Jauh perjalanan mencari intan pujaan
Aduhai…di mana puan
Mengapa pergi tanpa pamitan
Lembah kuturuni
Bukit nan tinggi kudaki
Aduhai…tak kunjung jumpa
Mengapa hilang tak tentu rimba
Beberapa waktu lalu saya mendapatkan ‘notes’ di sebuah jejaring sosial dari keponakan saya yang sedang menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. Catatan itu cukup menggelitik saya untuk melihat kembali makna ‘melow’ dan ‘metal’. Dalam catatan itu, ia menulis bagaimana kegelisahannya tentang fenomena musik Indonesia yang didikotomikan hanya dengan melow (mendayu) dengan musik ‘keras’. Padahal yang paling penting dalam musik –dalam hal ini musik pop— adalah harus punya ‘isi’ yang lebih baik daripada sekedar soal cinta dengan bahasa yang sangat gampang.
Dari catatan ini saya mencoba mencari-cari selera musik saya kembali. Ternyata memang dikotomi keras dan ‘melow’ itu tidak menjadi soal. Yang paling penting bagaimana sebuah musik dapat bersublimasi antar teks dan musiknya, karena ia saling mengisi satu dengan yang lainnya. Saya jadi teringat tentang larangan yang diberlakukan oleh Soekarno (Presiden Pertama Indonesia) pada tahun 1960an, yaitu melarang musik ‘ngak-ngek-ngok’ yang dianggap sebagai bagian dari imperialisme Barat. Politik mercusuar Soekarno dengan jargon Nasionalisme, Agama dan Komunisme (Nasakom) menjadi salah satu penyebab. Juga, tarik menarik kepentingan geopolitik 1960an (Timur dan Barat) yang berimbas pada dunia hiburan (musik pop). Pada waktu itu Koes Bersaudara dilarang menyanyikan lagu-lagu mereka. Piringan hitam The Beatles, Elvis Presley dan lain-lain dibakar oleh para pendukung Nasakom.
Pada tahun 1980an, peristiwa yang sama berulang kembali. Pada waktu itu, Harmoko —Menteri Penerangan— membuat larangan bagi musik ‘cengeng’ untuk tampil di TVRI (yang menjadi satu-satunya saluran televisi). Timbul polemik pada waktu itu. Banyak pemusik yang tidak dapat tampil di Aneka Ria Safari (salah satu program musik favorit ketika itu), terutama musik-musik yang diproduksi oleh Rinto Harahap dan Pance Pondaag. Namun, ini tidak berlangsung lama. Karena musik terus memodifikasi dirinya. Orang-orang tersebut tetap bisa tampil sesudahnya.
Melihat fenomena musik pop Indonesia akhir-akhir ini, kita perlu berbangga. Karena musik kita telah menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Konsumen musik pop Indonesia begitu besar. Anak-anak muda kita tidak lagi hanya mendengarkan musik barat seperti yang terjadi pada 1980an dan 1990an. Pada masa itu grup-grup band lebih banyak membawakan lagu dari band-band terkenal asal luar negeri dibandingkan musik mereka sendiri. Sejak pertengahan tahun 1990-an, fenomena ini mulai bergeser. Grup-grup musik indie mulai bermunculan di kota-kota besar di Jawa (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Bali). Mereka membawakan musiknya sendiri dan mendistribusikannya melalui jaringan mereka sendiri. Inilah salah satu cikal bakal dari pembentukan kosumen lokal yang sekarang menjadi sangat masif.
Saat ini, apabila kita mendengarkan musik-musik pop yang muncul di televisi dan radio, saya tentu ingat kembali pada jaman Soekarno dan Harmoko lalu. Kegelisahan tentang bagaimana musik menjadi ‘inspirasi’, dan bukan hanya sebagai alat penghanyut (konsumen) menjadi penting untuk diamati. Hampir semua musik yang saya dengar menggunakan teks yang hampir sama. Meski musik itu ‘keras,’ kata-kata yang digunakan sangat ‘picisan’.
Dari begitu banyak musik Indonesia yang saya suka, tersebutlah salah satunya grup band asal Jakarta, Sore. Grup musik ini memang menjadi sangat berbeda dari grup-grup band yang mewarnai musik pop Indonesia saat ini. Kesadaran tentang musik, teks, dan visual sangat kentara pada album-album yang mereka rilis. Seperti album ‘Centralismo’, menampilkan ilustrasi apik yang tidak biasa ada dalam sampul-sampul album musik yang lain. Musiknya, tidak terbantahkan sebagai musik yang punya daya untuk mengeksplorasi ‘bunyi’ dan ‘teks’ yang merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Pada lagu ‘Pergi Tanpa Pesan’ yang merupakan karya klasik dari Iskandar (salah seorang maestro musik 1950-an), digarap dengan apik. Permainan bebunyian vintage dan vokal yang terdengar lirih begitu menarik. Teks ‘old fashion’ yang dipakai dalam lagu ini terasa hadir menjadi kekinian yang tak terbantahkan. Iskandar adalah salah satu penulis yang sangat handal. Teks ‘romantis’ yang ia buat, meski melow tapi tidak picisan seperti yang akhir-akhir ini menghujani musik pop kita. Mari kita simak teks lanjutan yang saya kutip di awal tulisan ini.
