Darivisual Kecamatan: Gambir Kota: Jakarta Pusat Provinsi: DKI Jakarta

Vending Machine dan Diorama: Pertarungan Produk Lama dan Produk Baru

Avatar
Written by Yonri Revolt

Tulisan ini sudah pernah terbit di buku kumpulan tulisan yang diterbitkan Forum Lenteng, berjudul Diorama: Karena Sejarah Adalah Fiksi (2016). Diterbitkan kembali di situs web AKUMASSA dalam rangka rubrik “Darivisual”.

“Kemana kamu beberapa hari ini? Agaknya sibuk sekali. Setiap pagi tidak ada kabar,” tanya pacarku pada pesan di WhatsApp yang kuterima sore ini. “Saya sedang ikut penelitian tentang diorama di Monas, Be, maaf!” jawabku padanya sambil bergelantungan pada pegangan di kereta. ‘Be’ adalah panggilan kesayanganku padanya.

“Oh, terus apa yang sudah kamu temukan selama riset?” Pertanyaannya ini sedikit membuatku jengkel, mungkin dia juga lagi bete saat bertanya seperti ini.

“Tumben nanyain, biasanya kalau terkait penelitian kayak begini, kamunya cuek,” kataku.

“Iya, soalnya sampai tidak ada kabar begitu. Berarti ada yang kamu temukan dan pasti sangat menarik, mungkin lebih menarik daripada saya. Seperti perempuan lain, mungkin…!” Saya tahu bahwa pacarku ini bukan perempuan yang tidak percaya dengan apa yang sedang saya kerjakan, apalagi di akhir kalimatnya dia menempelkan emoticon yang mengeluarkan lidah. Saya mulai tahu kalau dia mulai mengajakku untuk becanda. Kemudian kujawab, “Hehehehe! Iya, saya temukan vending machine di sana,” jawabku dengan serius.

“Vending machine? Kalau cuma cari vending machine, tidak usah ke Monas, di tempat lain juga ada,kok!” katanya ketus padaku.
Memang terdengar aneh jawabanku, bahwa hasil penelitianku adalah temuan terhadap vending machine. Baginya, ini terdengar seperti gurauan atau bisa saja mengada-ada. Tapi benar bahwa yang kutemukan dalam penelitianku tentang diorama Monas adalah terkait vending machine atau mesin penjual (minuman) otomatis. Yakni, bahwa vending machine di Museum Nasional di Monas itu bukan hanya terbatas pada fungsinya sebagai mesin yang mengeluarkan atau menjual produk secara otomatis tanpa ada operator, tetapi juga dapat dilihat dari intervensinya terhadap presentasi diorama-diorama di dalam museum itu.

Setiap kali berkunjung ke museum itu, ketika memasuki ruangan museum, saya pasti merasa kehausan. Menyusuri lorong panjang memasuki area Monas, apalagi di tengah cuaca yang panas terik, saya yakin bukan cuma saya, tapi semua orang juga pasti akan merasa kehausan. Saya kemudian akan menoleh ke arah vending machine, yang selalu dikerumuni orang-orang yang berebutan untuk mendapatkan minuman. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk berkeliling melihat diorama.

Sebuah kejadian lucu, menurutku, ketika sedang melihat-lihat diorama. Vending machine seakan-akan memanggilku untuk menghampirinya. Bukan karena tenggorokan yang sedang kering, tetapi karena tampilan visualnya yang terpantul melalui kaca diorama. Begitu terang, berwarna-warni, dan seakan melambai-lambai memanggilku yang sedang kehausan. Akan tetapi, lagi-lagi saya harus bersaing dengan yang lainnya ketika hendak menggapai minuman yang diinginkan. Pikirku, karena saat itu sedang ramai pengunjung, dan kalau bukan karena hari ramai pengunjung, pasti vending machine juga akan sepi.

