Setengah bungkus rokok, tiga teh botol, suara tembakan dan ledakan bom yang terdengar dari setiap loudspeaker, bunyi ctak ctek dari keyboard, teriakan semangat, keluhan kecewa, serta umpatan dan tawa terdengar begitu nyaring.
Situasi tersebut mengiringi perbincangan saya dengan seorang kenalan baru, ketika kami duduk berkumpul di tengah-tengah ruangan dan dikelilingi oleh belasan komputer yang dioperasikan olen brainwares yang fokus dan tidak mau diganggu. Perang senjata di dunia maya menghipnotis mereka, sehingga tidak menghiraukan ‘konferensi’ kami, karena suara kami terlanjur hilang ditelan kebisingan suara dan kehebohan dari sebuah game online.
Hari itu, saya dan teman saya, Ageung, melakukan kegiatan yang kami sebut sebagai ‘menyasarkan diri ke tengah Jakarta’. Bagi saya, yang belum lama menjalani profesi sebagai mahasiswa di Ibukota, kegiatan ini adalah suatu hal yang sangat menarik hati. Dari angkutan umum ke angkutan umum, bermodalkan tanya sana-tanya sini, tidak memikirkan secara pasti arah yang akan dituju, yang ada di dalam kepala hanyalah ‘yang penting menyasarkan diri’.
Kegiatan yang kami lakukan hari itu memberikan efek yang hampir sesuai dengan namanya. ‘Menyasarkan diri ke tengah Jakarta’, bukannya ke tengah, kami malah tersasar ke pinggiran Ibukota. Tepatnya di perbatasan Tangerang dengan Jakarta. Kami turun dari sebuah angkutan umum D.15 jurusan Lebak Bulus-Pamulang di depan Universitas Terbuka, di waktu jemaah masjid telah selesai melaksanakan Sholat Isya. Kami tiba di sebuah warnet (warung internet) bernama B@YU.net, tepatnya di Jalan Kemiri, Kelurahan Pondok Cabe, Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan. Pemiliknya bernama Bayu, adalah teman Ageung di kota asalnya, Sukabumi.
Sebelumnya, saya ingin bercerita bahwa saya juga mempunyai warnet di Pekanbaru, yang sekarang dijaga oleh seorang pegawai di bawah pengawasan saudara saya, Hauza. Warnet itu sebenarnya adalah milik Koperasi RW 03, koperasi yang ada di wilayah Rukun Warga (RW) tempat tinggal saya yang di Pekanbaru, tetapi otoritas kepengurusannya diserahkan kepada ayah saya, yang kemudian diberikan lagi kepada saudara kandung saya. Ya, jadi saya katakan saja bahwa warnet itu adalah warnet saya, warnet abang saya, Si Hauza, lebih tepatnya.
Sewaktu masih di Pekanbaru, saya sering menjadi operator-nya, dari pagi hingga malam. Jadi saya sudah sangat familiar dengan apa yang dinamakan warnet dan juga bagaimana suasana dan lingkungannya. Baik di Pekanbaru maupun di Jakarta, bahkan saya yakin hampir di seluruh wilayah di Indonesia, sebuah warnet yang terletak di pinggir jalan selalu penuh dengan parkiran sepeda motor dan pelanggan (anak-anak, remaja, dan dewasa), kehebohan game online, serta kesibukan orang untuk mencari informasi, mengerjakan tugas, atau mencetak dokumen-dokumen ke dalam lembaran-lembaran kertas. Kehebohan game online itu juga saya temukan di warnet Bayu, teman lama Ageung di Sukabumi yang baru saya kenal malam itu.
Ada yang ingin saya utarakan di sini, yaitu saat saya pulang dari warnet Bayu malam itu, saya berpikir tentang warnet. Warung Internet. Mengapa tidak disingkat dengan sebutan ‘WARIN’ saja? Karena warung tegal disingkat menjadi WARTEG dan warung telekomunikasi disingkat menjadi WARTEL. Hal ini mendorong saya untuk mencari infromasi tentang sejarah asal kata tersebut, tentunya melalui internet.
