Ini pertengahan September. Hujan belum juga turun sejak Agustus kemarin. Tidak ada satu pun jamur-jamur di peternakan yang tumbuh. Tapi tanah seperti memiliki tabungan atas kekayaannya. Sumur-sumur penduduk belum pernah kering. Para petani tetap bernafas lega meskipun musim kemarau sedang berlangsung sedangkan gabah masih berwarna hijau. Sepertinya para petani sudah mempersiapkan hal ini. Karena aku melihat, saat itu tidak ada masalah dalam sistem pengairan di sawah.
Embun menceritakan hal itu saat aku baru datang ke salah satu penginapan di Sawarna. Pada tengah malam, di tepi sawah. Ia sedang bersenda gurau bersama teman-temannya. Bukan petir, bukan gemuruh, apalagi hujan. Teman-teman Embun yang aku kenal dipanggil Cepi, Ato, Akew, dan beberapa orang lainnya yang tak bisa kuingat. Tak perlu waktu lama untuk akrab bersama Embun dan kawan-kawannya. Mungkin karena di sini tempat wisata, sikap yang ramah dan terbuka tetap mereka jaga.
Di bawah payung rembulan, dua gelas teh mereka sajikan. Tidak banyak, tapi cukup untuk semua. Kata Cepi, dirinya tidak pernah menyangka bahwa kampungnya akan seramai ini dikunjungi orang. Ia hanya mengingat, di tahun 2010 pernah ada turis Australia yang datang dan bermain ombak dengan papan surfing seorang diri. Lalu setelah turis itu pergi, tak lama kemudian orang-orang mulai berdatangan. “Pengaruh sosial media mungkin,” aku menanggapi. Embun mengangguk seperti meng-iya-kan.
Kemudian Cepi memintaku berbagi cerita tentang Jakarta. Tak banyak yang bisa kuceritakan jawabku waktu itu, karena mereka pasti tahu apa saja yang sedang terjadi di Jakarta dari media massa. Mendengar jawabanku, Cepi meledek, “Udah cukup yang ada di sini. Jakarta punya bapak (pemimpin) baru, tapi kita punya pantai.”
Aku tertawa kecil mendengar candaan Cepi, tak beda dengan Embun yang juga merasa bangga memiliki pantai. Tidak perlu aku jawab candaan itu meski rasa iri hadir dalam hatiku mengingat macet, polusi, dan hal-hal lain yang tidak terduga selalu hadir di Jakarta. Meski begitu aku tetap suka dengan Jakarta, karena di sana aku dibesarkan.
Gelas teh masih setengah isi. Rembulan terkadang hilang ditutup awan. Aku masih duduk di tepi sawah sambil menikmati udara pantai yang rasanya sudah biasa saja bagi penduduk Sawarna. Sedangkan Embun dan kawan-kawan terus bersenda gurau dengan Bahasa Sunda yang bisaku mengerti sedikit-sedikit. Hingga akhirnya Akew dan Cepi bermain peran. Membahas persoalan retribusi yang tak jelas kemana arahnya. Akew menjadi warga yang menuntut perbaikan jalan. Sedangkan Cepi menjadi pejabat setempat yang selalu mencari alasan. Embun dan yang lainnya hanya memperhatikan dan tertawa. Begitu juga dengan aku, meskipun tak semuanya dapat kumengerti, tapi aku tahu mereka sedang membuat parodi tentang pembangunan.
Malam berlangsung dengan mesra. Meski aku baru saling kenal dengan mereka, rasanya tali pertemanan sudah berlangsung lama. Tapi sayang seribu sayang, lelah tidak bisa diajak kompromi. Akibat duduk di dalam kendaraan selama tujuh jam, punggungku memaksa untuk diluruskan. Teman-teman baruku itu juga sudah menguap berkali-kali. Sepertinya mereka saling memberi kode, bahwa waktu istirahat sudah dimulai. Benar saja, tak lama kemudian Akew meminta izin pulang dan yang lainnya ikut-ikutan.
Ombak Pantai Selatan
Matahari sudah menjulang tinggi di Sawarna. Aku dan teman-teman segera mendekati bibir pantai. Tapi panasnya bukan main, jangan harap bisa berjalan telanjang kaki di atas pasir. Jadi wajar saja jika jamur-jamur enggan tumbuh di sini sepanjang kemarau. Tapi sistem irigasi yang terjaga dengan baik tentu tidak membuat khawatir para petani. Karena bisa kulihat, meskipun panas menyengat, sawah-sawah itu tetap di aliri air dengan jumlah yang cukup. Kali ini aku tidak melihat Embun dan kawan-kawan. Mungkin mereka masih tidur, atau barangkali ada aktivitas lain yang sedang mereka lakukan selain bermain ombak di pantai.
