Filem seperti kisah nelayan dalam La Terra Trema karya Luchino Visconti dan Song of The Fisherman (1934), 3 filem Trilogy of Apu-nya Satyajit Ray tentang masyarakat India, Wind Will Carry Us-nya Abbas Kiarostami, Nanook of The North-nya Robert Flaherty, The Cow karya Dariush Mehrjui dari Iran, dan La Strada, Sirkus Jalanan-nya Fellini, telah membawa mereka kepada kisah-kisah hidup partisipan di Cirebon. Penerjemahan alih bahasa ke dalam bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Forum Lenteng banyak membantu partisipan dalam merepresentasi visual dan tema yang ingin dikomunikasikan oleh sutradara-sutradara dunia itu.
Semua partisipan kurang memahami percakapan dalam bahasa-bahasa asli filem-filem itu. Juga alih bahasa Inggris-nya yang seringkali memunculkan representasi lain dari apa yang ingin dikomunikasikan oleh sutradrada. Tetapi belum semua filem-filem itu diterjemahkan alihbahasanya ke dalam bahasa Indonesia. Karena itu pada beberapa kali pemutaran, yang sedikit mengerti bahasa Inggris kemudian menjelaskan kepada kawan partisipan yang kurang mengerti. Bahkan harus di jeda-kan dulu untuk menerjemahkan seluruh teks. Membaca teks alihbahasa frame per frame juga membantu partisipan membongkar visual yang ter-beku-kan itu.
Aku Berbicara Pengalaman Menonton
Yahya Malik: Nonton film Ladri di Biciclette (Pencuri Sepeda, 1948) disutradarai oleh Vittoria de Sica (italia).
Beberapa hal yang saya dapat setelah nonton filem Ladri di Biciclette:
Penjelasan tentang awal film, di mana pada masa itu tiga tahun setelah perang dunia kedua (1945) kondisi masyarakat italia yang kalah perang. Adegan diawali oleh kerumunan orang yang menanti pekerjaan. Seseorang yang bernama ‘Antonio Ricci’ masuk dalam kerumunan dan mendapatkan panggilan pekerjaan dengan syarat harus memiliki sepeda (dimana pada waktu itu sepedanya sedang digadaikan). Saya sangat terkesan dengan isteri Ricci ketika menarik seprai kasur yang diduduki Ricci, kemudian ia mengumpulkan seprai-seprai itu untuk digadaikan. Isteri Ricci tidak berkata apa-apa. Tetapi langsung bertindak dengan bahasa tubuhnya.
Pada masa itu masyarakat Italia yang miskin menggadaikan apapun dari mulai sepeda sampai seprai yang menjulang tinggi di ruang gadai. Ricci sebagai seorang pria yang sangat mencintai sepedanya sampai pada akhirnya dia kehilangan sepedanya di hari pertama dia kerja. Ia begitu terpukul di sepanjang filem itu. Polisi yang menganggap kehilangan sepeda adalah hal biasa salah satu contohnya. Saya melihat pasar sepeda yang menjual onderdil sepeda. Saya jadi teringat dengan pasar sepeda dan sepeda motor di Kesambi. Gelandangan yang memanfaatkan hari sembahyang (Misa) orang-orang Kristiani hanya untuk mendapatkan makanan (sup). Orang-orang kaya pada saat itu memanfaatkan kekayaannya agar dapat menarik massa ke gereja. Ketika seorang ayah (Ricci) yang panik dan mulai tidak memperhatikan sekitarnya, ia pun memukul anaknya. Pertikaian itu ditengahi ketika sutradara yang mengambil momen seorang anak tenggelam untuk merekatkan kembali hubungan anak dan ayah. Adanya perbedaan pelayanan antara orang kaya dengan orang miskin di dalam restoran. Adanya perbedaan sosial antara masyarakat pekerja dan masyarakat pengangguran. Sutradara ini sangat pintar karena menyatukan potongan stock frame yang disisipkan dan dikembangkan dalam filemnya.
Kakak saya pernah kehilangan sepeda di waktu kecil. Waktu itu kakak saya disuruh beli sayuran ke warung. Di warung ada seorang bapak-bapak minta diantar ke Pasar Jagasatru. Lalu kakak saya mengantarnya. Sesampainya di sana, kakak saya disuruh membeli plastik yang tokonya berada di dalam pasar. Kakak saya mengikuti perintah itu dan ketika keluar dari pasar, sepeda dan bapak-bapak itu sudah tidak ada. Pengalaman lain yaitu setiap hari Minggu pagi, saya dan kawan-kawan berkeliling kota dengan sepeda-sepeda tua yang semakin sedikit di kota Cirebon. Terutama sepeda-sepeda langka yang banyak dibeli dan dibawa ke Jakarta oleh para kolektor. Makanya kami (saya dan kawan-kawan dari Gardu Unik) menyatakan ketidaksetujuan ketika seseorang dari Jakarta ingin membeli sepeda tua dan membawanya ke Jakarta.