Ternyata, perdebatan antara ‘warnet’ dan ‘warin’ ini sempat populer di tahun 1997-1998 di antara para aktivis Internet Indonesia untuk menyebut sebuah kios yang memberikan jasa sewa komputer yang bisa mengakses jaringan internet. Kegiatan membuka usaha warnet mulai menjamur antara tahun 1996 sampai tahun 1998. Kata ‘warnet’ berhasil mengalahkan kata ‘warin’ disebabkan oleh .net (akhiran dari kata internet) adalah istilah yang menarik dalam jaringan internet itu sendiri sehingga menjadi populer di kalangan para pengguna dan aktivis Internet Indonesia. Sampai sekarang, masyarakat umumnya menyebut kios-kios yang memberikan jasa sewa komputer untuk mengakses jaringan internet dengan sebutan WARNET.
Menurut sejarahnya, berdasarkan berbagai artikel di media online, dikatakan bahwa warnet pertama yang ada di Indonesia dibangun pada Juli 1995, ketika PT BoNet Utama, yang merupakan ISP (Internet Service Provider) swasta ke dua setelah Indonet Jakarta, mendirikan sebuah kantor di Cafe Botanicus di tengah Kebun Raya Bogor, yang secara tidak langsung memberikan jasa sewa komputer kepada para turis yang datang ke Kebun Raya Bogor untuk mengakses jaringan internet. Selama rentang waktu antara 1996-1998, terdapat beberapa dominator yang menjadi pionir warnet pertama di Indonesia, antara lain adalah BONET dari PT. BoNet Utama, Wasantara dari PT. Pos Indonesia dan POINTER dari Computer Network Research Group (CNRG) ITB.
Kembali pada warnet Si Bayu. Pemilik dari warnet ini bernama lengkap Bayu Bulan Purnama. Saat saya nongkrong di warnetnya, dia bercerita banyak hal tentang pengalaman hidupnya. Mulai dari cerita saat dia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Umum (SMU) di Sukabumi bersama Ageung, pengalamannya saat bekerja di Malaysia, peristiwa-peristiwa mendebarkan saat dia menjadi korban pelaku kriminal di malam hari, dan tentunya tentang warnet miliknya itu.
“Dulunya yang gue punya counter handphone yang di depan itu (di depan warnet),” cerita Bayu. “Tapi bokap (Ayah-Red) bilang mau buka usaha warnet, jadi gue disuruh nyari-nyari tempat lah, istilahnya, di Jakarta. Jadi waktu itu gue ngobrol-ngobrol dengan abang yang punya warnet di belakang kios handphone gue, eh, tenyata dia mau jual warnetnya. Jadi, ya gue beli. Warnet ini masih baru, sekitar satu setengah tahun yang lalu.”
“Lu beli dengan harga berapa?” saya bertanya.
“Delapan puluh juta, sekalian dengan tower-nya,” jawab Bayu.
“Lu yang jaga?”
“Nggak selalu. Kadang Pak Imat, pegawai gue, dia hobi main game. Jadi pas dia datang, gue cabut. Biasanya kami ganti shift secara tidak terjadwal. Dia mau jaga warnet hampir seharian karena dia suka main game, jadi jaga bangku operator sambil main. Tapi kadang-kadang kesel juga, terlalu asyiknya dia dengan game, kadang jadi lupa sama pelanggan. Kadang orang mau nge-print, dia pura-pura cuek sambil main game,” Bayu menjelaskan sambil tertawa.
“Kenapa lu pilih buka internet di pinggiran kota?”
“Karena lebih menjanjikan. Kalau di kota, udah banyak saingan. Lagi pula orang-orang di Jakarta pada sibuk kerja, beda sama di sini. Rata-rata pelanggan yang main di sini, pengangguran semua. Mereka menghabiskan waktu dengan main game. Alasan lainnya, kalau di Jakarta masyarakat sudah melek teknologi, mereka bisa online lewat handphone, jadi nggak perlu repot-repot lagi ke warnet, pelanggan berkurang. Kalau di sini sih, masih banyak. Ya singkat cerita, di sini peruntungannya lebih bagus.”
Banyak yang menjadi bahan obrolan saya, Ageung dan Bayu malam itu, tidak lupa pula saya juga menceritakan pengalaman saya saat menjaga warnet di Pekanbaru. Kami saling bertukar pengalaman. Mulai dari cerita tentang pelanggan yang umumnya adalah pelajar yang ‘cabut’ saat jam sekolah, pengangguran-pengangguran di lingkungan sekitar warnet yang sanggup bermain game dua puluh empat jam non-stop, orang-orang yang suka membuka situs porno, hingga kejadian tentang anak yang dimarahi orang tuanya karena terlalu sering main game di warnet atau orang-orang yang bersiteru di depan warnet.
