Halaman Papua merupakan bagian dari program pemberdayaan media oleh Forum Lenteng, yakni Program Media Untuk Papua Sehat, yang didukung oleh KINERJA-USAID. Empat komunitas yang ada di Kota Jayapura, Sentani, Wamena dan Timika berkolaborasi dengan Forum Lenteng untuk membangun pusat media milik warga dengan menghasilkan informasi kepada warga di sekitarnya melalui tulisan, foto, audio dan video (filem). Selain sudah ditampilkan di www.halamanpapua.org, tujuh filem pilihan hasil lokakarya tersebut diputar untuk pertama kalinya di GoetheHaus, Goethe Institut Jakarta, dan sekaligus menjadi momen istimewa sebagai penanda sebelas tahun berdirinya Forum Lenteng yang baru saja dirayakan lima hari sebelumnya.
Rangkaian filem dibuka dengan tampilan seorang pria yang menunggu di puskesmas yang terlihat masih kosong. Setelah menunggu cukup lama, datanglah mantri yang mau tak mau harus langsung melayani si pasien. Belum melepas ransel, sang mantri dengan sabar mendengar keluhan si pasien sambil mecatat. Mual-mual, batuk beringus, pusing hingga sakit telinga disampaikan sang pasien, hingga ia bergurau “Saya banyak keluhannya ya, Dok…” yang sontak membuat penonton tertawa. Menurutku, ucapan spontan tersebut menjadi lampu hijau untuk audience bahwa filem-filem dokumenter yang akan kami saksikan bukanlah tipe yang “berat”, terlalu “tinggi” hingga mengerutkan alis atau memancing kuap. Namun, potongan-potongan narasi keseharian yang ringan dan familiar. Kami pun dibuat tertawa lagi ketika sang mantri, dengan suara kebapakan, mengalah kepada si pasien yang bersikeras untuk disuntik, padahal sebelumnya sang dokter memaparkan bahwa ia cukup minum obat. Cerita ini hadir dalam filem berjudul Saya yang Cepat, Atau…
Setelah itu, ada Puskesmas Manual, yang membingkai bagaimana sistem pendataan salah satu puskesmas di sana yang masih manual. Sekilas, alur tampak sederhana ketika salah satu pasien muncul di frame dan bercerita ke kamera: mendaftar, mengisi formulir, antri, setelah dipanggil mereka akan di bawa ke Polik Umum sebelum dirujuk ke polik yang lebih spesifik, untuk diperiksa dokter, diberi resep, menebus obat, lalu pulang. Namun, di sisi lain, penonton disuguhi cerita tentang para suster yang dengan telaten berusaha menjaga tata cara pendataan para pasien agar tetap lancar, seperti menjelaskan bagian-bagian form yang dilewatkan pasien untuk diisi, mencari dengan susah payah di antara berkardus-kardus map berisi arsip pasien, atau ketika si pasien lupa membawa kartu berobat. Setelah filem berakhir, rasa miris dan gemas yang muncul di pikiranku segera kualihkan jadi doa supaya sistem terkomputerisasi segera dibuat di Puskesmas Sentani tersebut.
Filem selanjutnya, terlihat para pendokumenter mewawancarai dukun beranak yang ada di Pulau Karaka, dalam filem berjudul Cerita dari Pulau Karaka. Posisi dukun beranak memang penting sekali, tampaknya, karena jika mengandalkan rumah sakit, aksesnya yang tidak strategis menjadi salah satu faktor yang membahayakan keselamatan sang ibu. Salah satu yang diwawancarai bersaksi bahwa pernah ada kejadian seorang ibu yang keburu melahirkan di atas perahu ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit, dan baru memotong tali pusarnya ketika sudah sampai di ‘seberang’ (rumah sakit di Port Site).
Aku dibuat ngilu ketika para dukun menceritakan berbagai teknik mereka. Mulai dari mengisap darah kotor dengan mulut ketika proses melahirkan, menusuk dengan kuku untuk mengeluarkan air ketuban, hingga peristiwa melahirkan di atas pasir. Meski cara-cara mereka heuristic (berdasar pengalaman-red), sang dukun mengklaim bahwa belum pernah ada ibu-ibu yang tak selamat di tangannya. Filem itu pun ditutup dengan pernyataan salah seorang dukun yang berapi-api bahwa proses kelahiran tiap ibu itu rahasia, yang biasanya rentan menjadi bahan gosip orang-orang ketika berkumpul.
