Bingkai-bingkai awal jendela kereta yang berangkat dari Stasiun Tanah Abang tentu saja masih deskripsi tentang kekumuhan kota Jakarta di seputaran stasiun Tanah Abang. Sebuah metonimi tentang gambaran Jakarta hari ini, dimana gubug-gubug mencari sisa sejengkal tanah untuk bertahan hidup dari desakan industri. Seakan mengenang sinema Mrinal Sen, dimana sudah tidak memungkinkan lagi ungkapan metafora dalam wajah kemiskinan. Himpitan dan desakan kemiskinan memang sesuatu yang verbal dan tanpa basa basi. Begitu juga suasana selepas stasiun Tanah Abang menuju Rangkasbitung adalah gambaran ruang bermain anak-anak yang terancam oleh keberadaan kereta api yang melintas. Yang sedikit mengganggu bayanganku adalah, apakah narasi sepanjang perjalanan Tanah Abang-Rangkasbitung akan sama. Karena sejarah kolonialisme yang akan melintas pada bingkai kaca kereta menuju Rangkasbitung, tidak kalah eksploitatifnya.
Kereta sedikit bergerak ke arah pinggiran kota Jakarta, Kebayoran Baru, kemudian Serpong. Patahan-patahan bingkai dalam perjalanan ke arah Serpong, sedikit terasa sebuah usaha modernisasi perumahan kota di pinggiran Jakarta ini. Sekilas nampak perumahan kelas menengah, berganti cepat dengan gambaran wilayah perkampungan yang sudah terdesak oleh mobilisasi perkotaan. Mungkin di sini tidak banyak yang bisa diceritakan pada lintasan bingkai kaca kereta. Hanya sebuah pengandaian, jika satu atau dua tahun lagi aku melintasi wilayah yang sama dengan kereta ini, maka jendela kereta akan selalu berubah, akan menjadi sebuah keniscayaan, sampai pada waktunya, kota dan wilayah pinggirannya sebentar lagi akan menjadi homogen; perumahan, ruko, gedung bertingkat, beserta para aktivatornya.
Dalam duduk kereta ku ingin segera tertuju pada imaji tentang wilayah-wilayah pedesaan di seputaran Lebak dan Banten, berharap bisa menemukan realisme macam desa-desa Saidjah dalam bingkai jendela kereta dari Serpong menuju Parung Panjang. Realisme, mungkin istilah yang rapuh, seakan obyektif namun masih menggantungkan benak yang melihatnya. Yang bagiku dan mungkin kita, benak yang telah sekian lama memiliki pengalaman penindasan, sehingga identifikasi-identifikasi terhadap obyek masih mengacu pada kuasa-kuasa tertentu. Jika bagi sutradara Godard realitas adalah pantulan dari kesadaran, apakah ini adalah pantulan dari benak yang tertindas, atau benak para kaum mardika? Kegelisahanku ini membawa pengaruh dalam mengidentifikasi bingkai pada kaca jendela kereta ketika melintas di stasiun Parung Panjang. Parahnya, ini adalah persoalan batas yang menjadi entitas. Sebuah batas kultural yang telah bercampur baur dengan batas administratif kolonial. Dan nama Parung Panjang, seakan terkesan aneh, karena selain baru aku dengar, identifikasi terhadap pemandangan di seputaran stasiun Parung Panjang adalah sebuah suasana kampung yang terlihat dalam filem Si Pitung. Jalan becek yang belum beraspal, warung kopi, kebun, dan lalu lalang orangnya. Hanya kali ini yang membedakan adalah para tukang ojek yang berjejer berharap dan berebut muatan.