“Ada sih pelanggan yang nakal, kerjaannya berjam-jam depan komputer lihat situs porno,” cerita Bayu. “Tapi server gue punya program untuk melihat semua monitor klien. Jadi kita bisa matikan komputer si pelanggannya itu, karena kalau buka video-video itu internetnya jadi melambat loading-nya. Orang lain yang lagi asyik main game kan bisa terganggu. Jadi pas ada pelanggan lain yang teriak atau mengeluh, ‘lemot nih!’ Gue langsung cek dari server, gue cari satu per satu komputer mana yang buka video porno. Nah, dari server bisa gue kontrol dan matiin (matikan-Red), jadi layarnya hitam. Nanti setelah beberapa saat hidup lagi, kalau dia masih buka situs video porno, gue matiin lagi. Ujung-ujungnya dia kesal. Jadi langsung bayar, terus pergi.”
“Keren!” kata saya. “Ini lu buka warnetnya pernah sampai tiga hari non-stop, nggak? Gue kalau di Pekanbaru dulu, bisa sampai berhari-hari, gara-gara pelanggan juga, dia main game nggak tidur-tidur. Gila! Gue sih oke-oke aja, asal duitnya ngalir terus,” tuturnya diakhiri tawa.
“Nggak sampai berhari-hari, biasanya hanya sampai dua puluh empat jam. Gue di sini menyediakan paket 24 jam, jadi ada pelanggan, mahasiswa dari Depok, main ke sini. Dia ambil paket itu, main dari pagi hingga paginya lagi, padahal besoknya dia ada kuliah. Gue nggak habis pikir tuh orang, bela-belain bolos kuliah gara-gara game. Sering juga malam-malam di sini datang ibu-ibu cari anaknya, marah-marah, lalu anaknya disuruh pulang, karena besoknya harus sekolah. Atau mereka yang suka bolos sekolah, ketahuan sama ibunya. Gue yang jaga bangku operator pura-pura nggak tahu aja, pura-pura lagi chatting atau sibuk apa lah depan komputer, daripada gue ikut-ikutan ‘disemprot’ sama si ibu.”
“Anak-anak SD, ya? Dulu juga ada di Pekanbaru. Anak sekolah sengaja bolos dan main ke warnet, main game juga. Gue langsung marah, ‘Woi, sekolah dulu, jangan bolos dan main game ke sini! Kalau nggak, lu harus bayar double!’ Eh, dia justru setuju untuk bayar double. Parah!” jelas saya, semakin seru.
Ageung yang duduk di sebelahku saat itu asyik memperhatikan orang-orang yang serius main game. Nama permainannya adalah Point Blank, sejenis game perang-perangan antara Polisi dan kaum pemberontak, persis seperti game Counter Strike (perang antara Polisi dan teroris).
“Mau ikutan main CS (Counter Strike)?” tanya saya kepada Ageung.
“Gak. Mainan kok brutal begitu?! Kekerasan dan penindasan. Merusak pikiran anak-anak! Sudah banyak anak-anak yang dalam otaknya berantem terus. Kayak waktu gue ngajar di SD, anak-anaknya gue tanya ide mereka untuk bikin video, kebanyakan dari mereka ngasih ide yang berantem-berantem gitu. Terus ada juga yang bikin gambar, setiap gambarnya pasti ada unsur-unsur perkelahiannya. Ada anak yang buat gambar main bola, tapi tokohnya berantem sama temannya. Terus gue bilang, kalau mau bikin gambar, lebih baik yang temanya kebersihan atau apa. Ya, dia bikin juga. Tapi lagi-lagi berantem, di gambar itu tukang sapunya dibuat sedang berantem sama pemulung. ‘Action, Kak, action!’ Mereka bilang gitu. Ada juga yang membuat gambar ninja, tapi ninjanya dicopet, berantem lagi.”
“Ya, yang namanya Counter Strike (CS) memang begini, tembak-tembakan,” kataku. “Ini nama game-nya CS kan, Bay?” Tanya saya kepada Bayu.
“Bukan, kalau yang ini Point Blank. CS sekarang nggak laku, sekarang lagi musim main yang ini. Kalau game ini lebih bagus dan lebih enak mainnya, dari Indonesia lagi, Point Blank Online Indonesia.”
