Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Agot

Avatar
Written by Fuad Fauji
Serasaan dan emosi berdiam di balik nama samaran yang dibuat semasa kecil. Lantunan lagu pagi membawaku ke tempat-tempat semasa kecil tumbuh tak subur. Tidak lagi ada sesal karena semua telah menjadi kenangan, kini. Raut muka polos dan menggembirakan telah berubah menjadi kerut-merut wajah yang berkarakter. Umurnya belumlah tua, tetapi kini sebutannya sudah menjadi bapak. Anak istri yang dulu jadi obrolan omong kosong kini telah nyata-nyata nampak di depan mata. Kutemui sosok sahabat semasa kecil bernama Romli, 26 tahun, di daerah selatan Kota Lebak. Sebelum tiba di sana kusempatkan diri mampir ke rumah sahabat yang lain di Lebak Sambel, Kebon Kopi, tepatnya, dan di Sajira. Salah satu dari dua sahabat yang kini sudah pindah rumah, berbicara tanpa nada bahagia. Tuturannya cukup mengejutkan. Ayahnya yang mau kutanyai tentang dongeng permainan yang dulu banyak terceritakan semasa kecil kini sudah tidak bisa ditemui. Niatku ingin mencocokkan ingatan yang sering terputus.

patung kuda di Kebon Kopi

Patung kerbau di Kebon Kopi.

alun-alun Sajira

Alun-alun Sajira.

“Ayah meninggal dunia dua tahun lalu, di hari Jumat. Awalnya, aku sungguh berharap bahwa ia dapat hidup beberapa tahun lebih lama lagi. Aku menganggap kematiannya sebagai pengorbanan terakhir yang dibuatnya karena cinta kasihnya kepadaku. Batinku menyimpan sesal. Ia meninggal lantaran aku yang bila mungkin masih dapat menjadi seseorang. Dari semua yang telah ia warisi hanyalah setumpuk cerita kenangan akan dia, potretnya dalam keadaan yang sangat berbeda,” tuturnya. Sakit keras yang dideritanya tidak sempat dibawa ke dokter di kota. Sungguh berharga baginya, dan aku akan berusaha untuk mengekalkan kenangannya agar aman terjaga dari soal-soal kaduniaan (keduniaan). Sejenak ada jeda lama percakapan. Berbeda sekali rasanya jeda bicara antara kami berdua sebagai orang dewasa. Rasanya, keempat mata penuh dosa ini menatap ke beranda rumah. Kedua anaknya tertawa gembira bermain ’agot’. Kami dulu melakukannya.

sedang bermain Agot

Sedang bermain Agot.

Ini adalah permainan dengan batu-batu kecil yang diambil dari kali. Batu digelindingkan ke paku-paku yang banyak tertancap di balok kayu. Di sini, tubuhku terseret pada pengalaman masa lampau. Oh, mungkin aku terlalu ragu kisah-kisah ayahmu. Kala seseorang memandang apa yang dicintainya, ia membayangkan apa yang dulunya pernah ia lihat tentang segala cinta yang seperti halnya segala apa yang diketahui, adalah sekadar kenangan. Sudahlah aku tidak mau mendengarnya, tegasnya. Aku sadar, di sini kami sama-sama memandang ke depan, dan pada saat berikutnya apa yang ia rasakan dekat kepadaku juga, mengisi jiwaku dengan begitu dahsyat sehingga aku akan berubah sama sepertinya. Bagiku sendiri, nikmat nian merasakan suasana rumahnya. Aku melihatnya berbahagia, walau ia belum menjadi apa-apa.

gerbang rumah

Hampir semua anak kecil pastilah menggembala kambing pada tahun 1988 sampai 90-an, tuturnya, keluar dari mulut kawan semasa kecil yang kini sudah beranak istri. Ia bertanya tentang rumah ibuku yang berada di Leuwidamar. Mungkin sama seperti yang kau lihat kini seolah tidak ada yang banyak berubah (merujuk pada anaknya). Biasanya dulu setelah pulang sekolah, kambing bergerombol dan beberapa anak kecil akan menuju ke barat membawa semua perlengkapannya. Air minum dalam botol kaca, nasi terbungkus daun pisang dan ikan asin goreng bercampur dengan sambal terasi. Pisau kecil rapi terkemas dalam kaneron (tas pandan). Tidak akan lupa pesawat radio bertuliskan merk NOBLE tergantung di leher. Musik tersaji dalam acara bersuara. Lantunan lagu-lagu daerah, band ibu kota, hingga lagu barat sekalipun, tersaji. Iring-iringannya dimulai dari jalan batu lalu melewati irigasi yang sudah roboh diselingi siulan menyanyikan lagu-lagu semasa sekolah dasar. Jejak langkah kaki tidak beralas menyatu bersama kaki-kaki kambing ragam jenis.

sisi belakang rumah, dulu menjadi kandang kambing

Sisi belakang rumah, dulu menjadi kandang kambing.