Beberapa pondok milik warga berjejer di tepi pantai. Mereka mendirikannya untuk dagang. Tapi juga bisa jadi tempat berteduh bagi wisatawan yang lelah bermain ombak. Seperti aku dan teman-teman yang sering mondar-mandir dari pantai ke salah satu pondok. Pondok tersebut milik Kang Asep.
Kang Asep orang yang baik menurutku. Pernah kami terlalu jauh ke tengah laut saat bermain ombak. Ia segera menghampiri, menegur kami untuk lebih mendekat ke daratan. Ia khawatir jika ada wisatawan terseret ombak hingga ke tengah lautan. “Bener deh, saya gak sudi kalo temen-temen kebawa ombak. Ayo atuh, nanti sore aja main ombaknya. Kalo siang arusnya bahaya.” Waktu itu kami langsung meng-iya-kan. Segera merapat ke pondok milik Kang Asep. Menunggu angin reda dengan berbagai macam kegiatan seru, seperti membaca buku dan berbagi cerita dengan Kang Asep.
Setahuku arus laut selatan memang hebat, karena asalnya dari Samudera Hindia. Kang Asep sendiri juga tidak sedang bercanda saat memberi teguran. Katanya setelah lebaran bulan Agustus kemarin ada sembilan anak muda yang hilang terseret ombak. Kabar ini persis dengan cerita Embun semalam. Tentang kekuatan ombak Pantai Sawarna di bulan Agustus lalu. Dari seluruh korban hanya satu yang ditemukan. Karena tidak ada identitas yang dapat menjelaskan korban dan keluarga yang mencari pun tidak ada, maka warga berinisiatif menguburkannya di dekat pantai.
Kemudian Kang Asep menasihatiku untuk tidak takut dengan mitos Ratu Pantai Selatan. Menurutnya, siklus angin saat siang hari di pantai selatan selalu berputar, terkadang membentuk pusaran. Tapi saat sore hari angin itu akan mereda. “Kamu bisa lihat, nanti banyak yang main surfing. Ada juga nelayan yang mulai pergi melaut.”
Benar saja, ketika matahari terlihat seperti mau jatuh ke laut. Orang-orang mulai berdatangan mendekati ombak. Ada yang membawa papan surfing dan bola plastik. Ada juga yang bermesra-mesraan dengan pasangannya sambil membawa kamera foto untuk diabadikan. Aku dan teman-teman juga segera mendekati ombak. Tapi kami hanya ingin basah-basahan. Menikmati air laut yang masih biru sambil menikmati terpaan angin dari Samudra Hindia. Melihat petani memanen rumput laut dan nelayan-nelayan yang berangkat mencari ikan.
Perahu Nelayan
Puas bermain ombak. Aku dan teman-teman pulang ke penginapan setelah melihat matahari tenggelam. Bersih-bersih badan dan makan malam. Tapi aku tak akan bertahan lama di penginapan. Angin malam mengajakku lagi mendekati pantai. Rasanya sayang jika tidak menyaksikan bulan menggagahi malam di atas pantai. Kang Asep juga pasti menunggu, karena sebelum aku meninggalkan pantai sore tadi, ia mengajakku lagi untuk bertandang ke pondoknya. Ia berjanji akan menemaniku semalam suntuk hingga ngantuk.
Betul, Kang Asep tepat janji. Ia duduk di depan pondok menunggu kedatanganku. “Halo, Kang!” Sapaku dari jauh.
“Lama juga ya, jam sembilan baru dateng,” jawab Kang Asep. Lalu kami duduk berdua. Banyak membicarakan hal-hal remeh. Tentang musik, tentang kerajinan tangan, dan hal-hal yang menyangkut kisah masa mudanya.
Waktu muda, katanya Kang Asep itu seorang pemusik. Tugasnya mengatur tempo dengan menabuh drum. Lagu favoritnya adalah Smoke On The Water-nya Deep Purple. “Wah, waktu itu mah, kalo grup saya mainin lagu Smoke On The Water, pada joget semua penontonnya.”
“Hahaha, udah kaya artis aja, Kang,” jawabku meledek Kang Asep.
“Bener atuh, Bang. Dulu waktu di Bandung saya mah punya band. Ngumpulnya di ITB, Bandung,” kata Kang Asep berusaha meyakinkan.
“Dulu saya suka ngumpul sama temen-temen Cikini Stone Complex di Jakarta. Saya kenal betul sama anak Slank waktu mereka belum terkenal,” tambah Kang Asep.
“Paling seneng dulu kalo abis manggung lempar-lempar stick drum ke penonton. Stick yang dibagi-bagiin mah bikin sendiri dari kayu. Kalo saya mah tetep main pake stick drum yang Zildjian (salah satu merek stick drum).”
“Wah, bisa bikin sendiri Kang?” Tanyaku.
