Mbah Bungkul juga disebut Sunan oleh masyarakat Surabaya karena Mbah Bungkul dianggap sebagai wali lokal, di luar nama-nama 9 wali atau yang biasa yang biasa dikenal dengan Wali Songo, menurut konsep sejarawan Sartono Karto Dirjo. Sebutan itu karena beliau adalah tokoh Islamisasi tingkat lokal. Keberadaan Mbah Bungkul sejajar dengan Syekh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Geseng (Magelang), Sunan Tembayat (Klaten), KI Ageng Gribig (Klaten), Sunan Panggung (Tegal), Sunan Prapen (Gresik), dan Wali lokal lainnya yang banyak tersebar di berbagai kota.
Taman ini sangat ramai. Mulai pagi hingga malam taman ini tidak pernah sepi. Banyak kaum muda, tua, laki-laki maupun perempuan yang nongkrong di taman ini, ada juga muda-mudi yang sedang berpacaran.
Banyak yang mengatakan kalau Taman Bungkul merupakan Alun–alun Kota Surabaya. Sebenarnya Taman Bungkul bukan Alun-alun Kota Surabaya melainkan Taman Kota yang sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat Surabaya maupun Masyarakat luar Kota. Alun–alun yang sebenarnya terdapat di Jalan Pemuda, yaitu di Taman Contong. Tetapi taman itu sudah sepi bahkan seringkali terlihat hanya beberapa orang yang nongkrong di Taman Contong. Maka dari itu masyarakat beranggapan kalau Alun–alun Kota Surabaya sudah pindah ke Taman Bungkul.
Di Surabaya memang terdapat banyak sekali taman, seperti Taman Prestasi (di Jalan Ketabang Kali), Taman Apsari (di depan Gedung Grahadi), Taman Sulawesi (di Jalan Sulawesi), Taman DR. Soetomo (di Jalan DR. Soetomo Darmo), Taman Mayangkara (di depan Rumah Sakit Islam/RSI), Taman Ronggo Lawe (di Jalan Gunung Sari), Taman Buah (di Jalan Undaan), dan Taman Bungkul (di Jalan Darmo Raya). Tetapi, entah kenapa, masyarakat lebih berminat nongkrong di Taman Bungkul, terbukti dari pengunjung taman ini yang lebih ramai dibandingkan dengan taman–taman lain. Apalagi di malam Minggu. Taman Bungkul juga mempunyai fasilitas lebih banyak dari pada taman–taman yang lain.
Banyak juga yang memanfaatkan “alun-alun” Taman Bungkul ini untuk mencari uang atau nafkah seperti membuka warung makanan, menjual kopi, minuman ringan, menjual jam tangan, pijat urat, menjual obat kuat. Ada seniman pembuat tato, penjual gelang, pelukis wajah, hiburan sulap, bahkan sampai ada yang membuka lapak permainan catur ‘3 langkah mati’. Skak 3 langkah mati ini merupakan permainan yang sangat menyenangkan, sekaligus melatih kita untuk berfikir. Jika ingin bermain permainan ini kita harus mengeluarkan uang Rp 4000,-. Cara bermainnya, kita harus mengalahkan orang tersebut dengan cara menjalankan buah catur maksimal 3 kali dan harus skak mat. Hadiahnya adalah 1 bungkus rokok dan sebuah jam tangan.
Ada jajanan yang menarik, yaitu ‘pentol colek’. Pentol adalah sebutan lain untuk bakso. Kalau di Surabaya, sebutan bakso ditujukan untuk hidangan semangkuk makanan yang terdiri dari pentol, mie kuah dan teman-temannya. Sedangkan si bola daging yang ada dalam mangkok bakso disebut dengan pentol. Jadi pentol colek adalah bakso yang tidak dihidangkan dengan kuah. Bumbunya memakai kacang yang sudah dihaluskan sampai encer setelah itu diberi sambal. Cara menikmati bakso alias pentol itu dicolokkan ke bumbu kacang tersebut. Rasanya enak sekali.
Di Taman Bungkul terdapat pula permainan anak-anak seperti, jungkat jungkit, ayunan, perosotan, dan sebagainya. Ada pula tempat permainan anak muda, yaitu skate park. Di sini masyarakat pengunjung Taman Bungkul juga bisa melihat para bikers beraksi, tepatnya pada Minggu pagi pukul 06.00. Bahkan pengunjung bisa melihat beraneka macam sepeda, seperti sepeda balap, sepeda dahon/sepeda lipat, sepeda fixie, sepeda bmx, dan banyak lagi sepeda yang lain. Tidak hanya itu, setiap seminggu sekali, tepatnya di hari Sabtu malam dari sekitar jam 19.00 WIB ada acara live music di taman ini.
Di Taman Bungkul juga terdapat perkumpulan gay dan lesbian yang nongkrong berkelompok dengan komunitasnya masing-masing sekedar untuk menikmati suasana malam hari. Mereka sangat sering, bahkan sampai setiap malam hari, berkumpul di Taman Bungkul. Sebagian dari anggota komunitas lesbian ada yang mencari uang dengan cara mengamenngamen di Taman Bungkul hanya dengan alat seadanya, yaitu satu gitar.
Menurut saya pemandangan yang paling aneh adalah di saat ada live music di Taman Bungkul tersebut terdapat para peziarah yang sedang berziarah ke makam Mbah Bungkul. Itu sangat mengganggu para peziarah. Karena suara dari peralatan sound itu terdengar sangat keras hingga ke makam Sunan Mbah Bungkul. Lebih parahnya lagi orang-orang yang ada di sana (kecuali para peziarah) lebih memilih melihat live music tersebut dari pada menghargai orang-orang yang berziarah.
Barangkali di jaman dahulu, berziarah menghormati orang yang dianggap berjasa menyebarkan agama adalah hal yang penting. Namun, sekarang sudah berbeda. Menonton hiburan musik sama pentingnya dengan pergi berziarah untuk menghargai pahlawan.
good job Jaya. jadi pelopor redaksi akumassa Surabaya. jangan berenti nulis ya, Jaya.
nyusul…
semangat…….
aku telat banget……
menunggu tulisan yang lain…
Selamat Kawan-Kawan Surabaya. Tulisan tentang hal-hal yang tidak biasa ini bisa menjadi inspirasi kita untuk melihat dan merekam apa saja yang terjadi disekeliling kita. Karena “rekaman” itulah yang tidak pernah “disentuh” oleh media besar. Saya yakin kawan2 Kinetik bisa menjadi pelopor untuk tulisan-rekaman “berbeda” dari Surabaya dan Jawa Timur.
Salam
Hafiz
terima kasih bang hafiz…
kita akan terus belajar dan semoga berkelanjutan.
sip!
ok cot g bakalan berhenti..
tunggu tulisan q yang selanjutnya y cot..
buat bang hafis makasi terus beri masukan ke kami y…
kayaknya ane blom pernah kesana
GOOD JOB, udah beberapa pernah ke sana, sama cayang ane
Selamat buat Hery Cahyono alias cak Bobby
(https://www.facebook.com/heri.bobby.1?fref=ts) salah satu alumni terbaik ISI Yogyakarta yang selayaknya mendapat tanda penghargaan atau setidaknya piagam dari pemkot Surabaya sebagai sosok yang menjunjung/ mengangkat tinggi kota Surabaya.
Mari Bu Risma selaku walikota, tunjukkan perhatianmu 🙂 …
SSS (Salam Sukses Surabaya)
Solidaritas Alumni ISI Yogyakarta