Ruang yang aku tempati sedikit cahaya. Terlihat di balik celah pohon bambu, awan hitam berjalan pelan dari arah barat kota. Gelaplah cuaca, seketika berubah menjadi siklus sedang. Tidak lama butir-butir air yang halus berjatuhan dari langit menambah pendek jarak pandang. Sungai Ciujung bergemuruh nampak keruh. Menjadi pertanda telah terjadi hujan lebih awal di hulu sungai.
Lihatlah ragam pelatuk burung berkumis dengan aneka warna. Dia sedang asyik menghisap madu dari bunga-bunga di atas pohon jeruk nipis dan Pepaya Gandul. Gayanya seperti ketua tidak punya kaki yang mendapat makanan dari orang lain. Makhluk itu tidak merasa terganggu dipandangi lama-lama. Mereka sepertinya mengisolasi pendengarannya, menutup bening mata dalam kesunyian dan semrawutnya psikologikal si penglihat. Ragam kemasan plastik bergerak pelan di bawahnya. Berjatuhan bunga-bunga tak berguna menimpa bungkus kantong plastik gas. Samar terdengar seperti suara aliran air dari penis yang jatuh ke dedaunan jati kering. Cetak… cetik… cetok… tak! bunyinya. Pandangan mata difokuskan. Nyata-nyata gerak plastik bukan diakibatkan oleh jatuhnya bunga-bunga tetapi oleh kotoran burung dari atas batang jeruk dan pepaya. Pandanganku tidak begitu jelas saat pagi itu. Mungkin rabun bola mata ini karena terhalang lilitan kawat pagar yang baru dipasang tanggal dua kemarin. Lilitan rumit timah baja, dibeli dari pasar dua minggu yang lalu oleh kawan, hasil gaji PNS tiga bulanan. Lama tertegun. “Kalau tidak dipasang kawat, rasanya kurang tenang dari intaian si pencuri satu tahun yang lalu,” suara si pemilik rumah terdengar di belakangku beradu benturan dengan tabung gas tiga kilo yang disusun.Tembok tak berdinding di ruangan Saidjah Forum yang menyerupai layar sebuah instrumen berbahaya dan indah itu kini sudah samar terlihat. Catnya sudah memudar akibat lembabnya udara di Bulan Desember. Mungkin aku hanya berimajinasi dan hanya berekspresi dari situasi mimpi-mimpi kebohongan dunia kemarin tadi. Emosi dan insting bergejolak di atas lantai lembab mirip pohon yang sudah mati membuat kaku jemari kaki. Belumlah cukup lamunan pagi itu terjadi, tiba-tiba aku dikejutkan teriakan ibu-ibu. Aku kira suara itu ialah pedagang kue dari luar ruangan sebelah barat rumah ini, “Woouuyy…kamarana iyeu pamuda. Arek kueh moal? Masa jajana ngeun sakali doang?? (k\”Kemanakah pemuda? Mau atau tidak kue…? Masa belinya hanya sekali?”). Itu pasti Bibi Nyai (45), penjaja kue dari Jalan Kitarung yang keliling tiap paginya. Gegaslah aku membasuh muka ke ruang paling dasar rumah ini. Teriakannya samar tidak dihiraukan sama sekali.