Dan rel kereta api menuju Rangkasbitung sudah pasti warisan kolonial, sehingga pemandangan keterbelakangan dalam bingkai jendela kereta menuju Rangkasbitung adalah menyambungkan kembali patahan-patahan ingatan kolonis itu. Kelahiran provinsi Banten sendiri mungkin masih belum terlalu terasa otentik dalam benakku. Sehingga istilah provinsi Jawa Barat pun masih banyak mengganggu ingatan dan imajiku dalam melihat realisme wilayah di seputaran Parung Panjang. Apa yang sedang kuraba dalam imaji ketika melintasi wilayah Parung Panjang adalah sebuah Pasundan, apakah Jawa Barat?, Bogor?, Banten?, Lebak? Semua menjadi tumpang tindih, dan realisme tentang identitas serasa menjadi naif, dan apakah lokalitas itu menjadi sesuatu yang otentik? Nama Parung Panjang sebenarnya masih berada di wilayah kabupaten Bogor, yang kemudian jika kita mencari kabupaten Lebak di wikipedia maka muncul nama Parungkujang, salah satu dari empat district pada masa kolonial selain Sajira, Parahiang, dan Madhoor (Madur). Pada masa kolonial, istilah district terbagi lagi antara dua sampai tiga onderdistrict, semisal district Parungkujang terbagi dua onderdistrict Parungkujang dan Kosek.
Kereta di perhentian terakhirnya stasiun Rangkasbitung pada jam 7 malam. Stasiun Rangkasbitung sudah pasti warisan kolonial dengan bahan bangunan yang masih terbuat dari kayu, dan model atap bangunan yang masih menyisakan warisannya. Di stasiun Rangkasbitung, suasana pedagang begitu ramai, mungkin konsepnya sama di mana saja di Indonesia, bahwa terminal dan stasiun adalah sasaran empuk bagi pola konsumsi pembeli yang sedang dalam perjalanan. Mulai dari tukang buah, mainan dan segala macamnya, suasana stasiun Rangkasbitung begitu padat pedagang, seperti melihat karya-karya sinema sutradara India macam Subarnarekha/The Golden Thread (1962), Ritwik Ghatak atau Apur Sansar/The World of Apu (1959), Satyajit Ray. Perjumpaan-perjumpaan realisme Asia di stasiun Rangkasbitung, lagi-lagi adalah warisan kolonial itu. Dan sialnya, bagi masyarakat kelas menengah macam aku, pemandangan tersebut malah menjadi eksotisme, drama, tragedi, bukan kalkulasi angka yang bermuara pada satu titik yang berdampak pada marginalisasi ekonomi.
Perjalanan dari Tanah Abang menuju Rangkasbitung bukan hanya menyisakan jarak waktu 1 setengah jam perjalanan kereta api Rangkas Jaya, namun juga menyisakan jarak-jarak historis tentang imaji-imaji kolonial yang pernah kita dapatkan dari membaca Max Havelaar karya Eduard Douwes Dekker (Multatuli). Rasanya Jarak kuantitatif yang cukup jauh di seputar tahun 1860an sampai dengan tahun 2009 tidak menandaskan sebuah jarak kualitatif yang cukup jauh pula. Kaca jendela kereta Rangkas Jaya, justru memperkuat bingkai tentang imaji kisah-kisah Saidjah sebagai sejarah entitas masyarakat Lebak dan sekitarnya.
Kota Rangkasbitung dibelah oleh salah satu sungai, yaitu sungai Ciujung. Pada masa kerajaan Sunda, sungai ini memiliki peranan yang cukup penting sebagai jalur transportasi dan mobilisasi ekonomi. Karena sungai Ciujung yang mengalir ke arah utara ini, menjadi sungai terpanjang di wilayah Banten, sehingga memiliki nilai strategis bagi dinamika sosial ekonomi politik di wilayah sekitarnya. Sampai hari ini, sungai Ciujung pun masih memiliki peran yang cukup penting, khususnya bagi masyarakat sekitar. Bagian penduduk yang tinggal di pinggir sungai Ciujung dimana aku sementara tinggal, rata-rata posisi sungai Ciujung berada di belakang rumah, sehingga bisa diasumsikan bahwa sungai tersebut memiliki fungsi yang berkaitan dengan hal-hal kerumahtanggaan semata, semisal mencuci, mandi, dan mungkin membuang sampah. Namun sampai hari ini, ada juga fungsi ekonomi sungai Ciujung yang masih bisa kita lihat, yaitu sebagai jalur transportasi bagi beberapa pemilik dan pedagang bambu yang berada di wilayah hulu sungai Ciujung. Sungai Ciujung selain sebagai tempat bertransaksi para pemilik dan pedagang bambu, juga sebagai sarana transportasi pengiriman bambu dengan menggunakan arus sungai Ciujung. Bisa dipastikan, wilayah utara kabupaten Lebak adalah berbasis perdagangan terakhir jika mengikuti arus sungai Ciujung ini, dan wilayah selatan adalah penghasil bambu. Sebuah analogi yang paralel jika kita memandang dinamika masyarakat wilayah lain di pulau Jawa, semua menuju ke utara, sebagai basis ekonomi politik. Atau bahkan sampai ke utara lagi sampai benua Eropa.
