Sebagai warga dan anggota Remaja Masjid, saya harus aktif mengikuti kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, salah satunya adalah Menjojo. Budaya ini merupakan salah satu rangkaian upacara perkawinan yang dilalui oleh kedua mempelai setelah acara akad nikah dengan berkunjung ke keluarga atau orangtua dari mempelai perempuan. Acara ini biasanya melibatkan keluarga mempelai laki-laki, sesepuh, Bapak Kadus (Kepala Dusun), Ketua RT tempat tinggal mempelai laki-laki, masyarakat dan rekan-rekan Remaja Masjid, bahkan anak-anak kecil. Dalam kegiatan Menjojo yang paling banyak terlibat adalah rekan-rekan remaja dan pemuda.
Ada juga sebagian keluarga dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu berkunjung ke rumah keluarga mempelai perempuan cukup dengan pihak keluarga saja yang didampingi oleh pemuka-pemuka kampung. Masyarakat menyebutnya dengan istilah Nyombe atau Bejango. Perbedaan lain Bejango dengan Menjojo adalah menggunakan kelompok musik atau tidak. Bejango sendiri tidak memakai iring-iringan musik dan lebih bersifat sederhana.
Organisasi Remaja Masjid tempat saya tinggal, mengikuti Acara Menjojo dengan memiliki awiq-awiq gubuq (peraturan kampung), yaitu kesepakatan bersama yang tidak tertulis. Salah satu poin bentuk ‘hukuman sosial’ bagi remaja baik putra maupun putri yang tidak ikut berpartisipasi dalam kegiatan Menjojo, ia tidak akan diperhatikan pada acara akad nikah dan Menjojo. Syukurnya, Acara Menjojo diadakan pada sore hari, sehingga saya dapat menyempatkan diri, karena biasanya pagi-pagi banyak kesibukan. Terlebih lagi acara ini melibatkan orang banyak, sehingga sore hari menjadi waktu luang bagi mereka yang bekerja untuk dapat berpartisipasi. Berbeda dengan Bejango atau Nyombe yang justru diadakan pada malam hari setelah Shalat Isya.
Dalam pandangan masyarakat, Menjojo menjadi medium informasi tentang status seseorang serta mengikat silaturrahmi antara satu individu dengan individu yang lain, satu keluarga dengan keluarga yang lain, dan satu kampung dengan kampung yang lain, bahkan Menjojo dipandang sesuai dengan ajaran Agama Islam guna menjauhkan kedua orang yang menikah dari fitnah. Walaupun demikian ada juga yang melarang prosesi tersebut karena banyak mengandung mudharat (hal-hal yang mubazir dan sia-sia-red) dan perbuatan-perbuatan yang menyalahi norma agama seperti minum-minuman keras, kadang mengundang perkelahian dan mempertontonkan kesombongan atau sering kelewatan waktu shalat. Walaupun perbedaan itu muncul, tetap saja Menjojo menjadi bagian penting dalam hubungan sosial masyarakat Lombok pada umumnya dan Lombok Utara pada khususnya.
Kali ini saya dan Pak Kadus ditugaskan oleh pihak keluarga untuk mencari kelompok musik yang akan mengiringi rombongan pengantin. Baik pihak keluarga mempelai laki-laki maupun keluarga mempelai perempuan, biasanya sama-sama menyiapkan kelompok musik. Sehari semalam kita jalan dari satu kelompok musik ke kelompok musik lainnya, dari yang tradisional sampai yang modern, Tapi tak kunjung dapat. “Wah santer a lueq tau merangkat nengka ni, laguk harus ta mauq pokok a” (Wah banyak sekali orang menikah sekarang, tapi kita harus dapat pokoknya) kata Pak Kadus sambil menyeka keringatnya. Memang, dalam prosesi Menjojo melibatkan iring-iringan musik menjadi bagian penting untuk menarik massa.
Rekan-rekan remaja kadang tidak minat pergi Menjojo kalau tidak ada musiknya. Sepengetahuan saya, kelompok musik yang biasanya mengiringi Acara Menjojo antara lain Gendang Beleq (alat musik tradisional Sasak), Gending, Sireh, Rudat. Tapi kini sudah sedikit modern seperti dangdutan ala Jakarta seperti Kecimol, Ale-Ale, Gambus Sasak, bahkan kami pernah hanya menggunakan suara musik saja (seperti Disco Party).
Sebelum berangkat saya dan Pak Kadus mengingatkan rekan-rekan remaja untuk berhati-hati di jalan raya dan menjaga keamanan. Berbaris sedemikian rupa sesuai dengan kelompoknya, kelompok remaja laki-laki mengiringi pengantin laki-laki dan rekan-rekan remaja putri mengiringi pengantin perempuan. setiap penjojo seharusnya mengenakan pakaian adat. Namun, ada juga yang sedikit bandel menggunakan kaos oblong, mungkin disebabkan oleh pergeseran budaya.
