, di dua daerah itu banyak terdapat pohon jati. Kini sudah beralih jadi lahan-lahan milik para tuan tanah yang kerap bersengketa dengan warga.
Sahri (77), bertutur padaku, 15 tahun silam banyak orang menemukan benda-benda mewah berharga. Menurut seorang dalam kendaraan yang kutumpangi, nilainya terbilang sangat tinggi. Sendok dan garpu makan terbuat dari emas pernah ditemukan oleh seorang pemilik tanah kala sedang memotong rumput. Tinggi rumput di setiap lahan mencapai setengah meter. Maka emas semacam itu menjadi buruan para jawara dan orang-orang Belanda zaman itu. Pada masa lalu, hutan di sekitar Kiara Lawang tabu untuk dimasuki siapa pun. Terlarang bukan sebab peraturan, melainkan karena memang banyak hewan buas dan daya-daya kekuatan mistisnya, kata si penumpang seraya meyakinkanku. Sahri terus bercerita tiada hentinya, tetapi mataku lebih suka ke luar pintu memperhatikan anak-anak di depan halaman rumah. Mereka sedang bermain gaspar. Permainan gaspar ini dilakukan oleh lebih dari dua anak. Benda permainannya yaitu lempengan batu. Gaspar hanya dimainkan oleh anak laki-laki saja. Lempeng batu pipih itu biasanya punya ketebalan 3 cm dan diambil dari sungai yang mengalir dari pegunungan di dekat desa. Bentuk dan sifat batu itu tampak keras dengan warna keabu-abuan, yang akan menghasilkan benturan sangat kuat saat kedua batu saling beradu dalam permainan.
Saat di Sekolah Dasar dulu aku sering memainkannya. Batu diletakkan di punggung kaki kanan. Lalu diayunkan penuh tenaga sambil gegas melangkah dan menghempaskannya ke batu lawan. Maka batu bertumbuk batu lain yang menghasilkan suara keras ‘gemertak’. Begitulah permainan anak-anak di halaman rumah bertanah merah itu sedang berlangsung. Mereka semua bercelana merah pendek tak berbaju. Tertawa lepas terbahak-bahak. Tak tahan dengan berisiknya suara anak-anak yang mengganggu obrolan sore hari, Si Kakek yang banyak bicara ke sana-ke mari tiada hentinya itu, bergegas pergi ke luar pintu. Ia tak lagi sanggup menahan bising gelak tawa anak-anak yang bermain. “Heh, Budak, coba seuseurinan ulah keunceng-keunceng! Engke kasurupan setan kiara lawing, Sia!” (Hey, Anak-anak, jangan keras-keras tertawanya. Nanti kesurupan setan Kiara Lawang!). Seketika anak-anak itu terdiam. Hanya bunyi gemeretak dan gumam kecil saja usai Si Kakek membentak mereka. Kami melanjutkan obrolan. Seminggu ini kampung terasa sepi senyap. Hujan kerap turun. Padahal belum lagi musimnya. Kini susah sekali menghitung musim. Kadang musim hujan menjadi musim kemarau, dan musim kemarau malah menjadi musim hujan, ujarnya. Jika melihat hitungan primbon, banyak melesetnya. Akan tetapi diramalkan abad ini memang akan begitu, abad yang selalu saja meleset.
Ramalan itu beragam isinya, mulai dari rencana, nasib, takdir, tujuan, yang banyak disukai orang. Waktu kecil, aku banyak melihat pohon jati di sekitar tempat ini. Pohon-pohon jati yang ratusan tahun umurnya. Pada lingkar akar pohonnya yang berjamahan dari pohon ke pohon, di situ juga lah adanya harta karun. Menurut Sahri, hingga kini hanya tinggal satu harta karun saja yang belum terbongkar. “Aku tidak tahu ceritanya bagaimana. Jika mau mendapatkan ceritanya datanglah ke rumah Salim Tua (seorang tokoh spiritual). Umurnya lebih tua dariku, tetapi kami sama-sama sudah mendekati kematian,” dia berkata dan tertawa hingga batuk menyerang tenggorokan. “Sebuah peti, letaknya di sebelah kanan kiara (beringin) sudah pernah ada yang menemukannya di tahun 1989,” ujarnya.
