Di tengah-tengah perubahan sosial dewasa ini, banyak gugatan yang dilontarkan kepada tuan guru. Secara umum, gugatan-gugatan tersebut berkisar pada posisi dan sikap yang dipilih dan diperankan oleh tuan guru di tengah dinamika kemasyarakatan dan keilmuannya yang dipertanyakan.
Hal ini disebabkan kecenderungan pelembagaan status ke-tuanguru-an dan kurangnya kemauan untuk beranjak dari orientasi simbolik menuju orientasi substansi dalam menyikapi doktrin dan ajaran agama. Visi keilmuan yang dikembangkan oleh tuan guru cenderung berorientasi mengkonversi (muhafadzah) tradisi yang diwariskan dari tuan guru pendahulunya semata, tanpa mempunyai keberanian melakukan pengembangan dan aktualisasi sesuai dengan tantangan perubahan yang terjadi, sehingga kualitas keilmuan tuan guru hanya terbatas pada ilmu-ilmu keislaman tradisional dan kurang memiliki wawasan sosial yang luas dan transformatif (muthatawwirah).
Istilah tuan guru yang berkembang di kalangan masyarakat Sasak, bisa diidentikan dengan sebutan ‘kyai’ atau ‘haji’ yang berkembang pada masyarakat Islam Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Ia adalah tokoh agama Islam yang dipandang sangat menguasai ajaran agama dalam segala aspeknya. Para tuan guru, oleh masyarakat Sasak, dianggap sebagai orang yang menguasai berbagai ilmu keislaman, meskipun anggapan ini terkadang berlebihan dan belum tentu benar. Sebab, tidak semua tuan guru belajar ilmu-ilmu keislaman dalam waktu yang cukup untuk membekali diri sebagai tuan guru yang ideal. Di antara mereka sebenarnya terdapat orang-orang yang belum pantas diangkat sebagai tuan guru. Akan tetapi karena kharismanya, atau kharisma orang tuanya yang menonjol, mereka dinobatkan sebagai tuan guru.
Namun, terlepas dari itu semua, tuan guru dalam masyarakat Sasak telah berhasil mengakulturasikan nilai-nilai Islam ke dalam budaya Sasak yang terlihat dalam berbagai ritual yang masih dilestarikan dan dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah keberadaan masyarakat Sasak.
Tuan guru adalah kelompok terbatas yang dipersepsikan oleh kalangan awam sebagai elit, karena ada nilai tambah dalam dirinya, yaitu kelebihan pengetahuan agama. Seseorang akan disebut tuan guru oleh masyarakat, bukan diproklamirkan oleh penyandangnya, melainkan karena kesepakatan masyarakat. Berbeda dengan predikat formal seperti sarjana, doktor ataupun profesor. Dalam konteks keislaman, strata sosial masyarakat pada esensinya tidak ada perbedaan, yang membedakan adalah kadar keagamaan masyarakat itu sendiri. Dengan bertambah tingginya nilai penghayatan terhadap nilai keagamaan, diharapkan akan berdampak pada pengamalan dan pengaplikasian nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari mereka yang tercipta. Pengamalan nilai-nilai keagamaan inilah yang bagi masyarakat Sasak merupakan barometer kedudukan seseorang di hadapan Allah.
Dahulu, dalam masyarakat Sasak, tuan guru memang identik dengan dunia pesantren atau pimpinan pesantren yang mempunyai pengetahuan luas tentang ajaran dan doktrin-doktrin agama. Kata-kata dan wejangan-wejangan tuan guru dianggap sebagai petuah yang harus diamalkan. Tuan guru memiliki komitmen yang besar terhadap nilai-nilai kebenaran. Sebagai orang yang ahli dalam agama, mereka selalu berusaha untuk mengatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. Itulah sebabnya kemudian tuan guru dianggap sebagai panutan bagi masyarakat.
Dalam konteks kekinian, gelar tuan guru mulai mengalami pergeseran makna bila dibandingkan dengan tahun 70-an atau tahun-tahun sebelumnya. Banyak masyarakat sekarang adalah kaum terpelajar yang memiliki pengetahuan agama yang hampir sepadan dan seragam. Cukup banyak orang-orang yang pintar, termasuk lulusan Makkah, Madinah, Kairo yang dijadikan persyaratan untuk menyebut seseorang sebagai tuan guru. Namun, tidak sedikit proses legitimasi pengangkatan mereka sebagai tuan guru tidak terjadi. Tidak perlu disanksikan bahwa jumlah orang yang berilmu atau memiliki pengetahuan setara dengan tuan guru juga banyak. Karena itulah, saat ini sebenarnya telah terjadi perubahan nilai dan makna tuan guru menjadi seorang cendikiawan.
Secara sederhana, masyarakat Sasak memahami arti tuan guru sebagai orang yang sudah melaksanakan ibadah haji yang kemudian ditambah gelarnya di awal nama aslinya. Orang yang telah berhaji tersebut mempunyai kemampuan dan keahlian dalam bidang agama sesuai dengan kadar pengakuan masyarakat, serta memiliki akhlaq yang dipandang mulia oleh agama dan masyarakat, sehingga disaat membimbing dan mengayomi masyarakat, mereka disebut tuan guru haji (TGH).
Keberadaan tuan guru dalam masyarakat Sasak, khususnya masyarakat pesantren, juga sangat sentral. Suatu lembaga pendidikan Islam disebut pesantren apabila memiliki tokoh sentral yang disebut tuan guru. Jadi, tuan guru dalam dunia pesantren dan masyarakat Sasak berperan sebagai penggerak dalam menjalankan roda pesantren. Di tangan seorang tuan guru-lah pesantren itu berada. Oleh karena itu, tuan guru dan pondok pesantren ibarat dua sisi mata uang yang berjalan bersama. Bahkan, tuan guru bukan hanya pimpinan pondok pesantren, namun juga sekaligus sebagai pemiliknya.
Di dekade akhir-akhir ini, profesi yang ditekuni para tuan guru beraneka ragam, sehingga mengakibatkan banyak tipologi tuan guru. Ada Tuan guru politisi yang mempunyai kecenderungan dengan dunia dan persoalan politik dan memilih dunia politik sebagai ladang perjuangannya. Ada juga tuan guru pengusaha yang menekuni dunia usaha dan bisnis, di samping mengasuh pondok pesantren. Ada juga tuan guru budayawan yang menekuni bidang seni dan budaya dan menjadikannya sebagai ladang dakwah. Ada juga tuan guru intelektual yang menggeluti dunia pemikiran dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Artikel ini merupakan bagian dari katalog Filem Dokumenter Elesan Deq a Tutuq (Jejak yang Tidak Berhenti). Foto-foto diakses dari arsip Komunitas Pasir Putih.