Jika rumah pihak keluarga mempelai perempuan jauh, maka masyarakat dan teman-teman remaja menggunakan mobil dan sepeda motor sebagai transportasi. Kesulitan terberat adalah ketika kami mengatur barisan pengiring pengantin yang bisa sampai sekian meter dan menyebabkan kemacetan. Dan ini seperti menjadi ciri khas dari sebuah iring-iringan pengantin. Ditambah lagi dengan tingkah teman-teman berjoget yang memakan badan jalan. Dalam setiap acara Nyongkolan, saya menjadi salah seorang penanggung jawab menjaga keamanan dan kelancaran proses Nyongkolan. Situasi ini membuat saya sangat khawatir akan terjadinya kecelakaan lalu lintas, perkelahian antar pemuda atau hal-hal yang tidak kita inginkan.
Setelah satu atau dua kilo meter dari rumah keluarga mempelai perempuan, kita membuat barisan sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Setelah barisan dirasa rapi barulah kita berjalan beriringan dan tetap harus tertib demi menjaga nama baik gubuk (dusun) kita dan hubungan silaturrahmi dengan kampung lain. Demikianlah arti penting adanya Nyongkolan sebagai media informasi untuk masyarakat terhadap sebuah tatanan hubungan sosial.
Sedangkan dari arah yang berlawanan, rombongan penyambut sudah siap menerima kedatangan rombongan penjojo. Tapi jika pada Acara Menjojo justru rombongan penyambut tidak terlihat sama sekali, ada kemungkinan diakibatkan karena tidak aktifnya dari pengantin perempuan sendiri dalam kegiatan-kegiatan keremajaan di daerahnya. Jika ada rombongan penyambut, di pertengahan jalan antara tempat kita turun dengan rumah keluarga mempelai perempuan, terjadi pertukaran posisi. Maksudnya, mempelai perempuan diambil alih oleh rombongan penyambut perempuan, demikian pula pengantin laki-laki diambil alih oleh penyambut laki-laki. Akhirnya akan terbentuk formasi sebagai berikut :
Sedangkan posisi kelompok musik biasanya di belakang pengiring laki-laki dan di belakang penyambut laki-laki.
Di Lombok Utara kebanyakan rekan-rekan remaja melakukan pernikahan setelah Hari Raya Idul Fitri dan Maulid Nabi. Makanya, baik pengurus remaja maupun Kadus (Kepala Dusun) harus siap-siap mengencangkan ikat pinggang. Selama satu bulan setelah Lebaran Ketupat kemarin, di Remaja Masjid kami terhitung sudah 13 orang yang menikah. Akhirnya, selang dua tiga hari kami melakukan Menjojo dan Nyambutang. Teman-teman sempat ngelantur, “Leleh ta ngan jukut siq a ni,” (capek juga nih kita makan daging).
Bagi saya pribadi, Menjojo (nyongkolan) memiliki makna yang dalam. Yang terpenting bukan menghapus kekayaan budaya ini, tapi bagaimana memberikan penyadaran kepada masyarakat untuk menjaga kekayaan budaya. Mengkaji arti penting Menjojo sebagai sarana apresiasi hubungan sosial masyarakat. Disisi lain, agar tidak dicemari dengan hal-hal yang tidak baik.
pertama kali saya menginjakkan kaki di tanah Lombok Utara, saya menyaksikan 2 kali menjojo, ketika saya tinggal disini selama sebulan, hampir tiap minggu saya menyaksikan menjojo….. benar2 tradisi yang asik… semangat gotong royong dan kekeluargaan amat sangat terasa. (bisa jadi ajang cucimata lho, karena hampir seluruh perawan desa berkeliaran)
tell the world about us!!!!!!
Informasi mengenai acara ini sangat bagus,sehingga kita tahu bagaimana budaya di lombok hanya saja istilah yang digunakan tidak konsisten judulnya “MENJOJO” sampai pada tulisan pembukaannya pun menggunakan istilah MENJOJO tapi kenapa pada bagian-bagian akhir istilah itu di ganti dengan NYONGKOLANG. yang betul yang mana menjojo atau nyongkolang.kalaupun itu sama lalu mengapa menggunakan dua istilah itu.
mari berbudaya.. apapun namanya tetap satu “perbedaan itu wajar dalam ber-massa” . ingat dicuci setelah digunakan .
tugas kita adalah menjaga agar tidak diklain lagi oleh maling “tradisi”… bhineka tunggal ika dan tutwuri handayani.. oke. sajojo..sajojo..hahaha..
great job. show more !!!