Penelitian awalku di diorama adalah terkait dengan usaha melihat adanya potensi-potensi narasi di luar dari tema besar yang disajikan. Diorama yang bercerita tentang Sumpah Palapa, misalnya, bukan soal Sumpah Palapa-nya yang akan saya baca, tetapi bisa juga mengenai postur tubuh Gajah Mada saat ia mengangkat keris, atau mengenai mimik-mimik wajah orang-orang yang duduk di belakangnya, dan begitulah untuk diorama dengan tema-tema lainnya. Tapi, karena seringnya mendapatkan pantulan bayangan vending machine ketika mengamati diorama, maka saya pun mulai mengamati keterkaitan diorama dengan vending machine ini. Dengan meletakkan vending machine di ruangan museum Monas, maka secara otomatis pengelola juga meletakkan objek lain yang menjadi bahan amatan selain diorama. Kedua objek ini (diorama dan vending machine) kemudian akan saling memperebutkan tempat sebagai objek amatan pengunjung. Memang agak lucu mengatakan vending machine diletakkan sebagai objek amatan seperti diorama, tapi bila kita kembali melihat pantulan bayangannya pada kaca diorama, seakan-akan vending machine tidak mau mengalah sebagai objek yang juga harus diamati. Dalam hal ini, kacalah yang menjadi mediumnya.

Saya kemudian mengeluarkan kamera dan mulai bermain-main dengan bayangan vending machine pada kaca diorama. Karena pantulan-pantulan bayangan itu bukan hanya pada satu tempat, saya mulai berkeliling di ruangan museum untuk mendapatkan gambar yang diinginkan. Pantulan bayangan vending machine terpapar di diorama yang mengilustrasikan perdagangan Sriwijaya, pembangunan Borobudur, di antara candi-candi dekat orang-orang yang lagi berdoa, pada diorama Sumpah Palapa, diorama pelayaran orang bugis, diorama transaksi dagang pada masa Kerajaan Majapahit, pada diorama perang Makassar, diorama pembacaan teks proklamasi, diorama penyiksaan romusha, dan terakhir, pada diorama perang Surabaya. Saya pun mulai membangun cerita sendiri dari hasil foto saya dengan memanfaatkan pantulan bayang-bayang vending machine. Sebuah kerja kreatif nan jenaka, menurutku, adalah ketika menempatkan vending machine ke dalam frame dan membentuk sebuah narasi baru yang utuh. Dalam proses ini, kamera menjadi alat bantu untuk menangkap peristiwa ini dan mengabadikannya. Seperti perlakuan pada diorama orang-orang yang sedang berdagang di pelabuhan Kerajaan Sriwijaya, saya menempatkan kamera pada posisi dengan mempertimbangkan jarak dan sudut pengambilan yang saya inginkan, maka vending machine akan berada pada posisi yang saya inginkan. Ketika saya menangkap gambarnya, hasil yang dihasilkan bercertia tentang para pedagang sedang menjual vending machine.

“Ternyata, zaman dahulu sudah ada vending machine, ya?” gurauku pada diri sendiri ketika melihat hasil gambarnya pada layar LCD (Liquid Crystal Display) di kamera. Begitulah seterusnya perlakuanku pada diorama-diorama lain di museum itu, terutama yang berpotensi memantulkan bayangan si vending machine.

Hasil dari kerja kreatif ini mempunyai resiko terhadap presentasinya. Akan timbul argumentasi yang merespon ini secara positif ataupun negatif. Respon positif dilihat dari bagaimana vending machine diletakkan pada ‘komposisi yang lumrah’ di dalam frame. Seperti di antara orang duduk, di samping orang-orang yang berdiri, atau di area teras pada diorama tentang perdagangan Majapahit. Orang akan melihat vending machine sebagai sesuatu yang melengkapi foto dan membuahkan cerita, seperti yang ada pada diorama perdagangan Sriwijaya. Sedangkan respon negatif akan timbul bila vending machine menjadi semacam objek dominan atau diletakkan tidak pada komposisi yang tepat. Seperti ketika vending machine mempunyai ukuran lebih besar dari objek atau subjek yang ada di diorama, atau ketika diorama diletakkan pada puncak Candi Borobudur, atau juga pada kursi Raja Majapahit di mana vending machine-nya menggantikan sang raja. Namun, bagiku penilaian positif dan negatif terhadap gambar yang dihasilkan tidaklah penting. Karena memang sejak awal sudah terlihat bahwa vending machine ingin mendominasi presentasi cerita diorama. Gambar yang dihasilkan pun, jika disebarkan secara rutin tanpa kesadaran penuh terhadap cerita dioramanya, maka tidak lain hanya menjadi iklan vending machine. Betapa vending machine sudah menjadi bagian dari cerita diorama, bukan?