Keesokan hari di Rangkasbitung, imaji pertama yang muncul adalah di mana kediaman Multatuli? Nama yang kini diabadikan pada sebuah nama jalan yang melintas di Rangkasbitung ke arah alun-alun kota. Sebagai sebuah kota yang pernah dijadikan basis administrasi kolonial, Rangkasbitung masih memiliki nuansa artefak tersebut dengan masih eksisnya beberapa bangunan sisa peninggalan kolonial. Cukup aneh, kota Rangkasbitung yang pada masa kolonial memiliki nilai strategis sebagai kota administrasi yang menaungi wilayah perkebunan di karesidenan Lebak, kini nampak seperti statis dan vakum. Kesibukan masyarakatnya hanya nampak bergairah di pagi hari, karena mobilisasi pegawai negeri yang harus masuk kerja, serta beberapa pedagang pasar yang memang sudah memulai transaksinya sejak subuh.
Di depan rumah tempatku singgah di Rangkasbitung terdapat sebuah warung kecil yang menyediakan makanan. Dari menu yang disajikan pada warung tersebut, banyak terdapat makanan yang cukup otentik buatku, di antaranya gandasturi dan nasi uduk. Pemilik warung tersebut adalah bu Mimi. Saban pagi, bu Mimi selalu menyediakan jajanan pasar, untuk tiga pedagang yang akan mereka bawa ke pasar dan berkeliling. Bu mimi, seakan menjadi prototipe subyek sosial di Rangkasbitung, selain bekerja sebagai pegawai negeri. Bagiku bu Mimi cukup bersahabat, mungkin karena aku sebagai pembeli yang sering membeli di warungnya, juga karena mungkin asalku yang dari Jakarta. Sehingga rasa ingin tahu dan ingin mengenal bu Mimi padaku semakin tinggi. Di antara aku dan bu Mimi memang tidak banyak saling bicara, apa mungkin karena rasa pesimis bahwa kita berdua akan berjumpa lagi, atau memang di antara aku dan bu Mimi, masing-masing sudah mengalami pesimisme hidup.
Di malam hari, kota Rangkasbitung cukup sepi dari jam 9 malam, hanya pusat kota yang sedikit ramai oleh para pedagang makanan. Jika mengenang kota Rangkasbitung dari catatan-catatan sejarah, terkenang nama seorang sutradara dan sastrawan Misbach Yusa Biran yang berkelahiran di Rangkasbitung 11 September 1933. Kemudian nama Tje Mamat yang memainkan peran yang cukup penting dalam sejarah kemerdekaan di Indonesia. Pada Juni 1945, Tje Mamat hadir pada pertemuan para pemuda yang tergabung dalam Badan Pembantu Keluarga Peta (BPP) di Rangkasbitung dalam membahas kemerdekaan Indonesia. Pada pertemuan di Rangkasbitung tersebut, juga hadir tokoh pergerakan Tan Malaka yang menggunakan nama Ilyas Husein yang kemudian bersama Tje Mamat terpilih sebagai perwakilan pemuda Banten dalam Konferensi Jakarta Agustus 1945 menjelang kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan pasca-kemerdekaan, wilayah Banten dan termasuk Rangkasbitung sempat ingin melepaskan diri dari Indonesia karena ketidaksepahaman dengan beberapa tokoh nasional.