Waktu saat itu menjelang siang sebelum sore hari. Tibalah di sebuah tempat sisi Sungai Cipeuyah. Jika kambing betina sudah dilepas dari talinya ke pematang sawah, maka kami biasanya bergegas berunding pada sebuah permainan anak kecil. Rumah-rumahan yang terbuat dari jerami. Bentuknya empat persegi, lebar dan panjangnya berkisar satu meter. Dinding dan atap terbuat dari jerami yang dijepit oleh bambu bekas pagar petani yang berada di sisi sawah. Kami biasanya menentukan satu atau dua orang sajalah perempuan yang sudah menjadi saudara dan calon keluarga selanjutnya kelak.

p5010266

Beberapa alat permainan rumah-rumahan seperti penggorengan dan panci kecil sudah disiapkan dalam tas pandan. Tutup-tutup plastik gelas kemasan sabun ini menjelma menjadi piring-piring makan bagi keluarga. Piring-piring dari tutup sabun kemasan gelas beserta gundukan tanah yang sudah dianggap sebagai nasi untuk penghidupan sehari-hari. Rumah-rumahan yang akan dibuat cukuplah tiga atau dua saja. Tetapi kami sebagai penghuni rumah bisa berubah peran. Rumah akan sama, tetapi penghuninya bisa berubah, begitulah yang terjadi setiap harinya. Susunan dalam satu rumah adalah satu keluarga bahagia yang kaya raya. Sedangkan satu lainnya seringlah dianggap sebagai pendatang yang sudah menjadi saudara atas tali pernikahan yang akan terjadi. Saat itu aku sempat kebagian peran sebagai orang pendatang. Kami memiliki status keluarga yang sama, yakni berkecukupan. Memiliki tanah yang luas, banyak ternak, kendaraan yang bisa berubah menjadi apa saja, dan beberapa batang emas yang tiada habisnya. Batangan emas yang terbuat dari lempengan batu cadas, banyak diambil dari sungai yang tidak jauh letaknya dari pesawahan. Sebuah tungku api buatan berada di belakang rumah. Sesekali mengeluarkan asap nyata karena ranting pohon kecil yang terbakar.

pekerja stum di Sajira

Pekerja stum di Sajira.

Sehabis makan kedua keluarga itu gegas duduk-duduk di depan rumah jerami. Sambil membicarakan masa depan dan harta benda. Gestur tubuh dan pembicaraan seolah sudah berusia dewasa. Saat itu bagi kami terasa mudah. Kami sering mengamati kebiasaan orang tua, mungkin itu menjadi salah satu penyebab kenapa kami begitu mudah memainkan peran-peran mereka. Pesawat radio diletakkan di sela-sela kedua rumah untuk dijadikan pembatas keluarga yang berbeda. Bukan hanya berfungsi sebagai pembatas tetapi lebih kepada pembagian pendengaran tentang dongeng pemberontakan Nambi, Lembu Sora, Kebo Anabrang dan Rangkuti. Keluargaku sangat mengidolakan Rangkuti. Dia banyak terceritakan di pembicaraan masa depan. Kelak ketika punya anak pastilah akan dibesarkan menyerupai dia. Rangkuti ialah tokoh yang berasal dari rakyat jelata, menjadi punggawa Kerajaan Majapahit yang begitu penting. Pada masa kejayaannya terkenal oleh pusaka yang dimilikinya, tombak sakti. Tombak Patmawati. Peristiwa pemberontakan demi pemberontakan di zaman Raja Kertanegara membuat kedua keluarga larut dalam imajinasi liar. Suara gegap gempita suasana kota dan permasalahannya.

jalan kecamatan Sajira kini

Jalan kecamatan Sajira kini.

