Kawan-kawan pasirputih dan beberapa partisipan akumassa Chronicle telah menanti kedatangan mereka. Tanpa basa-basi lagi, diskusi publik pun dimulai. Muhammad Gozali (Direktur pasirputih) memulai diskusi itu dengan memperkenalkan satu per satu para seniman (beserta rencana karya mereka) kepada Pak Subhan dan Pak Maswan. Setelah itu, Pak Subhan, Pak Maswan dan Pak Karnain mulai berbagi pengetahuan mereka tentang Bangsal. Mulai dari situasi Bangsal yang dahulu, hingga saat ini. Satu hal yang ditekankan oleh Pak Subhan, yakni memaknai kata “memeta”. “Apakah memeta sebagai mencari penghidupan (ekonomi) atau memeta mencari nilai-nilai kehidupan,” ujarnya. Bagi Pak Subhan dan dua kawan lain yang menyertainya, Bangsal adalah tempat mencari nilai-nilai kehidupan. Memang, banyak citra negatif yang melekat pada Bangsal, salah satunya pemberitaan media massa asing yang menyatakan bahwa Bangsal adalah sarang mafia. Akan tetapi, Pak Subhan bersama kawan-kawannya tetap berusaha untuk berperilaku baik sesuai dengan kearifan lokal yang ada.
Pak Subhan dan Pak Karnain tidak bisa berlama-lama karena ada kegiatan lain yang harus mereka lakukan. Ba’da maghrib, Pak Maswan lebih banyak berbicara tentang kegiatan-kegiatan ekonomi di Bangsal. Salah satu informasi penting yang disampaikan oleh Pak Maswan adalah Bangsal tidak pernah memiliki produk kriya khasnya sendiri, semuanya pasti ditiru dan dibuat dari luar dan dijual di Bangsal. Itu juga mungkin yang menjadi salah satu kelemahan pariwisata Bangsal. Selain itu, menurut Pak Maswan, kelemahan warga di Bangsal adalah kurangnya wawasan untuk mengemas produk-produk lokal menjadi sesuatu yang lebih bernilai dan dihargai oleh penikmat pariwisata.