Gambaran van Twist dan bu Mimi seakan dekat dalam imajiku. Rangkasbitung kini, di mana sudah tidak ada pemandangan para warga yang membungkuk hormat sampai menyentuh tanah kepada sang bupati. Namun gambaran masyarakat yang membungkuk pada kenyataan masih terasa sangat terlihat sampai hari ini, karena dilemahkan. Bahwa di sisi selatan Rangkasbitung masih ada penambangan emas dan pasir, selain ada perkebunan, tapi di mana kemakmuran itu terteteskan? Seperti arus sungai Ciujung, semua menuju arah utara, dan bahkan jauh ke utara. Karena terlalu lama membungkuk, sehingga arah utara itu sampai tidak terlihat….
“Namun gambaran masyarakat yang membungkuk pada kenyataan masih terasa sangat terlihat sampai hari ini, karena dilemahkan”. Suka tidak suka aku harus memberikan penghormatan dan pernyataan pada kalimat ini. Penghormatan atas kejelian si penulis dan pernyataan ata sanggahan ketidak puasan. Orang-orang bongkok itu beberapa orang telah berdiri kini di dekat kami. Celakanya dia berdiri di atas punggung sibongkok menelusuri aliran sungai yang terkenal keruh dari zamannya maulana yusuf. nyatanya sama sekali tidak di lemahkan tetapi terijak dan menginjak jadi pijakan tanpa henti.
sayangnya piramida sosial masih lestari, terhalang oleh lestarinya alam pegunungan….. di parasitkan oleh saudagar dari utara…. para romantik itu lupa atau melupakan diri, menyusup dalam agenda langit, menjadi sulit mengidentifikasi mana tragedi, drama, atao kejahatan akutansi….
akbar
Drama bagian dari kehidupan, dan itu manusiawi. Kejahatan, keburukan seringkali bermuka nilai kebaikan dan parahnya seringkali kita terjebak akan hal itu. Grand desain apapun itu, ujung2 nya hanya untuk urusan harta dan tahta. Ya.., Paling tidak ada segelintir orang yang mencoba berdiri untuk menilai bingkaian2 peristiwa yang ada di sekelilingnya secara objektif walaupun itu masih terhalang kerumunan orang yang mabok kekuasaan, kehormatan. Multatuli orang yang sangat membeci roman tapi dia sendiri menciptakan roman….. surantap buat akbar youmi, tulisan ini akan menjadi renungan untuk saya bercermin.
Sebuah penghargaan buat Akbar atas tulisan ini, memang kadang2 kita perlu membongkar hal-hal yang seperti ini guna menumbuhkan kesadaran akan realita walau dengan untaian kata-kata.
Warisan kekuasaan dari zamannya Van Twist hingga ke jamannya Ibu Mimi bahkan sampai ke anak Cucunya sekarang ini iklimnya masih tetap terasa. Persoalan membungkuk terhadap rezim penguasa kembali timbul karena ketakutan akan kekuasaan dan penghidupan.
Apa bedanya cara membungkuk pada zamannya Van Twist dan sekarang, semuanya terangkum di dalam cerita dengan alur yang sama di samping tema-temanya yang berbeda.
ada apa di balik lestarinya alam pegunungan yang tinggi menghalangi, juga ada apa di balik lestarinya apartemen dan mall yang juga tinggi menghalangi….mari kita berhenti curhat tapi rame2 menularkan ide ‘ada apa di balik’ tersebut. yuuuuk
“Ide” “dibalik bukit itu”. acapkali banyak orang bergumam. dan kami saling mendengar dan merasakan satu sama lain. Kami bukan memuji ataupun berbagi, tetapi bereaksi. bereaksi pada persoalan yang tersembunyi dibalik atau gedung-gedung tinggi yang barusan anda katakan. tetapi reaksi saja belum cukup bukan…
betul, reaksi sja sangat ga cukup
untuk dableng…ah, hidup ini indah ya…
Warung kecil. aku hanya terusik dengan kata-kata itu saja. persoalannya mungkin sedikit dekat denganku atau dengan yang lain. Entahlah..!! tapi begitulah adanya. warung kecil apakah yang bapak maksud. Apakah warung kecil refleksi ekonomi lokal, atau hanya permulaan kata-kata manis dari sebuah gagasan saja.
(^_^)
Bapak aboy benar……. tapi istilah ekonomi lokal itu meragukan, subsisten atau basis produksi…. warung kecil dekat dengan aboy, karena mungkin sama-sama terpinggirkan… he..hehe