Dongeng Kerajaan Majapahit keluar dari corong radio mini dengan frekuensi gelombang AM memecah realitas yang kami bikin kacau. Terkadang berbicara sesuai dengan waktu sebenarnya karena kambing menghilang dari pandangan. Cepat kembali ke sebuah realitas keluarga yang tercipta. Pecah kembali oleh cerita sandiwara radio, seolah kami tak bedaya dibawa pada realitas dongeng raja-raja Jawa. Tidaklah banyak tahu di mana stasiun radio itu. Tetapi dugaan kami sama bahwa siaran radio yang terdengar berada di Rangkasbitung. Sandiwara radio kenamaan yang banyak aku dengar di masa kanak-kanak. Tokoh yang kami dengar dan diselimuti rasa penasaran tentang Arya Kamandanu dan beberapa Mpu yang tersohor di Majapahit. Tentang perempuan Lumajang yang cantik.

suasana senja

suasana senja

Senja akan segera tiba, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain berbicara kita akan segera pulang. Rumah-rumahan dalam permainan akan menjadi saksi bisu. Usai membuat permainan rumah-rumahan, kami terhenyak karena kambing-kambing sudah luput dari pengawasan. Sesaat kami pun berpencar untuk mencari kambing. Aku saat itu hanya menggantungkan kembali radio kesayangan milik ayah di batang leher. Kami pun berusaha merapikan beberapa peralatan dan memasukannya ke dalam tas. Bergegas, dan membawa kambing ke kandangnya.

penjual bensin di sisi alun-alun Sajira

Penjual bensin di sisi alun-alun Sajira.

Sahabatku, apakah kamu tahu, kita dulu begitu peduli satu sama lain dalam sandiwara yang kita buat sendiri saat bermain mainan rumah jerami. Jalan yang kita banyak lewati sama, makanan yang kita bawa tidaklah jauh berbeda. Pakaian kita berwarna sama, merah dan putih. Cita-cita kita sama, tetapi kini bersembunyi di balik slogan kata nasib dan takdir.

Jerami yang menjelma rumah. Apa yang dibutuhkan zaman ini bukanlah seorang ‘si pengamat hebat’ yang banyak bicara, melainkan kebangkitan untuk mencipta. Rasa-rasanya kau telah merubah rumah-rumah jerami menjadi rumah nyata walau memakan waktu lama. Kini, membiarkan generasi setelahmu bersandiwara memainkan permainan agot, Rumah Jerami yang berubah.

Fuad Fauji

About the author

Avatar

Fuad Fauji

Dilahirkan di Lebak, 10 Maret 1983. Fuad Fauji menetap di Forum Lenteng Jakarta sebagai periset dan penulis seni rupa. Tahun 2005 ia dan kawan-kawan lainnya terlibat mendirikan komunitas Saidjah. Kerja video pertamanya adalah “Saidjah Project”, 2005. Pada tahun 2007 akhir, ia mendapatkan gelar S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, konsentrasi Jurnalistik. Film fiksi pertamanya “Maria”, hasil project workshop Cerpen ke Filem yang diadakan Forum Lenteng, 2008. Dia dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Kedua orang tuanya petani musiman di Leuwidamar. Kadang bertani kadang tidak. Ayahnya telah meninggal bersamaan dengan kerja residensi pertamanya di Tanjung Priuk tahun 2009. Terlibat dalam produksi teks dan video dokumenter di akumassa. Sejak tahun 2010 hingga sekarang ia bekerja dengan Dewan Kesenian Jakarta sebagai peneliti kritik seni rupa Indonesia. Bersama program akumassa dan Saidjah Forum, karya-karyanya telah diputar di berbagai perhelatan filem dan seni rupa, antara lain; Festival Film Dokumenter ke-9 (2009); The Loss of The Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2010); Decompression #10, Expanding Space and Public, ruangrupa, Galeri Nasional Indonesia – Jakarta (2010); The Decade of Reformation: Indonesian Film/Video, Artsonje Arthall, Korea Selatan; 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada; Selametan Digital, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko (2011).

8 Comments

  • doa saya menyertai kamu.. komandan. kyak’y dah layak meramaikan tulisan di journal footage nee..

  • @Badrul Munir: Terimakasih.. ini belum seberapa bila dibanding dengan senyum… belumlah seberapaaaa… Dasyatnya

    @Dableng: Wooowww… mau tuh tapi kapan yah. saya membaca aja sulit apalagi menulis di tempat gelap.

  • perlu pengembangan lagi…. Putera Sajra mantaps!!! tunjukkan pada Dunia, bahwa kita bisa dan berkompeten disegala bidang. shiip lah…..

  • sumuhun abdi geh ti sajira …janten ayena mah tos mantap tinggal gegedog na we…nu kudu eling..kamajuan teh ngan saukur aspirasi hungkul tapi kudu nyata

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.