Filem Ebeaila dimulai dengan cara yang hangat: sebuah lagu yang syairnya berkisah tentang aktivitas seorang ibu, yang dari pagi sampai sore bekerja di ladang, pekerjaannya terhenti karena sang anak minta disusui. Si ibu menemani sang anak hingga kemudian tak terasa matahari mulai terbenam dan akhirnya pekerjaannya pun jadi tak selesai. Adegan selanjutnya, barulah muncul seorang bapak dengan narasinya tentang bangunan tempat tinggal mereka, yang konstruksi dan bahan bangunannya mengandung filosofi tentang cara hidup dan nilai-nilai adat yang mereka pegang, seperti pembagian privasi ketika yang laki-laki dan perempuan sedang berkumpul. Si bapak itu juga memaparkan bahwa bila mereka dilahirkan di sana, ketika mereka mati akan kembali ke “Ebeaila” atau “Honai Perempuan” (rumah yang sebenarnya-red). Terdapat sebuah shot yang menjadi kesukaanku, yakni shot yang memperlihatkan sebuah gerbang kayu bertuliskan “Welcome”. Gerbang itu dipalang kayu-kayu sehingga ada semacam frame di tengah-tengahnya. Shot itu ditampilkan di awal dan di akhir filem. Pada bagian terakhir, seorang perempuan bernoken dengan banyak barang—aku menduga itu adalah hasil berkebun—memanjat gerbang tersebut.
Sementara itu, di awal filem Rumah Kasih, kamera mengikuti dua langkah kaki: sepasang kaki orang dewasa dan sepasang kaki anak kecil dengan sepatu yang mengeluarkan suara berdecit-decit tiap langkahnya. Adegan berpindah ke suasana dalam Rumah Kasih (markas sebuah LSM-red) yang merupakan rumah yang melakukan pendampingan dan bantuan sosial bagi para ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Dalam filem itu, ada salah satu perawat yang diwawancarai tentang pengalamannya. Hatiku baru terenyuh dengan perjuangannya yang justru tampak saat ia diam dan gelisah di depan kamera. Di adegan selanjutnya, ia tampak menahan air mati berkali-kali, hingga ia tak kuat dan bercerita bahwa tak lama, seorang anak ODHA yang tinggal di Rumah kasih telah meninggal. Pengalaman itu begitu kuat tertanam di ingatan si suster karena si anak berpulang ketika berada dalam pelukannya. Hal tersebut tergambarkan dan sekaligus menjawab dengan baik kegelisahan yang terlihat pada si suster, melalui adegan saat ia tidak berkata-kata tadi. Dalam hati, aku memuji-muji si perekam dalam filem itu, yang secara sadar tahu kapan untuk tidak mematikan kameranya. Dan adegan tersebut benar-benar brilian. Belum selesai terpukau, shot langkah kaki yang muncul di awal filem tadi ditampilkan lagi oleh sutradara. Langkah kaki si anak yang berdecit-decit itu terasa semakin cepat hingga akhirnya penonton diberi tahu kemana tujuan mereka, yakni Instalasi Gawat Darurat.
Pintu gudang yang “mengecoh” yang kusebut di awal, diceritakan dalam filem berjudul Dicuri! Ini Pencuri yang Masuk!. Puskesmas tersebut tampak hanya seperti sepetak kecil rumah di antara pegunungan. Setelah diceritakan, bangunan yang ternyata merupakan pustu (puskesmas pembantu-red) itu adalah siasat dari para petugas untuk membagi jadwal pelayanan untuk pasien agar tidak menumpuk di pustu yang satunya lagi. Ketika kamera menelusuri bagian dalam bangunan, fasilitas yang ada di sana tampak sangat minim. Lokasinya yang terpencil menyebabkan akses logistik menjadi susah, dan juga rawan kemalingan karena menjadi satu-satunya puskesmas di daerah itu.
Filem terakhir adalah Si Pendamping, sebuah dokumenter biografis dari Steve, seorang pendamping ODHA. Setelah memperkenalkan dirinya dan latar belakang hidupnya , kami diajak untuk melihat Papua dari sudut pandang warga lokal. Ia merekam seorang perempuan yang sedang berjalan. Pertama-tama, dari belakang. Ketika diambil dari samping, barulah diketahui bahwa ia sedang hamil. Akhirnya, ia sampai di sebuah rumah, dan di sana berkali-kali ia tersenyum dan mendorong kamera. Barulah aku sadari bahwa perempuan itu adalah istri Steve, dan yang merekam adalah Steve sendiri. Sang istri berjalan kesana-kemari di dapur, bersiap-siap untuk menghidangkan makanan untuk sang suami. Mungkin karena gerah dan malu terhadap tingkah laku Steve yang menggodanya dengan kamera, ia semakin sering menepuk kamera. Namun, Steve tetap tak berhenti merekam. Steve merekam istrinya ketika menyantap sayur-sayuran dan papeda. Di adegan ini, aku teringat pelajaran sewaktu SD yang menginformasikan bahwa makanan pokok orang Papua (dan Indonesia bagian Timur lainnya) adalah sagu. Filem itu diakhiri dengan manis, menampilkan Steve dan istrinya menggendong bayi yang baru saja lahir dan dibungkus selimut.