Dari perbincangan tentang game online itu, saya jadi ingat bahwa dulu, waktu saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama tahun 2004-an, ada sebuah game online yang begitu populer, namanya Ragnarok Online. Game ini menjadi bahan obrolan kebanyakan siswa. Kalau dihitung, yaitu tahun 90-an saat internet mulai masuk di Indonesia, di mana saat itu jaringan internet lebih dikenal dengan istilah paguyuban network, sekitar sebelas tahun kemudian, barulah game online populer di Indonesia. Permainan secara online sangat populer pada awal tahun 2001 dan saat itu pula antara 2001-2004 banyak game online yang menutup layanannya (game online mulai tumbuh seperti jamur, tetapi banyak pula jamur yang baru tumbuh itu mati). Kepopuleran game online dimulai ketika game Nexia Online memasuki Indonesia. Setelah itu, banyak bermunculan game online lainnya seperti Gunbound dan Tantra Online (2004), Knight Online (2005), Seal Online dan RAN Online (2006), Ayo Dance (2007), dan Rose Online Evolution (2008).
Sebagian besar dari game ini lebih banyak menampilkan adegan perkelahian dan pembantaian, seperti pada game Tantra atau Counter Strike. Yang lebih parah lagi, game-game ini juga memberi pengaruh yang buruk bagi anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa sekalipun. Seperti yang dikatakan oleh Ageung, bahwa banyak anak-anak sekarang yang di dalam kepalanya hanyalah adegan perkelahian dan kekerasan. Menurut pendapat saya, mungkin hal itu disebabkan juga oleh pengaruh game-game online tersebut.
Selain itu, ada juga siswa sekolah dasar yang lebih memilih untuk bolos sekolah karena ingin bermain game di warnet. Saya juga ingat cerita dari saudara saya yang mengatakan bahwa salah seorang temannya di drop out dari salah satu perguruan tinggi negeri karena tidak pernah masuk kuliah, disebabkan oleh pengaruh dari game online. Banyak juga pengangguran (umumnya orang dewasa) yang lebih memilih menghabiskan waktu di sebuah warnet untuk bermain game online daripada melakukan kegiatan atau usaha untuk mencari nafkah, seperti yang terjadi di warnetnya Bayu. Saya berpendapat, game online memberikan dampak yang buruk bagi masyarakat. Akan tetapi di satu sisi fenomena game online ini juga memberikan keuntungan kepada beberapa orang yang memang serius dengan game, karena bisa menjadi lahan bisnis atau pintu untuk menuai prestasi. Banyak putra-putri Indonesia yang berjaya di kontes game online internasional dan mendapatkan berbagai penghargaan.
Saya merasa beruntung bisa berkenalan denga Bayu, temannya Ageung. Perbincangan kami malam itu begitu mengasyikkan dan saya menjadi sadar akan beberapa hal yang terjadi di lingkungan warnet yang sebenarnya sudah saya kenal sejak dulu, sebelum saya merantau ke Kota Jakarta. Keterpurukan pola hidup masyarakat karena pengaruh teknologi dunia maya (facebook, game online, situs porno, You Tube, dan sebagainya).
Apakah ini yang dinamakan kehidupan Generation Z yang dipaparkan oleh Don Tapscott dalam bukunya yang berjudul Grown Up Digital? Masyarakat yang candu dengan kehidupan dunia maya.
Wah, tulisan yang sederhana tapi mengena. Memang sdh jd suatu persoalan di masyarakat ttg efek buruk dari internet… sehrsny pernth dan mentri IT lbh aware trhdp masalah ini…
hebat, akumassa
salam,
Joko
Wah, mahasiswa UI jarang-jarang nulis yg kayak ginian nih,,, kereeen! 🙂
kira-kira bisakirim tulisan ga? kasi jawanny ke emailku ya,, madinggila@yahoo.com..
makasih 🙂
anda bisa kirim ke akumassa@gmail.com, jika lulus dari seleksi redaksi, tulisannya dapat dimuat.
🙂
jadi inget cerita di kaskus ttg pelanggan warnet yg meninggal karena kecapean main game, dan teman salah seorang tentor saya di bimbel yang di drop out dr sebuah institut kenamaan di Indonesia gara2 kecanduan game online sampe rela bolos, dan berakhir dg IPK dibawah 2.
Tulisan yg ngena dan keren! 🙂