Ketika cuaca tidak terlalu panas, aku memutuskan untuk pergi ke Gunung Galunggung. Motor sudah siap dan kokoh, karena dua hari yang lalu baru diperbaiki. Berangkat sendiri, memang niatnya ingin berteduh dan mungkin saja mendapat inspirasi. Tidak merasakan takut, karena tidak hanya satu atau dua kali aku ke sana. Sering, sudah merasa diterima.
Ke Galunggung seperti tidak ada bosannya. Merasa bangga. Apalagi saat remaja, ketika menjadi anggota pecinta alam, Galunggung menjadi tempat paling disukai. Dari dekat, keindahannya mengalahkan gunung-gunung lainnya yang ada di Indonesia. Terkenal di mana-mana. Lagi pula, di situlah orang Sunda memulai sejarahnya.
Ayo, kita meninjau kembali ke belakang. Menurut ahli sejarah, dulu Galunggung adalah pusat kerajaan. Hal ini didasari dengan penemuan Prasasti Geger Hanjuang yang ada di kaki pegunungan Gunung Galunggung, tepatnya di Desa Linggawangi Kecamatan Leuwisari. Masyarakat biasa menyebutnya Kabuyutan Linggawangi.
Prasasti Geger Hanjuang ditulis dengan bahasa Sunda kuno, yang bunyinya; Tra ba I gunna apuy nasta gomati sakakala rumatak disusu(k) ku batari hyang pun. Yang artinya; Di hari ke 13 bulan Badra tahun 1033 Saka Rumatak (selesai) disusuk ‘digali’ oleh Batara Hyang.
Rumatak yang biasa disebut Rumantak itu merupakan bekas pusat kerajaan Galunggung, tidak jauh dari tempat ditemukannya prasasti. Arti dari ‘disusuk’ adalah dikelilingi oleh parit untuk menahan serangan dari pihak lawan. Oleh karena itu, Batari Hyang bisa disimpulkan sebagai raja yang berkuasa di Kerajaan Galunggung turunan dari Resiguru Sempakwaja, yang mendirikan Kerajaan Galunggung. Ajaran Batari Hyang yang disebut Sang Sadu Jati itu ternyata ajaran mengenai pegangan raja-raja dan rakyatnya di kehidupan alam dunia. Yang mengherankan, pencipta ajaran itu adalah perempuan. Ini membuktikan kalau orang Sunda itu menghargai pemikiran, meskipun itu datangnya dari seorang perempuan.
Di akhir jaman, pamor Galunggung lebih terkenal lagi karena meletus tanggal 5 April 1982 sampai 8 Januari 1983. Meskipun begitu besarnya, tapi tidak ada korban jiwa akibat meletusnya gunung. Beberapa ada yang tewas, itupun karena penyakit dan kecelakaan akibat tingkah laku sendiri. Mungkin kebingungan. Nah, karena meletusnya Galunggung juga banyak jalur penerbangan udara internasional terganggu. Abu vulkaniknya masuk ke dalam mesin jet.
Sesudah berhenti dari aktivitasnya, Galunggung menjadi tujuan orang-orang yang datang untuk rekreasi atau kemping. Bukan hanya ingin melihat kawah bekas kejadian erupsi, tapi ada juga pemandian air panas. Setiap tahun, beribu-ribu orang datang ke Galunggung. Apalagi di hari Lebaran dan tahun baru, sudah dipastikan jalan menuju ke Galunggung macet total.
Sayang sekali, sekarang ini keindahan Gunung Galunggung tidak seperti pada kenyataannya. Di hampir wilayahnya, gunung-gunung kecil diratakan oleh buldoser. Sawah-sawah berbaris tidak karuan. Jalanan rusak karena dilewati truk-truk pengangkut pasir dengan beratnya melebihi kapasitas yang sudah ditentukan. Meskipun begitu, hal ini tidak membuat semua masyarakat sejahtera. Cuma satu atau dua orang saja yang mendapat untung. Itu pun kebanyakan orang kota. Masyarakat Galunggung hanya mendapatkan asap setiap harinya, ke kotoran kolam-kolam dan kali keruh seperti air bajigur. Kalau hujan, jalan-jalan itu cocok untuk memelihara ikan betok. Ya begitulah, saking tidak bisa menggambarkan tentang kerusakan yang ada.
Tiba di gerbang objek wisata Gunung Galunggung pada pukul sepuluh. Dari kejauhan, aku sudah merasakan ada yang tidak beres. Sepi, penunggu karcis hanya dua orang. Dari pihak Perhutani dan Pemda. Selebihnya ada tukang-tukang ojek yang nongkrong. Melihat ada orang yang datang, mereka sumringah. Sigap menawarkan karcis masuk. Aku menanyakan tentang kabar Galunggung yang berstatus waspada di beberapa media massa, mereka hanya menarik nafas. Meskipun ada rasa cemas, aku memaksakan untuk ke kawah.