Forum Lenteng mengirimkan Manshur Zikri, Gelar Soemantri, Muhammad Sibawahi, Syaiful Anwar (Paul), Mahardika Yudha, dan Bagasworo Aryaningtyas sebagai fasilitator pada kegiatan pelatihan Program Media Untuk Papua Sehat. Dalam sesi tanya jawab pasca penayangan tujuh filem itu, terungkaplah kisah di balik pembuatan filem-filem tersebut. Mengenai kendala—yang oleh mereka lebih dilihat sebagai tantangan—mereka berbagi cerita bahwa jika ada konflik warga di suatu lokasi yang akan mereka datangi, mereka memilih untuk mencari alternatif di tempat lain. Tantangan tak berhenti di situ. Begitu sampai di sana, mereka harus membangun kepercayaan dan keyakinan dengan penduduk lokal di sana bahwa program yang mereka kerjakan bersama-sama akan berdampak baik untuk masyarakat setempat dan masyarakat luas. Selain itu,para fasilitator ini juga memaparkan bahwa ketika kita terlibat dalam kerja-kerja bermedia di daerah-daerah semacam Papua, kita tidak boleh terjebak dalam eksotisme. Mereka juga menjelaskan bahwa para penggiat komunitas dan pemberdayaan masyarakat (community development-red) harus bisa mendorong kepercayaan diri para peserta lokakarya untuk bisa menyikapi teknologi media (khususnya video) tersebut secara lebih arif dan yang sesungguhnya sudah menjadi bagian dari keseharian mereka.
Salah seorang penanya dalam diskusi menyayangkan ketidakhadiran warga Papua sendiri dalam pemutaran ini. Namun, seperti aku dengar dari penjelasan Yuki Aditya (Manajer Program Media Untuk Papua Sehat) dan Pak Firmansyah (KINERJA-USAID), di Papua sendiri, filem-filem ini sudah ditayangkan di tiap-tiap komunitas, yang juga disambut antusias oleh para hadirin di sana. Pemerintah lokal yang sempat menghadiri pemutaran filem di Jayapura bahkan berencana akan memberikan dukungan bagi komunitas lokal yang terlibat dalam program tersebut bagi keberlanjutan media center mereka. Agenda keberlanjutan ini salah satunya dengan menayangkannya filem-filem buatan mereka di puskesmas-puskemas yang ada di Papua, sebagai pengganti sinetron dan tayangan media arus utama lainnya yang umumnya justru membodohi masyarakat.
Ada juga penonton yang menanyakan apa aksi lanjut yang akan dilakukan, baik oleh Forum Lenteng sendiri sebagai penggagas program maupun bagi komunitas-komunitas yang terlibat itu. Terutama setelah kegiatan produksi filem-filem itu. Sebagai contoh, si penanya itu menambahkan, dalam kasus yang terdokumenterkan dalam filem Puskesmas Manual, apakah ada langkah konkret mengenai solusi untuk memperbaiki fasilitas pelayanan di puskesmas yang dimaksud. Para fasilitator pun menjawab bahwa goal dari program-program pemberdayaan komunitas dan pemberdayaan media yang digagas oleh Forum Lenteng adalah kesadaran masyarakat terhadap media itu sendiri. Yang terpenting adalah bagaimana warga bisa memproduksi informasi dan pengetahuan tentang dan untuk daerah lokalnya sendiri. Menurutku, output yang diproduksi itu bertindak sebagai alarm, yang jika dimaksimalkan sistem distribusinya akan mempengaruhi kebijakan. Dari aspek naratifnya, karya-karya ini bukanlah sebagai ‘investigasi’ melainkan lebih sebagai refleksi kritis dari masyarakat lokalnya. Ia mungkin hanya memberikan gambaran ‘telanjang’ dari berbagai potongan kisah, sebagai pembuka, appetizer, sebelum penonton menyimpulkan sendiri apa sebenarnya masalah-masalah utama yang mengakar dalam pelayanan kesehatan yang di Papua.
“Jika ditanya apa aksi selanjutnya,” kata Zikri menanggapi pertanyaan. “Ya, tidak ada kata lain selain meningkatkan posisi tawar di komunitas ini sehingga apa yang mereka hasilkan dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang ada.”
Pernyataan tersebut akhirnya menutup acara hari itu. Meski pemutaran filem selesai, sesungguhnya karya-karya tersebut memicu untuk lebih banyak lagi menghadirkan informasi/pengetahuan untuk disebarluaskan. Mungkin, ada hal lain lagi yang akan membuatku ngilu, tertawa miris, dan gemas dengan keadaan pelayanan kesehatan di Papua, atau mungkin daerah lain yang belum terjamah. Dan akan kusiapkan mental untuk mendengar versi lain dari “mengisap darah kotor dengan mulut”.
_____________
Foto oleh Yoyo Wardoyo dan Abi Rama