Melepaskan uap busuk di mulut dan menggantinya dengan uap kopi di gelas kaca warung Mak Mimi (60) bukanlah mimpi. Aspal hitam lembab di belakang punggung, namanya Kitarung. Sebuah aspal penamaan hasil orang-orang dulu yang sudah tidak ada lagi kini. Jejak-jejak langkah diburu waktu terdengar di belakangku. Iringan suara laju transaksi di lorong ruang Saidjah Forum teruslah berlangsung. Gumam dan bisik transaksi dan kesulitan ibu tentang mata pencaharian akhir tahun ini. Gaduh tawa atas pembicaraan ulah tentang tetangga sebelah yang memukuli anaknya. Agung, sang penunggu pembeli, sesekali ditemani Umi pernah berkata bahwa gas itu ada rincian harganya. Untuk ukuran tiga kilogram satuannya Rp.15.000,- dan untuk ukuran lima puluh kilo seharga Rp.80.000,-. Gas yang dikeluarkan bisa mencapai lima atau enam tabung per harinya. Hanya pagi-pagilah biasanya transaksi terjadi. Terkadang pembeli bukan hanya ibu-ibu rumah tangga saja. Bapak-bapak suruhan istrinya juga ada. Jika Gas yang ada habis maka biasanya ada pemasok dari agen. Mereka keliling ke tiap-tiap penjual eceran kecil. Biasanya menggunakan mobil bak terbuka. Agen Gas biasanya diambil dari pinggir Jalan Multatuli Kembali ke tempat di mana aku duduk. Tapi sebentar dulu, sepertinya pedagang tahu di sekitar sini memang sudah dibahas oleh sahabatku. Ada belasan pabrik tahu, dan rata-rata warga tetangga kampung memiliki aktivitas berdagang. Mungkin jadi penyebab kenapa aspal di belakangku selalu ramai oleh pejalan kaki dan beberapa gerobak tahu. Jika waktu ngopi tiba, terdengar sapaan: “Ngopi yeuhhhh…!” (“Ngopi, yuuukk…!”) Aku di warung kue depan Saidjah Forum, tidak mempunyai jurang pemisah yang luas antara kemungkinan dan fakta-fakta seperti di dalam transaksi ekonomi kecil gas tiga kilo tadi. Sekedar membeli kopi dan sebatang rokok. Gerak tubuh dan benda-benda di sekeliling warung berperan langsung terhadap mata orang-orang yang lalu lalang di belakangku. Kebiasaanku dan sahabat Saidjah lain minum kopi tiap paginya seolah menawarkan untuk dilihat oleh orang-orang yang pergi ke pasar. Aku dan benda-benda yang dilihatnya secara konkret oleh mereka yang melintas. Kehadiranku mampu mengendalikan perhatian dan cara berpikir yang duduk di tangga kecil bergaris lurus dengan lorong ruang yang tertuju ke warung Mak Mimi. Kebiasaanku juga seolah mampu membius para pejalan di belakang punggungku. Mereka berucap dalam sebuah kata sindiran halus dan kekosongan makna. Dalam kekosongan nilai, kebiasaanku nampak terlihat seperti berhasil menipu. Membius penilaian bola mata mereka menjadi sebuah misteri mengenai kerja Saidjah Forum.
Aboy muda membasuh muka di ruang tak berjendela. Bagi si penglihat seolah jendela kesuksesan yang selalu terbuka atas mimpi-mimpi malamnya. Suara iring-iringan pedagang tahu dari arah barat menuju timur bercerita, terdengar seperti kelangsungan kehidupan yang sederhana mengiringi gerak pohon cabai di halam rumah Si Encie. Aktivitasnya tiap saat mengulang-ngulang seolah drama dengan kesekian kalinya. Membantuku melupakan dinginnya cuaca. Cerita yang keluar dari mulut mereka, membicarakan Kota Rangkasbitung yang gegap gempita oleh kebodohan acara seremoni Hari Jadi Kabupaten Lebak ke 181. Aku lelaki dalam kursi penonton, berbagi kegembiraan dan duka cita, kini telah lupa oleh kenyataan realis sinis. Sifat kegembiraan yang refleks karena asik melihat burung penghisap atau sekedar memperhatikan jual beli gas dengan kode teks PERTAMINA. Tetapi ketika sebuah tembok menyerupai layar banyak mengeluarkan cerita berbeda ke telingaku. Maka akupun menyikapinya dengan pandangan berbeda pula. Tentang sugesti kenaikan harga-harga yang khusus dan tentang tabung gas tiga kilogram di sisi tembok triplek yang kini sudah menghilang.
wah,,wahh..gw baru bisa coment nih fu..mantabzz abis pokoknya
mana nih, katanya mau ikut bantu menulis?
gelap amat bang….
lorongnya
————————————————
http://www.7meter.biz