“Saya bisa bikinnya, Bang. Yang penting ada kayu, tinggal dipotong-potong terus diukir ujungnya, Bang,” jelas Kang Asep sambil memperagakan.
“Oh iya, saya mau nunjukin karya saya yang lain nih,” kata Kang Asep yang lantas masuk ke dalam warungnya.
Siang tadi Kang Asep memang sempat menunjukan salah satu kerajinan tangannya, yaitu replika papan surfing yang hampir jadi. Katanya dia bercita-cita membuat galeri kecil-kecilan yang menjual suvenir khas Sawarna dari karya kerajinan tangan. Hal ini memang belum ada di Sawarna. Warung-warung pondok yang berjejer di sini hanya menjual makanan, minuman, rokok, dan beberapa dagangan lain yang umumnya ada di setiap warung kecil.
Tak lama kemudian Kang Asep keluar lagi dari warungnya, membawa perahu-perahuan yang belum selesai dikerjakan. Perahu kecil itu merupakan replika perahu nelayan yang biasa dipakai di Sawarna. Ia belum bisa melanjutkan karyanya, karena mood-nya sedang hilang.
“Menurut Abang gimana?” Tanya Kang Asep yang minta dinilai.
“Bagus, Kang. Saya pasti suka kalo udah jadi,” jawabku.
Kang Asep tersenyum sambil membolak-balikkan karyanya. Diperhatikan setiap detailnya. Kemudian dia masuk lagi ke dalam warung. Membawa sebotol anggur merah dan dua gelas kaca berisi es batu. “Buat ngangetin badan dari angin pantai. Abang suka? Saya yang traktir,” kata Kang Asep sambil menuang anggur merah ke dalam gelas.
“Terima kasih, Kang,” jawabku sambil meraih gelas yang sudah terisi.
Cerita berlanjut di bawah payung rembulan. Katanya jika karya perahu nelayan itu sudah jadi, maka akan diberikan kepadaku dengan cuma-cuma. Katanya, jarang orang yang bisa menghargai karyanya di sini. Karena menurutnya, masyarakat sesama pedagang di Pantai Sawarna masih sering saling jegal. Ia merasa ada keirian hati dari pedagang yang lain jika dirinya bisa membuat karya kerajinan tangan.
“Saya sudi banget, Bang, kalo temen-temen yang lain pada mau belajar. Sini atuh saya ajarin. Biar kita sama-sama bisa bikin karya yang bagus-bagus. Terus kita bisa maju sama-sama. Saya malah semakin bersemangat, Bang, kalo kita bisa bersaing dari segi kualitas nantinya.”
“Aduh, bahaya, Kang, kalo udah saling jegal,” jawabku. “Mestinya malah bikin paguyuban, biar bisa bikin kebijakan bersama. Syukur-syukur bisa bikin proposal, terus diajukan ke Kelurahan.” Aku menambahkan sambil menuangkan lagi anggur merah ke dalam gelas.
“Bener atuh, Bang. Saya sepakat. Tapi pelan-pelan kali ya,” kata Kang Asep.
Aku menjawab, “Iya, semua ada prosesnya, Kang.”
“Alhamdulillah sih, warung yang persis di sebelah saya satu pemikiran. Dia udah mulai suka belajar-belajar kerajinan tangan. Semoga aja yang lainnya juga ketularan.”
Kemudian percakapan terus berlanjut hingga tengah malam. Kang Asep mengaku daerah Sawarna memang masih butuh pembangunan, termasuk dalam segi sumber daya manusianya. Ia juga berharap daerah ini bisa menjadi tempat wisata besar seperti Bali, di mana investor-investor besar mau menanam modal di atas pasir ini. Kemudian warga setempat jadi berkesempatan menjual karya lokal dan jasa.
Tapi aku tidak sepaham dengan pendapat Kang Asep. Menurutku, warga setempat harus mandiri tanpa bergantung pada pemodal dari kota-kota besar. Aku katakan padanya, intinya warga perlu membentuk paguyuban. Lalu saling berinteraksi dengan berbagi gagasan. Segala kekurangan bisa ditumpahkan dalam rapat anggota, kemudian dipecahkan bersama. Aku khawatir jika berharap pada investor dari kota besar, justru tidak memberi berkah apa pun untuk warga setempat.
Kang Asep bertahan dengan pendapatnya, begitu juga dengan aku hingga akhirnya kita membahas hal lain. Membahas rahasia cinta sambil dibelai halus angin pantai, hembusan yang tidak pernah mampir ke kota. Juga mendengar musik laut, alunan nada yang juga tidak pernah mampir ke kota.
Kemudian Kang Asep bilang, sebelum aku pulang, “Kirim kabar jika mau datang lagi. Biar saya selesaikan perahu nelayan yang belum jadi.”