Yahya Malik: Nonton film GĀV (The Cow)
Film yang disutradarai oleh Dariush Mehrjui (Iran) di tahun 1969 itu tentang sebuah desa di Iran. Dimana ada seorang pria bernama Hassan yang memiliki sapi dan ia membeli sapi itu dengan mengumpulkan uang dengan susah payah. Si Hassan itu adalah seorang pria yang sangat disegani di desanya. Hassan sangat sayang kepada si sapi itu, minum bareng di kolam, makan rumput bersama di kandang sambil bersenandung, hingga tidur pun ia satu ruangan bersama sapi itu. Ketika suatu hari ia pergi untuk berperang ia menitipkan sapi itu kepada istrinya untuk dirawat. Saat ia pergi ternyata sapi itu meninggal dan sang istri menangis karena tidak terbayang apa yang akan terjadi apabila suaminya tahu sapinya mati. Karena masyarakat tahu bagaimana sayangnya Hassan kepada si sapi dan merasa kasihan kepada Hassan maka masyarakat berusaha menutupi kematian si sapi dengan menciptakan sebuah kebohongan bahwa sapi itu telah hilang.
Namun ada seorang idiot yang tidak mengerti dengan maksud masyarakat itu. Dan untuk berjaga-jaga, takut apabila si idiot itu membocorkan rahasia masyarakat maka masyarakat sepakat untuk mengurungnya di ruang bawah tanah. Saat hassan pulang, masyarakat mulai panik dan mayoritas di antara mereka memilih untuk tidak terlibat dengan masalah itu. Saat Hassan pulang ke rumah sang istri tidak berani bilang kepadanya, lalu sang suami berkata, “Sudahkah kau memberi minum si sapi?” Sang istri tidak berani mengatakan apa yang terjadi lalu si suami marah dan mengambil ember untuk menimba air di tengah desa. Masyarakat yang tidak tahu bahwa si istri belum mengatakan kejadian tentang sapi itu maka masyarakat mulai panik dan menghampiri si Hassan untuk bilang bahwa sapinya telah hilang. Hassan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Eslam sebagai wakil masyarakat untuk mengatakannya pada Hassan apa yang sebenarnya telah terjadi. Lalu si Hassan menghampiri kandang sapi dan shock dengan apa yang ia lihat kalau sapinya sudah tidak ada di kandangnya. Hassan menuduh kalangan Bolouris yang mencurinya. Ia pun mulai gila dan merasa dirinya adalah sapi, bukan Hassan lagi. Saat masyarakat mulai tidak tahan dengan kegilaan si Hassan maka masyarakat mengaraknya ke tengah desa. Seperti di adegan pembuka film ketika si idiot diarak oleh masyarakat desa karena kebodohannya. Kasetnya kemudian macet. Nge-DJ. Jadi saya ngga tahu apa yang selanjutnya terjadi . . .
Dari apa yang saya lihat, saya dapat menyimpulkan:
- Sekumpulan masyarakat yang kurang beradab memperlakukan orang idiot dan membiarkan anak-anak mereka menonton perlakuan masyarakat terhadap orang idiot itu. Saya jadi teringat beberapa cerita tentang bagaimana orang tua di Cirebon memperlakukan anaknya seperti itu;
- Karena merasa kasihan masyarakat melakukan kebohongan;
- Masyarakat dapat menutupi kebenaran yang dimiliki oleh satu orang;
- Kebenaran yang hakiki ada pada orang yang dianggap tidak memiliki kekuatan atau kurang waras, si idiot;
- Si pemimpin (Hassan) akhirnya menjadi si idiot juga karena kecintaannya yang berlebihan kepada harta benda yang ada dalam film ini yaitu, si sapi.
Agung Sentot Winnetou
Saya paling suka filem sirkus-sirkus-an itu. Filemnya lucu dan ada terjemahan subtitle Indonesia-nya. Sedikit-sedikit tertawa geli. Perempuan itu lugu banget. “Aku adalah seniman jalanan,” kata-kata itu saya suka sekali karena saya ingat belum bayar kos-kos-an dua bulan dan akan diusir oleh ibu kos.
[Filem yang dimaksud oleh Atot (nama panggilan Agung Sentot Winnetou) itu adalah filem La Strada karya Federico Fellini]Riezky Andhika Pradana
Saya suka berkhayal untuk sendirian berada di kutub. Menyenangkan dengan segala kesederhanaannya. Berteman dengan penguin, singa laut, beruang kutub. Terisolasi dari kebisingan. Tetapi setelah menonton Nanook of The North karya Robert Flaherty, saya membatalkan khayalan itu. Menyengsarakan sekali kalau saya hidup seperti mereka. Harus berebut dengan singat laut. Bangun rumah (iglo) susah sekali. Pokoknya, apa yang sebelumnya saya bayangkan itu menjadi hancur. Tapi saya kagum dengan kehidupan mereka (orang-orang Eskimo). Mereka tidak merasakan susah, tetapi selalu senang setiap hari.