Pada satu sisi, di luar dominasinya sebagai sebuah “objek presentasi” terhadap pengunjung, vending machine juga berpengaruh terhadap regulasi museum. Dia seolah menjadi subjek VVIP yang dapat mengintervensi keadaan museum. Contoh kasusnya, di dalam museum, persisnya di depan tangga menuju menara, ada tanda larangan dengan lampu menyala bertuliskan “Dilarang makan/minum dan tidur di dalam ruangan museum”. Peringatan ini tegas memberitahukan bahwa kita tidak boleh makan, minum ataupun tidur di dalam museum. Tapi kehadiran vending machine menyimpangkan aturan itu. Orang bisa makan, minum ataupun tidur di dalam museum. Ketika orang membeli minuman, peraturan tentang dilarang minum di dalam museum sudah dilanggar, dan ketika peraturan minum dilanggar maka secara otomatis peraturan tentang tidur dan makan tidak lagi berlaku. “Dia saja bisa minum, kok aku tidak bisa makan atau tidur di sini, kan sama-sama melanggar?” begitulah pikirku ketika mengamati tanda larangan dan kejadian di sekitarnya yang berkaitan erat dengan vending machine. Oleh karenanya, tanda larangan yang ada di monas itu sebaiknya bertuliskan begini: “Dilarang makan, minum, dan tidur di sini, tapi kalau haus bisa membeli minuman di vending machine.” Meskipun, menurutku ini adalah paradoks.

Di sisi lain, kehadiran vending machine menjadi sebuah representasi kapitalisme dan industrialisme terhadap diorama. Betapa tidak, peraturan museum yang dibuat oleh pihak pengelola museum dapat dilanggar dengan membeli minuman melalui vending machine yang ada di dalam. Asalkan pengunjung membeli minuman di vending machine, pengunjung dapat melakukan hal yang mereka mau, yaitu minum di dalam ruangan museum dan yang lebih dramatis dari itu adalah diorama hanya sebagai objek yang dipasang supaya jualan di vending machine laris terjual.

Namun, cerita tentang pertarungan diorama dan vending machine ini pada dasarnya ku buat sebagai sebuah argumentasi karena sedikitnya pengetahuanku terhadap kebenaran sejarah. Mengamati diorama membawaku untuk mendalami sejarah Indonesia, tetapi sangat sulit mencari kebenaran tersebut. Ada pertarungan antara arsip, pelaku sejarah yang sudah tua, atau peneliti sejarah yang masih muda. Semua punya kesaksian masing-masing yang memperebutkan kursi kebenaran dan siapa yang akhirnya mendominasi menjadi sebuah produk media baru.

Tapi akhirnya, tidaklah penting lagi bagiku untuk mendalami sejarah jika hanya sekedar mencari kebenarannya. Hal inilah yang membawaku bermain-main dengan sejarah. Diorama adalah sejarah masa lalu yang dibuat oleh seorang seniman yang mendapat pesanan dari pemerintah sebagai representasi zamannya. Ketika saya kembali menghadirkan cerita sejarah versi seniman diorama tersebut di hari ini, itu membuktikan bahwa kita tidak pernah bisa lepas dari masa lalu. Saya pun membuat cerita sejarah versi saya agar dapat saya ceritakan ke generasi berikutnya.

Karena vending machine yang mendominasi ruang-ruang cerita diorama atau karena dia mengintervensi regulasi diorama itulah yang menjadi sebuah kritikan dari pengamatanku di museum Monas.Tetapi yang jelas vending machine tidak akan ikut bertarung dalam kisah asmaraku seperti yang dikhawatirkan pacarku pada pesan WhatsApp-nya. Mereka tidak akan berebut untuk menjadi subjek yang mendominasi hati ini. ***

About the author

Avatar

Yonri Revolt

Yonri Soesanto Revolt (lahir 25 Januari 1992) merupakan seorang pembuat filem dari Timika, Papua. Ia salah satu pendiri Komunitas Yoikatra yang bergerak di ranah literasi media, seni, dan aktivisme. Pernah mendapatkan penghargaan Film Dokumenter Terbaik FFI 2016 dan Film Terbaik Eagle Award 2016 untuk karya dokumenternya, berjudul Mama Amamapare.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.