Perjalanan terasa menakutkan. Sepertinya aku masih terpengaruh dengan gosip dari media yang memberitakan kalau Galunggung akan meletus. Sampai di tangga menuju bibir kawah, aku istirahat di warung. Bertubi-tubi pertanyaan aku lemparkan. Penjaga warung nampak kebingungan. Tapi kalau dikasih umpan, bicara juga. Jawaban mereka sama seperti jawaban penjaga tiket. Miris dengan keadaan, biasanya hari Minggu pengunjung bisa mencapai ratusan, tapi sudah dua minggu ini hampir 99% wisatawan seperti mengambek. Apalagi di Cipanas. Kalau misalnya ada yang ke kawah, itu pun saking penasarannya.
620 anak tangga sudah aku naiki. Engsel lutut serasa mau pada copot. Sampai di bibir kawah, perasaanku semakin tidak jelas. Aku mengeluarkan kamera dan foto-foto. Sepi. Hanya ada tiga warung yang buka, menatapku seakan kesal. Aku semakin merasa aneh. Tiba-tiba ada orang berkata, “Eh, kalau mau bunuh rakyat kecil sih gak usah diracun terus. Diberitakan gunung mau meletus juga, masyarakat Galunggung pasti pada mati !!!”
Aku kaget. Merasa tersindir. Sepertinya mereka mengira aku adalah wartawan. Arif dengan keadaan, aku pun mendatanginya. Sambil memperkenalkan diri bahwa aku bukanlah wartawan. Tapi aku hanya orang yang penasaran. Mendengar itu, mereka melunak. Menurut mereka, karena diberitakan terus, sudah dua minggu (sekarang minggu ketiga) kehidupan keluarga menjadi seperti kehilangan jalan untuk mencari isi perut. Lebih dari seratus warga Galunggung yang menggantungkan hidupnya dengan berjualan dan menjadi tukang ojek di sana.
Aku heran. Kata mereka, status waspada bukan lagi arti gunung akan meletus, tapi harus hati-hati dan tertib. Seperti sedang berkendara atau jalan kaki, kalau tidak hati-hati akan celaka. Begitu juga menurut penjelasan ahli Geologi, waspada itu status yang paling mudah setelah ada aktivitas dari normal. Ada lagi yang lebih atas dari itu, yaitu status siaga dan awas. Status siaga dan awas pun ada beberapa tingkatan. Seumpamanya benar, kalau namanya bencana tidak bisa ditentukan dan diprediksi kapan kejadiannya.
Benar, air danau kawah Galunggung berubah warna yang tadinya jernih berkilau menjadi kuning seperti genangan air. Aku turun ke bawah untuk memastikan, ingin memotret, namun tidak jadi, karena sudah mendapat keterangan langsung dari ahlinya, sebetulnya Galunggung masih aman kalau kita mau mengunjunginya.
Di dalam kawah yang begitu luas, menyendiri, jauh ke sana ke mari, aku bisa merasakan keadaan hati yang tenang tidak terkira. Beribu sajak terpapar di hadapan, ada yang berupa kehidupan, lahar kenyataan, dan berjuta dzikir dari ujung rumput merenung, berupa embun sepanjang masa.
mudah2an masih bannyak yg mengingat sejarahnya, melestarikan alam nya, terimakasih ilmu dan informasinya
mari kita pelihara kawasan wisata galunggung
mari kita pelihara kawasan wisata galunggung
Dimulai pada abad ke VII sampai abad ke XII di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Tasikmalaya, diketahui adanya suatu bentuk Pemerintahan Kebataraan dengan pusat pemerintahannya di sekitar Galunggung, dengan kekuasaan mengabisheka raja-raja (dari Kerajaan Galuh) atau dengan kata lain raja baru dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. Batara atau sesepuh yang memerintah pada masa abad tersebut adalah sang Batara Semplakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang yang pada masa pemerintahannya mengalami perubahan bentuk dari kebataraan menjadi kerajaan.
Para penguasa gunung dan juga para penguasa laut semua dinobatkan mejadi raja atas restu dari tokoh yang satu ini. Tidak terkecuali Ratu Kidul yang menguasai pantai selatan dan juga Sabdopalon yang menguasai gunung-gunung di jawa. Dia mengatakan bahwa sejak jaman dahulu kala, sejak masih kerajaan Pasundan, sampai Majapahit dan seterusnya dia sudah banyak sekali merestui raja-raja. Dan berkali-kali dirinya menyanggah bahwa bukan kehendaknya atau bukan kuasa dirinya menentukan siapakah yang raja dan ratu, semua sudah dipersiapakan oleh alam. Semua atas ijin Tuhan dan dirinya hanya sebagai pemberi restu saja, amanah yang dimilikinya hanya itu.