Laut…hempaskanku padanya
Bintang…tunjukkan arah
Oh angin…bisikkanlah di mana dia
Hati cemas bimbang
Harapan timbul tenggelam
Aduhai…permata hati
Mungkinkah kelak berjumpa lagi
Oh angin…bisikkanlah di mana dia
Hati cemas bimbang
Harapan timbul tenggelam
Aduhai…permata hati
Mungkinkah kelak bersua lagi
Pada beberapa lagu lain yang saya dengar seperti pada ‘Merintih Perih’, ‘Somos Libres’, ‘Cermin’, dan ‘Etalase’, disiplin eksplorasi musik dan teks juga berlaku. Yang paling menarik dari grup band ini adalah pengetahuan mereka tentang musik tidak hanya berhenti pada musik. Saya cukup senang dengan beberapa lagu pada album ‘Ports of Lima’ yang mereka buat berdasarkan beberapa filem klasik yang penting dalam sejarah sinema dunia. Bagi saya, hal ini menarik. Tidak banyak anak muda, apalagi pemusik pop kita yang mempunyai wawasan kebudayaan seperti para personil Sore.
Tentang Sore
Sore didirikan oleh tiga sahabat, Ade Paloh (gitar/vokal), Mondo Gascaro (keyboard/vokal) dan Awan Garnida (bass/vokal). Pada tahun 2001 Awan mengajak temannya untuk bergabung, Bemby Gusti (drum/vokal), Reza Dwiputranto (gitar/vokal), dan Dono Firman (keyboard). Debut pertama mereka masuk dalam kompilasi album JKRT:SKRG yang dirilis oleh Aksara Record, 2005.
Pada Juli 2005 mereka merilis albun pertama mereka Centralismo (Aksara Record). Sore menggunakan bebunyian (instrumen) vintage (masa lalu) yang mengingatkan kita pada musik era tahun 1950-an, 1960-an dan 1970-an tanpa bermaksud untuk membuat musik retro. Pada September 2005, Majalah Time Asia menempatkan ‘Centralismo’ sebagai One of Asia’s Worth Buying Album. Majalah Rolling Stone Indonesia menempatkan pada posisi 40 untuk 150 album musik terbaik sepanjang masa. Sore juga terlibat dalam beberapa filem dalam mengisi soundtrack, seperti ‘Berbagi Suami’, ‘Quickie Express’, ‘Perempuan Punya Cerita’ dengan salah satu hitsnya adalah ‘Pergi Tanpa Pesan’ sebuah lagu klasik tahun 1950-an.
Pada tahun 2008, Sore merilis album ‘Ports of Lima’ (Aksara Record, 2008) yang dapat sambutan antusias dari para kritikus musik. Beberapa tema dalam album ini berdasarkan pengalaman pribadi, filem dan inspirasi mereka pada karya-karya besar sinema dunia. Seperti lagu ‘Essensimo’ dari filem ‘400 Blows’ karya Francois Truffaut, ‘400 Elegi’ dari filem ‘Elephant Man’ karya David Lynch, dan ‘Come’ by Sanjurou dari filem ‘Sanjurou’ karya Akira Kurosawa. Tahun ini mereka akan merilis ‘SOMBREROS KIDDOS’ menampilkan lagu-lagu remix eksklusif ‘Ape On the Roof’ dan ‘DJ Oreo’.
Sumber:
http://www.myspace.com/soreband
http://www.facebook.com/?page=1&sk=messages#!/soreband?ref=mf
twitter.com/soreband
saya sudah pernah lihat konser sore di acara FISIP UI go green campus.
Dan memang lagu-lagu yang disajikan oleh grup band ini bagus-bagus. Saya suka dengan lagu etalase.. mantap!
mantab juga gan,,
Saya baru saja jatuh cinta sama band ini, lagu pertamanya yang saya dengar adalah Somos Libres. Terima kasih atas infonya mas, saya jadi bisa mengenal sore band lebih dekat, dan saya akan melahap semua lagu dari albumnya 😀