Sahri dulunya seorang pedagang ikan laut segar yang berkeliling ke tiap-tiap kampung di Cisimeut. Aku agak mengenalnya. Ikan-ikan laut didapatnya dari pelelangan ikan di Binuangeun, daerah nelayan di Lebak Selatan. Dari Sahri lah aku mendapat banyak keterangan bahwa topi anyam a la sombrero itu sekarang sudah jarang ditemukan. Cibeurih menjadi satu-satunya tempat dari beberapa kampung di balik perbukitan daerah pembuat kerajinan tangan itu berada. Tetapi karena kini sepi peminat, para perajin itu sudah tidak lagi membuatnya. Petani sekarang lebih senang memakai topi kain. Sebetulnya tidak juga begitu. “Jika ada, aku juga akan menawarnya,” sahutnya.
Selang lima hari dari acara mengobrolku dengan Sahri, ada peristiwa seorang ibu menyembelih anak perempuannya dan kemudian menghunjamkan golok dapur ke batang lehernya sendiri. Cerita itu tidak benar. Aku mencocokkan pesan itu kepada Kakek Sahri yang rumahnya berdekatan dengan peristiwa tragis itu. Diperoleh secuil keterangan yang aku sendiri bingung untuk menuliskannya. Rumah berdinding bambu anyam yang sudah rapuh itu sangat jelas terlihat dari jalan berbatu. Di depannya terhampar lapangan voli dengan sisi-sisinya yang banyak tumbuh rumpun bambu. Kabar pertama terjadinya pembunuhan itu aku peroleh dari seorang pemuda tetangga kampung. Penghuni rumah ialah sepasang suami istri yang bahagia, Romli dan Rofhi. Mereka memiliki dua anak. Anak pertama laki-laki bernama Oki (8), dan yang perempuan, Ita (5). Peristiwanya begitu cepat. Malam setelah kejadian, aku hanya bisa tahu apa yang sebetulnya terjadi, memang benar adanya. Kedatangan, kepergian, dan saat kembali lagi ke rumah itu, berulang pada sebuah tempat hunian yang semula hanya dilewati.
Tolol benar aku ini! Sering ia (Rofhi), berkata pada dirinya sendiri di malam saat berkunjung. “Orang itu sungguh malang,” ujar Sahri. Aku hanya setengah bergumam. Matanya saat itu berlinang-linang. Lupa akan Al-Qur’an yang dibacanya. Aku menatapnya sambil sandar di bilik bambu. Ingin sekali aku menanyainya, sedikitnya menyalaminya sebagai tamu, tapi tak sama sekali aku berani. Hanya dari satu jarak aku memperhatikannya di tengah riuh orang-orang melantunkan doa-doa. Matanya menerawang. Pikirannya mengawang merenungkan nasib kedua makhluk itu. Seorang suami yang cukup muda, terpelajar, yang diharapkan mampu membawakan hidup sejahtera pada keluarga dalam menghadapi masa depan yang cerah. Yang seorang lagi, seorang anak yang cantik jelita. Begitu belia, murni, teguh dan lugu, tumbuh dengan kasih sayang di antara senyum dan tawa ceria. Suatu keadaan yang mestinya disediakan bagi hidup bahagia dalam rengkuhan keluarga dan disegani oleh semua orang di lingkungannya.
Tetapi, demikianlah kenyataannya, kedua makhluk belia penuh kasih cinta beserta bayang-bayang indah dan harapan cerah itu sudah tiada. Kini tak putus sudah kenyataan telah dirundung nasib celaka ke dalam golakan darah dan air mata. Lelaki dengan leher tergores golok dapur dan lalu menggantung diri di tiang atas kamarnya itu mesti menebus sial. Padahal, sebagaimana layaknya makhluk manusia, ia membentuk keluarga dengan niat berbuat baik pada awalnya. Beragam tafsiran tentang kejadian penuh misteri itu mewarnai obrolan warga di tiap sore hari, yang intinya, lebih ingin mengemukakan kebajikan dibandingkan kejahatan. Seorang lagi, si anak lelaki, yang mati di tangan ayahnya masih terselubung rahasia. Rumah itu semula menjadi tempatnya menemukan kedamaian di kala awal pertama memasukinya sebagai penghuni. Dalam keadaan suci murni tak bernoda, si anak perempuan kini telah terbaring di bawah sana. Tapi agaknya, penderitaanlah yang menjemput kedua mahluk suci belia itu demi kemudian mengakhiri hidupnya laksana sekuntum bunga harum yang terenggut. Pada darah belianya, pudarlah rekah mekar si anak perempuan. Itu bila orang-orang yang mengaku sebagai pejabat tak dapat menyediakan tempat tenang sejahtera di bawah lindungan kebebasan yang diagungkan di Lebak. Mungkin dunia suci tersaji bagi gadis belia putri Sang Ibu. Bila nyatanya banyak saat ketika orang-orang hanya mewariskan aib kepada perempuan sebagai seorang janda. Air mata keibuan perempuan itu serta perbudakan ekonomi pada anak-anaknya yang kelak terjadi, maka perbuatan si ayah sebagai si pembunuh dan membunuh diri itu benar adanya bagi seorang ayah yang sudah tidak lagi ada. Kedua orang itu menghukum diri sendiri menuju kesucian abadi yang masih penuh sangsi.
Seperti membenamkan ke tanah merah generasi terkutuk sebuah keluarga atau sesungguhnya peristiwa itu mengesankan hal yang sebaliknya. Mungkin sebuah nilai kebaikan yang selama ini tertutup oleh desas-desus kejadian. Orang-orang setempat merasakan diri terbelenggu. Bukit-bukit bersawah, rumpun-rumpun bambu bertepi, bunga-bunga kertas dan melati, pepohonan karet dan pokok-pokok albasiah berderetan menutupi perkampungan yang sulit terlihat dari jalan beraspal. Capung dan kupu-kupu sore hari beterbangan mempermainkan udara di kesunyian hutan. Kilauan cahaya terpantul dari butir-butir air hujan pada dedaunan. Kehijauannya tersinari terangnya bulan. Dalam desir angin malam dan dalam segala apapun yang membangkitkan bayangan kasih si ibu yang sedang duka. Aku akan selalu melihat mimpi akan kebajikan hadir di perkampungan itu. Peristiwa-peristiwa itu telah meninggikan harapan murni laksana cahaya. Namun pada fakanya, duka nestapa bakal terus menunda kesengsaraan kita selalu. Entahkah peristiwa-perisiwa itu dapat dipandang sebagai kemunduran ataukah kemajuan manusia yang mendiami daerah yang sakit itu. Nyatanya aku hanya bisa mencatatnya di sobekan kertas rokok kretek saja. Menelan ludah tak berlendir ke dalam tenggorokan sebanyak mungkin.
Persoalan ini berangkai dengan deretan peristiwa lainnya dalam kehidupan sebuah desa terpencil ini. Ada penemuan mayat tak teridentifikasi tergeletak pada rakit tempat transaksi Ki Rabin di Kali Ciujung. Sebelumnya warga sepanjang sungai Ciujung dikagetkan dengan isu pembuangan bayi. Rentetan kematian itu terjadi selama seminggu. Kawan-kawan (komunitas) Saidjah merasa terpukul dengan kejadian ini tetapi kami hanya bisa membuat obrolan omong-kosong di sore hari dan terus menelisik dari sudut pandang ‘lain’. Mungkin di kelak waktu kami bisa mencatat detail itu sekalian dengan santernya suasana mistis yang belum tercatat. Semoga.
rentetan peristiwannya mengingatkan saya pada rumah mungkin…..pembawaannya yang men- dongeng.. keren
men-dongen..!?